OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 23 Maret 2019

Romi Effect, Rats Sinking Ship : Paradoks Hasil Survei

Romi Effect, Rats Sinking Ship : Paradoks Hasil Survei


Ilustrasi Pemilu 2019
Oleh: Harun Husein, Jurnalis Republika

10Berita, Sampai hari ini, orang masih membicarakan hasil survei litbang Harian Kompas. Menurut hemat saya, survei itu mengirimkan tiga sinyal. Pertama, pendukung 01 yang awam dibuat senang dengan adanya angka ekstrapolasi elektabilitas. Mereka diberi analgesik dengan angka itu dengan pesan situasi aman terkendali.

Kedua, pollster lain seperti ditelanjangi dengan angka ekstrapolasi itu. Seolah Kompas ingin mengirimkan pesan kepada publik bahwa pollster lain --selain bermain di angka margin of error-- juga bermain di angka ekstrapolasi untuk men-create bandwagon effect. Buktinya, bandingkan saja hasil survei pollster lain dengan angka ekstrapolasi itu. Hasilnya klop kan?

Tulisan Denny JA yang menyerang pribadi pemred Kompas (bahkan di sebagian buzzer beredar foto sang pemred berjalan bersama capres 02), ungkapan mengisi angka survei di bawah pohon dan warung kopi, serta tudingan repositioning, mewakili secara tegas betapa dongkolnya dia dan para buzzer 01.

ADVERTISEMENT


Ketiga, publik yang cerdas, para pengambil keputusan di dunia bisnis dan politik, disuguhi angka tren hasil survei, yang mengabarkan posisi petahana dalam bahaya karena angkanya ternyata di bawah 50 persen, dan penantang yang terus melejit. Membaca angka ini, jangan heran kalau dalam satu dua hari atau satu dua pekan mendatang, akan ada yang menyeberang. Apalagi kalau tren itu berlanjut dan sebelum pencoblosan terjadi crossing, maka kita akan banyak melihat tikus geladak yang melompat ke laut karena tahu perahu berlobang dan siap tenggelam (rats fleeing the sinking ship).

Para elite politik dan bisnis tentu paham bahwa angka ekstrapolasi itu hanya semacam gimmick. Dia hanya sebuah pengandaian yang statis yang tidak menggambarkan tren. Sebab angka ekstrapolasi itu berasal dari angka undecided voters yang dibagi secara proporsional.

Buktinya, angka ekstrapolasi Oktober 2018, 01 sudah dapat 61,7 persen, tapi survei riil Maret 2019 hanya dapat 49,2 persen, atau terjun dua digit. Sebaliknya, untuk 02, angka ekstrapolasi Oktober 2018 mencapai 38,3 persen sedangkan angka riil survei Maret 37,8 persen, atau selisihnya hanya 0,5 poin. Dari situ saja kelihatan siapa yang melejit dan nyungsep.

Para elite politik dan bisnis, tentu juga paham bahwa tren survei tidak mudah berubah. Mengubah tren survei tidaklah semudah mengubah arah perahu kecil, tapi sulit seperti membelokkan kapal sebesar Titanic di laut yang tak terlalu dalam. Sialnya, tren negatif kini justru berada di kubu pejawat 01, dengan penangkapan Romahurmuzy oleh KPK, yang bisa jadi turut menyeret anggota kabinet. 'Rommy effect' ini, bisa menjadi angin puting beliung yang menghancurkan.

Sebaliknya, 02 terlihat memiliki tren positif. Selain sudah jamak di dunia survei bahwa grafik penantang selalu menanjak, mereka juga berhasil membangun kerelawanan dan militansi. Bermunculannya spanduk rakyat, sumbangan uang receh yang dibungkus kantong plastik, serta bermunculannya orang-orang nekad yang mengacungkan dua jari di berbagai acara petahana --bahkan sambil memakai kaos petahana dan memamerkan bingkisan yang dibagi-bagikan tim pejawat-- adalah sebagian contohnya.

Di darat, publik pun bisa melihat kampanye siapa yang penuh sesak. Ketika orang-orang berdatangan dari segala arah, ke tempat kampanye kendati tanpa disewakan bus, tanpa kaos, tanpa nasi kotak, tanpa uang saku, bahkan sempat dihalang-halangi. Perbandingan kontrasnya adalah apel 18 miliar di semarang. Ini apel sudah pake dana besar, di pusat kota, pesertanya dimobilisasi dengan bus, aparat sipil negara (ASN) dikerahkan, menghadirkan band dan komedian top, mendatangkan ulama kharismatik, tapi terlihat biasa saja. Alih-alih show of force, kegiatan itu justru memperlihatkan betapa kandang banteng ternyata bermasalah cukup serius.

Di udara, situasi pun sudah berubah berbilang bulan. Media sosial seperti Twitter dan Facebook, sudah didominasi the so called 'akal sehat'. Buzzer-buzzer pejawat yang terorganisir makin keteteran. Karena, yang bangkit melawan mereka justru kelas menengah terpelajar bahkan intelektual kelas wahid. Selain Rocky Gerung yang setiap saat mendungu-dungukan cara berpikir pendukung kekuasaan, para tokoh yang kebetulan kalem kini bahkan ikut menyerang Denny Siregar dan Abu Janda, menggoblok-goblokin dan menyuruhnya ikut Paket C. Hari-hari ini, para buzzer itu pun seperti sudah semakin tidak berdaya untuk sekadar menaikkan tagarnya menjadi trending topic.

Melihat medsos yang telah diokupasi, seorang pollster sempat meledeknya sebagai fenomena echo chamber. Hanya ramai di Twitter, dan tak mencerminkan dunia nyata. Buktinya, survei masih kalah. Melihat fenomena pecahnya kampanye 02 di berbagai daerah, pollster lainnya berdalih itu tak mencerminkan silent majority. Bahkan dia menafsirkannya lebih jauh, yang hadir itulah pemilih riilnya, sedangkan yang tak hadir semua ke toko sebelah. Buktinya, lagi-lagi hasil survei.

Kini, ada survei dari lembaga kredibel yang dana untuk surveinya lebih mandiri, dan mereka menyerang metodologinya. Mencurigainya diisi di bawah pohon dan warung kopi. Gila. Sementara mereka sendiri tak pernah terbuka soal sumber dananya, dan tidak terus terang menyampaikan apakah mereka pollster murni atau merangkap sebagai konsultan dan mesin politik salah satu paslon. Melakukan survei itu mahal, apalagi tracking survei. Apa benar ada lembaga survei yang mau buang uang percuma? Bukankah pemilu dan pilkada justru musim panen raya?

Di Amerika, Gallup Poll menolak menerima dana dari Partai Demokrat dan Republik, dalam melakukan survei politik prapemilu, untuk menjaga independensi, integritas, dan kredibilitas. Lalu dari mana dananya? Dari survei-survei nonpolitik, yang mereka cukup laris karena akurat dan terpercaya. Mereka tidak hidup dari pilkada dan pemilu. Mereka justru berkontribusi untuk kemajuan demokrasi di negaranya, dengan menyuguhkan data-data yang akurat kepada publik.

Di Indonesia? Au ah elap...

Sumber: Republika