Spiral Keheningan Prabowo Meledak di GBK
10Berita, Pada Juli 1998 atau dua bulan pasca lengsernya, Soeharto mengumpulkan keluarga Cendana di Puri Retno. Soeharto meminta anak-anak, menantu, dan cucunya menerima kondisi pahit tersebut dan berusaha tabah melaluinya. Mundur bukan hujatan mereda, justru sebaliknya serangan demo dan narasi-narasi merendahkan terus menerjang kepada seluruh yang berbauh cendana.
Prabawo yang menjadi bagian tak terpisahkan dari cendana terus juga dipojokkan atas berbagai tuduhan yang berkaitan dengan hilangnya beberapa mahasiswa aktivis reformasi, terlebih setiap jelang pemilu dimana Prabowo menjadi salah satu kontestannya. Dari seluruh penjuru mata angin sang jenderal difitnah dengan berbagai tuduhan yang dibuat secara sepihak dengan motif politik dan penyingkiran.
Menghadapi serangan dan tuduhan sebagai dalang penculikan aktivis mahasiswa, sang jenderal lapangan ini memilih diam tidak bereaksi. Jenderal perang ini memilih diam dalam sepi, menghindar dan menyibukkan diri menjadi pengusaha.
Berdamai dengan hinaan untuk membuktikan diri bisa meneruskan perjalanan ke depan tanpa merecoki bangsa. Menghindar bukan berarti penakut atau salah, tetapi tidak mau menghabiskan energi positifnya melayani orang yang digerakkan pikiran negatif. Disinilah cerdasnya Prabowo menghadapi segala macam hinaan dan tuduhan dengan teori “spiral keheningan” yang menjebak lawan sampai kehabisan tenaga.
Spiral of Silence Theory atau Teori Spiral Keheningan merupakan salah satu teori komunikasi massa. Secara bahasa, teori spiral keheningan diambil dari kata ‘Spiral’ yang berarti suatu perputaran lingkaran dan ‘Keheningan’ yang berarti sunyi.
Prabowo pada awal-awal reformasi tidak larut dalam keterasingan publik, justru tetap dan terus membina hubungan silaturahmi dengan semua orang yang berada dalam lingkarannya dengan hening tanpa harus dieksplor beritanya di media massa. Teori ini mengatakan bahwa tidak selamanya orang yang mengalami isolasi dan keterasingan akan selalu hilang dari peredaran. Sewaktu-waktu ia akan muncul kepermukaan ketika sudah mendapatkan momentumnya.
Setelah tidak beruntung pada pemilu presiden 2014, kini Prabowo menemukan politik momentumnya pada pemilu presiden 2019 ini untuk menjawab kerinduan masyarakat Indonesia terhadap sosok pemimpin jujur yang bisa mengulangi keberhasilan “Trilogi Pembangujan” yaitu (1) Stabilitas Nasional yang dinamis, (2) Pertumbuhan ekonomi tinggi, dan (3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Jika mencermati perjaanan Prabowo selama ini, nampaknya sungguh cerdas memanfaatkan teori “spiral keheningan” ini yang mengajarkan bahwa ketika mendapat tekanan dan hampir tidak ada ruang untuk mengelak, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah “diam menyatu dengan keheningan”.
Prabowo telah berhasil berdamai dengan kesabarannya! Ia diam, ketika difitnah dan dituduh sebagai dalang penculikan aktivis mahasiswa. Sikap diamnya itulah yang kemudian menjadi salah satu alasan kenapa rakyat percaya segala tuduhan yang dialamatkan ke Prabowo itu salah.
Disinilah teori spiral keheningan menjadi benar, kalau tidak selamanya orang yang ingin dibunuh krakternya oleh kekuatan besar akan hilang dari peredaran, karena suatu saat akan muncul kepermukaan memperlihatkan kemampuannya.
Kondisi inilah yang terjadi sekarang pada Prabowo, dalam diam dan keheningannya mengadapi hinaan dan tuduhan, terus berbenah diri dan melakukan konsolidasi dengan orang-orang dalam lingkarannya, hingga dukungan rakyat kepadanya dalam kampanye yang dilakukan di daerah terus mengalir bagaikan sumber mata air yang tidak pernah kering, hingga puncak dukungan rakyat ke Prabowo-Sandiaga meledak di GBK minggu (7/4). Banyak orang kemudian menyebut suasana kampanye akbar 02 di GBK yang diawali dengan shalat tahajud dan shalat subuh ini adalah pencerminan kemenangan 02.
Penulis : Ismail Mage
Sumber: Portal Islam