Menarik Ulama dari (Intrik) Politik
Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net
10Berita – K.H. Wahid Hasyim pernah mengatakan “, ….masjarakat umat Islam Indonesia mempunjai sipat tersendiri. Ia berada di bawah pengaruh Ulama dan Kiai. Dalam hal ini ada bedanja keadaan Ulama-Ulama di India. Diambil garis umumnja Ulama-Ulama di Indonesia lebih dapat menjesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Oleh karena itu pengaruh mereka ini pada masjarakat Umat Islam tetap besar.” (K.H. Wahid Hasyim: 1953)
Maksud putra pendiri Nadhlatul Ulama tersebut terang sekali. Kedudukan ulama di tanah air amat besar pengaruhnya. Ulama membawa masyarakat mengarungi berbagai situasi dari masa ke masa. Hal ini menjadi semakin jelas jika kita mengurai kembali peran ulama di negeri ini. Satu contoh yang menarik membawa kita kembali pada 800 tahun yang lalu. Di ujung pulau Sumatera, Kesultanan Samudera Pasai memberikan kita begitu banyak hikmah.
Samudera Pasai disebut sebagai kesultanan Islam pertama di nusantara. Bukti sahihnya tentu saja makam Sang Sultan yang bertanggal 1297 masih ada hingga kini. Makam Sultan tersebut, Malik al-Shalih, pernah menduduki tampuk tertinggi Kesultanan Pasai. Namun hal yang lebih menarik adalah kunjungan penjelajah muslim asal Maroko, Ibnu Battutah ke Samudera Pasai.
Ibnu Battutah dalam perjalanannya menuju Cina singgah di Samudera Pasai selama 15 hari. ia bertemu dengan penguasa saat itu yaitu Sultan Malik az-Zahir. Dalam karyanya, Rihlah, ia bercerita tentang tingginya minat Sang Sultan untuk menuntut ilmu agama. Ia juga bercerita tentang mahzab Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Pasai. Ibnu Battutah juga bercerita tentang petinggi Kesultanan Pasai yang ia temui.
“…Kemudian, Sultan memerintahkan kepada Amir Dawlah untuk datang menemuiku, ditemani oleh yang mulia Hakim Amir Sayyid al-Syirazide Chirâz dan Tajuddin al-Isfahani dan fukaha yang lain… Aku naik kuda dan demikian juga para pelayanku. Kami berkuda memasuki ibu kota, yaitu kota Sumatra.”
Kesaksian ini tentu sangat menarik. Dua orang penting, yaitu qadi dan ulamanya, dari namanya (Chiraz atau Syiraz dan Isfahani) dapat kita ketahui berkebangsaan Persia. Hal ini menunjukkan betapa kosmopolitannya Kesultanan Samudera Pasai saat itu. Termasuk betapa pentingnya kedudukan ulama di hadapan penguasa Samudera Pasai kala itu.
Memang di masa lalu, para ulama tak lepas dari kekuasaan. Bersama penguasa yang menjalankan pemerintahan Islam, terlepas dari berbagai ketidaksempurnaannya, para ulama menjadi figur yang penting bagi kekuasaan.
Tentu saja kekuasaan itu bukan sistem teokrasi. Tetapi para ulama menjadi sosok yang berpengaruh dalam jalannya hukum di negeri-negeri Islam. Hal ini misalnya dapat kita lihat di Kesultanan Banten ketika Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa alias Sultan Abu Fath Abdul Fattah mengangkat Syaikh Yusuf al-Maqassari sebagai mufti Kesultanan Banten. (Tutik Pudjiastuti : 2007)
Sultan Ageng Tirtayasa sejak muda telah dikenal memiliki minat terhadap agama Islam. Oleh sebab itu, ketika ia naik tahta, ia menikahkan putrinya dengan Syaikh Yusuf al -Maqassari dan mengangkat ulama tersebut sebagai mufti Kesultanan Banten. Dalam salah satu kitabnya, Zubdat al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib al-Akhyar, Syaikh Yusuf memuji kealiman dan kecintaan Sultan pada agama Islam. Di bagian akhir kitab yang ditulis pada tahun 1676 tersebut, Syaikh Yusuf menulis,
“Berkata penulis huruf-huruf ini, semoga Allah ta’ala memberikan kesempurnaan hidayah kepadanya dan menjadikannya memperoleh berkat dari penulisan karangan ini dan memperoleh berkatnya pula dari Sultan Ibn Sultan Tuanku Raja yang Agung dan sultan yang mempunyai keadilan yang sempurna, dan mempunyai hukum-hukum yang umum, yang bercita-cita tinggi, yang mengibarkan panji Muhammad, tempat berlindung para ulama dan orang-orang miskin serta harapan orang-orang faqir dan orang-orang salih, penolong orang-orang lemah dan orang-orang yang perlu pertolongan , penghibur hati para perantau serta orang-orang yang menderita, karena berpegang teguh kepada syari’at dan batin hakikat dari ahli suluk, ma’rifat dan ahli tarekat yaitu Tuanku Sultan Abu al-Fath putra Sultan Abu al-Ma’ali putra Sultan Abu al-Mafakhir yang menguasai Banten, semoga disempurnakan oleh Allah kebahagiaannya dan diperindah kemuliaannya serta dilindungi-Nya di dunia dan di akhirat.” (Machasin, et al : 2013)
Memang di masa lalu, para ulama tak lepas dari kekuasaan. Bersama penguasa yang menjalankan pemerintahan Islam, terlepas dari berbagai ketidaksempurnaannya, para ulama menjadi figur yang penting bagi kekuasaan.Asal-usul Syaikh Yusuf dari Makassar bukan halangan untuk menjabat sebagai mufti. Kapasitasnya keilmuannya yang menjadi pertimbangan utama. Sebagai ulama, Syaikh Yusuf bukan saja dikenal berguru pada berbagai ulama, tetapi juga menjadi ulama yang produktif, bahkan hingga sang ulama tersebut diasingkan V.O.C. ke Sri Lanka (kemudian ke Afrika Selatan).
Kisah serupa juga dapat kita lihat dari perjalanan ulama asal Banjarmasin, Syaikh Arsyad al-Banjari. Selepas menuntut ilmu di tanah suci, ia kembali ke kampung halamannya. Selain berkhidmat pada keilmuan dengan membuat lembaga pendidikan, ia juga menjadi salah satu figur yang dekat pada kekuasaan. Kesultanan Banjar kala itu dipimpin oleh Sultan Tajmidullah II (1785 – 1808). Syaikh arsyad al-Banjari memberi pengaruh pada hukum di Kesultanan Banjar.
Syaikh Al Banjari mengusulkan pada Sultan untuk melakukan perubahan pada lembaga hukum di Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjarmasin kemudian menambahkan jabatan ‘mufti’. Posisi mufti berada di bawah Sultan Banjarmasin. Sultan sendiri dianggap kepala seluruh jabatan agama. Mufti dianggap sebagai hakim tertinggi dan bertanggungjawab mengawasi seluruh Mahkamah Syariah di Kesultanan Banjarmasin. Mufti pertama di Kesultanan Banjarmasin diemban oleh Muhammad As’ad, cucu dari Syaikh Arsyad Al-Banjari. Di bawah Mufti terdapat jabatan ‘Kadi’, yang bertindak sebagai hakim sehari-hari di ibukota Kesultanan. (Alfani Daud: 1997)
Meski demikian, seiring datangnya kolonialisme di tanah air, para penguasa lokal seringkali berselingkuh dengan penjajah dan mengkhianati rakyatnya. Para ulama kemudian menyingkir dari pusat kekuasaan, menjauh dan menjalankan fungsi mereka sebagai suluh keilmuan. Banyak di antaranya yang mendirikan lembaga pendidikan seperti pesantren.
Hal ini yang kemudian terlihat selama masa kolonialisme. Tak banyak ulama yang mau bergandengan tangan dengan pemerintah kolonial. Sebab para ulama seringkali akhirnya dijadikan legitimasi kolonialisme. Namun umumnya para ulama lebih memilih untuk menjauh dari kekuasaan selama masa kolonialisme.
Pemisahan antara agama dengan pemerintahan terus membayangi negeri ini, termasuk ketika memasuki masa-masa transisi menuju kemerdekaan. Para ulama seperti K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan para tokoh – aktivis Islam seperti Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, mencoba mewarnai negara yang baru lahir dengan mengajukan Islam sebagai landasan negara melalui Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Satu hal lain yang menarik adalah ‘ijtihad’ para ulama dan tokoh Islam dalam mengarungi politik di Indonesia. Sistem pemerintahan bukan Islam di Indonesia tak membuat para ulama dan tokoh Islam surut dalam berpolitik. Mereka pada 11 November 1945 membentuk Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam di Indonesia kala itu. Meski ikhtiar ini tak bertahan lama, karena Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Keluar pada tahun 1948 dan Nadhlatul Ulama keluar pada tahun 1952, namun idealisme awal pembentukan Masyumi ini memberi satu potret yang menarik.
Meski demikian, seiring datangnya kolonialisme di tanah air, para penguasa lokal seringkali berselingkuh dengan penjajah dan mengkhianati rakyatnya. Para ulama kemudian menyingkir dari pusat kekuasaan, menjauh dan menjalankan fungsi mereka sebagai suluh keilmuan.Struktur kepengurusan Masyumi membagi dua bagian. Pertama Majelis Syuro dan Pengurus Partai. Majelis Syuro umumnya terdiri dari para ulama seperti K.H. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya, sedangkan pengurus Partai diserahkan kepada para aktivis Islam seperti M. Natsir, dr. Sukiman, Moh. Roem dan lainnya.
Kedudukan para ulama dalam struktur partai ditempatkan sebagai penentu haluan dan aspek strategis partai. Bukan sekedar penasehat belaka. Sedangkan para aktivis Islam menjadi pengurus yang bergelut dengan keseharian politik praktis. Termasuk ketika peran mereka dibutuhkan untuk duduk di kursi pemerintahan.
Meski idealisme ini tak berjalan lama, ‘pembagian tugas’ antara ulama dan aktivis politik ini memberi batas yang tegas. Ulama dalam politik tidak bergelut dengan keseharian yang penuh dengan intrik dan tipu daya. Ulama berada dalam kedudukan tertinggi yang menentukan haluan politik tanpa harus ‘terciprat’ kotornya politik praktis. Marwah ulama tetap dijaga dari intrik dan fitnah politik praktis.
Pergelutan dalam ranah politik praktis ditangani oleh para aktivis politik Islam. Para aktivis ini bukanlah aktivis karbitan yang tiba-tiba mengusung bendera Islam. Kiprah mereka dalam politik telah dimulai sejak muda melalui berbagai organisasi pemuda, salah satunya Jong Islamieten Bond. Organisasi ini yang menjadi wadah para aktivis politik seperti M. Natsir, Moh. Roem, Kasman Singodimedjo dan lainnya saat mereka masih pemuda.
Para aktivis politik ini adalah figur-figur yang siap bersinggungan dengan segala intrik dalam politik praktis. Mampu membaca berbagai tipu daya dalam politik. Namun pergerakan mereka tetap berdasarkan haluan yang telah ditentukan oleh para ulama.
‘Pembagian tugas’ ini dimungkinkan kala itu karena umat Islam memiliki banyak ulama dan tokoh politik yang mumpuni. Nama-nama besar para ulama dan tokoh tersebut tak diragukan lagi kapasitas sekaligus komitmennya pada politik Islam.
Persoalan yang dihadapi umat saat ini sayangnya begitu pelik. Kita bukan saja menghadapi sistem politik yang jauh dari Islam, tetapi juga kehilangan figur aktivis politik Islam yang mumpuni. Banyak diantara para pemuda aktivis Islam yang akhirnya ketika berpolitik, tidak lagi mengusung politik Islam. Kaderisasi aktivis politik dalam tubuh umat Islam menjadi macet.
Hal ini berdampak pada ‘terseretnya’ ulama pada ranah politik praktis. Ulama tak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik. Tetapi ulama menjadi aktor politik (praktis) itu sendiri. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang seringkali penuh intrik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi ‘juru bicara’ para aktor politik lainnya.
Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan. Pertama, ulama ikut terseret pada berbagai isu politik sehari-hari bahkan tak jarang pusaran fitnah dalam politik. Pada tahap ini akhirnya marwah dan kredibilitas ulama dipertaruhkan. Politik, terlebih dalam sistem yang tidak islami seringkali bersifat abu-abu, tak jelas mana yang benar, dan mana yang salah.
Kesulitan kedua; ketika ulama terseret dalam politik praktis, sikap, perbuatan dan perkataan ulama seringkali dijadikan alat legitimasi baik oleh kawan politik koalisinya atau lawan politiknya. Sikap terhadap persoalan yang abu-abu dianggap sebagai satu ‘legitimasi’ syar’i oleh pihak lain, baik oleh pendukung maupun lawan politiknya.
Lebih pelik lagi, ketika para ulama berbeda pilihan politik akhirnya sama-sama terjun dalam politik praktis dan membuat kebingungan di kalangan umat yang awam. Masing-masing menjadi alat legitimasi agama bagi aktor politik yang lebih berkuasa.
Jalan keluar dari benang kusut politik semacam ini adalah dengan mengurai kembali permasalahannya. Persoalan utama tampaknya ada pada mandeknya kaderisasi aktivis politik di kalangan umat Islam. Dengan munculnya para aktivis politik dari kalangan umat, maka para ulama akhirnya tak perlu terseret ke dalam pusaran politik praktis yang penuh dengan intrik dan fitnah. ‘Pembagian tugas’ yang jelas antara ulama dan aktivis politik akan menempatkan ulama dalam kedudukan tertinggi di ranah politik kita.
Hal ini berdampak pada ‘terseretnya’ ulama pada ranah politik praktis. Ulama tak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik. Tetapi ulama menjadi aktor politik (praktis) itu sendiri. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang seringkali penuh intrik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi ‘juru bicara’ para aktor politik lainnya.Ulama sepatutnya tak menjadi aktor politik tetapi menentukan gerak langkah para aktor politik. Jika diibaratkan permainan sepakbola, ulama bukanlah pemain yang terjun ke lapangan, beradu lari, saling menjegal, berjibaku di lapangan.
Ulama berada di luar permainan sebagai pelatih. Ia tidak bermain, tetapi ialah yang mengendalikan permainan. Ialah yang menentukan langkah politik umat, hingga jauh ke depan. Bukan terseret menjadi pemain dalam kompetsisi lima tahunan. Berjibaku, saling berpacu, jatuh bangun, saling menjegal, dan tanpa disadari, perlahan kehilangan marwahnya di mata umat.
Sumber: Kiblat