Aladdin, Cina, dan Orientalisme
10Berita – Menyusul ditayangkannya pembuatan ulang film animasi keluaran Disney pada 1992 lalu, “Aladdin”, lagu tema tersebut menggema lagi di bioskop-bioskop seantero dunia termasuk Indonesia. Ia mulai dinyanyikan remaja-remaja dan anak-anak yang menyaksikan kisah klasik tersebut.
Seperti film animasinya, yang terkini juga tak lepas dari stereotip orientalis tentang masa lalu Arab dan Islam. Padang pasir, bangsawan-bangsawan, dan makhluk-makhluk khayali. Dalam ranah hiburan, ia barangkali wajar saja, tapi menengok sejarah, ada implikasi lain di sini.
Begini, para penulis di Disney membayangkan Agrabah sebagai locus delicti cerita tersebut. Ia kota yang dibayangkan seperti Baghdad pada masa keemasannya. Persoalannya, dalam kisah asli Aladdin yang diterjemahkan pada abad ke-18, bukan demikian kasusnya.
Kisah Aladdin sedianya tak masuk dalam versi asli “Kisah 1001 Malam”. Ia ditambahkan oleh penerjemah Prancis Antoine Galland pada terjemahan yang terbit pada 1721. Kisah itu, diklaim Galland, ia dengar dari seorang pendongeng asal Aleppo bernama Hanna Dyab.
Aleppo sendirinya adalah sebuah kosmopolitan sebelum kolonialisme memporak porandakan Timur Tengah. Sejarawan Eugene Rogans dalam bukunya “The Arabs: A History” (2015), mengenang bahwa Aleppo yang sekarang hancur lebur oleh perang itu adalah perlintasan segala bangsa. Sedemikian terkenal sampai-sampai sastrawan Inggris abad ke-17, Shakespeare, menyertakan kota itu dalam dua karyanya, Othello dan Macbeth.
Sumber: Eramuslim