OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 30 Juni 2019

Duo Jago

Duo Jago




 Oleh M Rizal Fadillah

10Berita - Wiranto rajin mengeksekusi unjuk rasa atas nama keamanan dengan predikat makar. Tidak jelas elemen deliknya yang penting gebuk politik dulu. Sementara Moeldoko mendoktrinkan bahwa curang adalah bagian dari demokrasi. Tentu menarik ungkapan dan sikap kedua petinggi pemerintahan yang berasal dari tentara ini. Keduanya sudah jelas mempermalukan korps. Demi memperjuangkan kepentingan pendek maka ruang kebaikan bangsa dan negara bisa dikesampingkan. Wiranto dan Moeldoko adalah "duo jago" andalan Joko Widodo. 

Terpilihnya dan ditetapkannya Jokowi atas putusan MK dan KPU masih menyisakan sesak nafas politik. Putusan MK tidak melonggarkan nafas. Penyakit curang masih melekat. Perjuangan menegakkan kedaulatan rakyat diprediksi berlanjut. Karenanya tuduhan makar belum selesai. Wiranto punya lahan spesialisasinya. Makar.
Di sisi lain kecurangan yang melekat di benak rakyat tak mungkin terhapus. Memaksakan seolah persoalan pemilu selesai adalah mimpi di siang bolong. Akhirnya berapologi dengan mempropagandakan bahwa kecurangan itu wajar dalam kompetisi berdemokrasi. Atau menuduh lawan melakukan fitnah. Cara fasis dan komunis seperti ini bahaya jika menjadi doktrin. Hoax adalah paradigma pemerintah yang lemah dan licik. 

Unjuk rasa itu hal biasa dan dilindungi undang-undang. Negara demokrasi dimanapun melegalkan unjuk rasa. Bahwa ada mekanisme itu juga wajar. Melarang atau menghalangi merupakan sikap melabrak hak-hak dasar. Menjadikan unjuk rasa sebagai objek makar adalah membalikkan norma. 

Begitu juga bahwa demokrasi itu sudah menjadi pilihan universal. Ada kebaikan yang dikejar. Basisnya adalah kedaulatan rakyat. Menjadikan curang melekat dengan demokrasi merupakan pandangan sesat dan pemutarbalikkan norma.

Rezim yang gemar memutarbalikkan nilai atau norma adalah tidak benar.  Unjuk rasa marak disebut makar, curang jahat diputar menjadi sehat. Bagian demokrasi. Mengkritisi kecurangan disebut fitnah, menyatakan rezim dusta dibalikkan sebagai menyebar hoax, harga naik disebut daya beli melemah, menembak anak menjadi Jendral yang mau ditembak, melanggar HAM didalihkan membunuh perusuh, menilai MK buruk disebut tidak taat hukum. Bisnis dengan China membahayakan dikampanyekan menguntungkan, aneksasi menjadi investasi, aset seharusnya dijaga malah dijual jual. Enonomi morat marit namanya meroket. Inilah bagian dari cermin negara gagal. 

Duo jago akan terus menjadi algojo. Menakut nakuti dan berapologi. Memproteksi Presiden Jokowi. Makar, teroris, radikal, intoleran, hoax, hate speech, dan anti ideologi adalah peluru tajam yang siap ditembakan kepada rakyat kritis. Termasuk pengunjuk rasa. Meskipun demikian hal ini sebenarnya adalah wujud dari ketidak percayaan diri dalam memerintah secara demokratis. Ketakutan pada bayangan sendiri. Mungkin karena dosa politik yang semakin meningkat.  Dan kekuasan pun didapat dengan cara tidak terhormat. 
Moga saja cepat bertobat dengan mundur lebih cepat. Wujud khidmat pada aspirasi rakyat.

Bandung 30 Juni 2019 (*)

Sumber: 
KONTENISLAM.COM