OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 11 Juni 2019

Hemat dalam Ketaatan

Hemat dalam Ketaatan


Oleh: Prof. Dr. Achmad Satori Ismail

10Berita, DIRIWAYATKAN dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa ia berkata: Rasululah saw bertanya kepadaku: “Wahai Abdullah, bukankan aku telah diberitahu bahwa engkau selalu puasa siang hari, dan qiyamullail malam harinya? Aku menjawab: Benar Ya Rasulullah. Lalu Beliau bersabda: jangan kau lakukan itu terus menerus tapi puasalah dan berbukalah, tahajjudlah dan tidurlah karena sesungguhnya jasadmu punya hak atas kamu, kedua matamu juga punya hak atasmu, istrimu punya hak atasmu, dan tetanggamu punya hak atasmu. Sesungguhnya cukup bagimu puasa sebulan tiga hari (puasa ayyamul biidh) karena setiap kabaikan itu dibalas sepuluh kali lipat berarti kamu seakan puasa satu tahun.” Maka akupun minta ditambah berat amalannya seraya berkata: “Ya Rasulullah , aku masih memiliki kekuatan untuk itu. Beliau bersabda: kalau begitu, Puasalah seperti puasanya Nabi Daud a.s. dan jangan lebih dari itu.” (HR. Bukhori)
Itulah sebuah contoh dialog indah antara Rasulullah saw dengan seorang sahabat yang ingin menghabiskan kekuatan dan waktunya untuk puasa. Dalam petikan dialog ini kita bisa menarik beberapa point penting:

1. Betapa hebatnya semangat para sahabat terdahulu untuk menghabiskan waktunya dalam beribadah kepada Allah SWT. Sungguh berbeda dengan zaman sekarang yang sebagian umatnya sudah terseret ke dalam dunia materialistis dan individualistis.
2. Rasulullah saw melarang berlebihan dalam ibadah mahdloh sebab akan berakibat mengesampingkan atau minimal akan menggeser kewajiban lainnya. bagaimana dengan berlebihan dalam bidang materi yang menguasai seluruh jiwa manusia.
3. Keharusan untuk melakukan keseimbangan dalam seluruh aspek kehidupan.
Demikianlah Allah menghendaki umat islam hidup bahagia dunia dan akhirat. Untuk itu Alquran dan assunnah meletakkan berbagai aturan untuk mencapai tujuan itu. Keseimbangan dalam semua aspek kehidupan merupakan asas kebahagiaan utuh di dunia karena manusia telah diciptakan dalam keseimbangan. Ia terdiri dari ruh dan jasad, sesuai dengan ukuran yang ditetapkan Allah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Qomar: 49)
Lain dari pada itu , kita sebagai muslim selalu berada di antara dua kutub yang saling tarik menarik yaitu individu dan social, dunia dan akhirat, material dan spiritual dst. Semuanya harus kita padukan secara seimbang.
Ketika seseorang menanyakan sesuatu tentang takdir melalui surat yang dilayangkan kepada Umar bin abdil aziz beliau membalasnya: “…Aku menasihatimu agar senantiasa bertakwa kepada Allah dan tidak berlebihan dalam melaksanakan perintahNya dan selalu mengikuti sunnah Nabi SAW dan meninggalkan hal-hal bidah yang dimunculkan orang-orang terkemudian setelah jelas berlakunya aturan-aturan hukumNya…” (Kitab Shohih Muslim)
Berlebihan dalam ketaatan akan menyulitkan diri sendiri. Bagaimana kita bisa melaksanakan semua perintah Allah kalau kita tenggelam terus dalam ibadah mahdloh? Memang kita diciptakan hanyalah untuk beribadah, tetapi tidak boleh tenggelam dalam satu bentuk ibadah mahdloh tanpa memperhatikan ibadah ghair mahdloh.
Ibadah bukan hanya sholat dan puasa saja. Tapi di sana masih ada sangat banyak lapangan ibadah yang harus kita lakukan sesuai dengan kemampuan dan asas keseimbangan. Bukankah bekerja dengan baik untuk mencari nafkah itu ibadah? Bukankah menikah dengan tujuan agar tidak terjerumus dalam perzinahan adalah ibadah? Bukankah menolong orang lain juga ibadah?
Di sinilah rahasianya mengapa Rasulullah marah ketika diceritakan kepadanya tentang seorang wanita yang amat banyak sholatnya tetapi mengesampingkan ibadah sosial, seraya berkata: “Hindarilah berlebihan seperti itu. Kamu harus melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuanmu. Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT tidak akan bosan sampai kamu benar-benar bosan” Sesungguhnya ketaatan beragama yang disenangi olehNya adalah ibadah yang dilakukan secara rutin.” (Muttafaq a’alaih)
Diriwayatkan dari Abdullah bin amr r.a., ia berkata: Diceritakanlah kepada Rasulullah saw tentang orang-orang yang sangat rajin beribadah sehingga berlebihan, maka beliau bersabda: Itulah kobaran semangat Islam dan puncaknya. Setiap kobaran semangat ada puncaknya. Setiap puncak memiliki kekenduran. Maka barangsiapa yang kekendurannya menuju kepada kesederhanaan dan kesunahan maka sungguh lestari dia, tapi bila kekendurannya menuju kepada maksiat maka celakalah.” (Sunan Ibni Majah)

Kesederhanaan dan hemat dalam ketaatan adalah ajaran Islam yang sesungguhnya. Istilah hemat dalam ketaatan ini bukan berarti kita bermalas-malasan dalam ibadah, tapi kita harus menerjuni dunia ibadah seperti akan mati besok dan harus rajin menerjuni urusan dunia seperti akan selamanya hidup di dunia.
Bila kita ingin maju memimpin dunia, kita harus seimbang dalam semua aspek kehidupan kita. Dan kita harus paling berkualitas dalam semua urusan tapi syaratnya tetap harus memperhatikan aspek keseimbangan. Ketika beribadah kita khusyuk dan berkualitas dan ketika kita bekerja, mengajar, berdakwah, bertani, berdagang, memimpin,..dst harus dilakukan semuanya dengan kualitas tinggi. Apalagi di era globalosasi sekarang ini, kita tidak boleh tenggelam terus dalam ibadah mahdloh tanpa mengarungi suatu perjuangan di bidang keduniaan , pendidikan, pertanian, perdagangan dan sebagainya.
Agama adalah aturan untuk manusia agar bahagia. Maka agamapun tidak menyulitkan manusia dan tidak memberikan beban di atas kemampuannya, sebagaimana difirmankan Allah “ Sesungguhnya Allah menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan kesulitan.” (QS al Baqoroh: 185)
Rasulullah pun menegaskan hal ini dengan sabdanya: “Agama adalah mudah maka tidak adalah seorang yang mempersulit agama kecuali ia akan kalah. Sebab itu sedang-sedanglah kamu dan berdekat-dekatlah dan buka harapanmu dan pergunakan waktu pagi dan sore dan sedikit waktu malam.” Dalam riwayat lain: “Sedang-sedanglah kamu dan hampirkan dirimu dan gunakan waktu pagi dan sore dan sedikit waktu malam . Bersedang-sedanglah kamu agar bisa sampai.” (HR. Bukhori). []
SUMBER: IKADI