Benten Salahuddin Al-Ayyubi di Kairo, Mesir.
10Berita, JAKARTA -- Shalahuddin al-Ayyubi, sultan yang juga panglima perang itu, berhadap-hadapan dengan Balian de Ibelin, salah satu pemimpin terpenting tentara Salib. Pertempuran yang baru terjadi antara kedua belah pihak meninggalkan kekalahan besar di pihak Balian.
Sang Sultan, Shalahuddin al-Ayyubi, menghentikan pertempuran dan secara damai meminta Balian menyerahkan Yerusalem kepada kaum Muslimin dengan beberapa penawaran.
“Aku akan mengantarkan tiaptiap jiwa (orang) kalian (umat Kristen) dengan aman ke wilayah-wi layah Kristen, setiap jiwa dari ka lian, wanita, anak-anak, orang tua, seluruh pasukan dan tentara, dan juga ratu kalian. Dan, aku akan mengembalikan raja kalian dan pada apa yang Tuhan kehendaki atasnya. Tidak satu pun dari kalian akan disa kiti. Aku bersumpah,” Sha lahuddin menyampaikan tawar annya.
“Orang-orang Kristen membantai setiap Muslim yang ada di dalam tembok Kota Yerusalem ketika me reka merebut kota ini,” jawab Balian, ragu.
“Aku bukan orang-orang (pembantai) itu. Aku adalah Shalahuddin. Shalahuddin,” tegas Shala huddin.
“Jika demikian, dengan perjanjian itu aku menyerahkan Yerusalem (pada umat Islam),” Balian mengambil keputusan.
Dialog tersebut mewarnai bagian akhir sebuah film yang diangkat dari kisah Perang Salib II pada abad ke-12, “Kingdom of Heaven”. Film yang di sutradarai seorang Inggris dengan skenario ditulis seorang Amerika itu tidak saja menunjukkan kekuatan dan kekuasaan Shalahuddin, tetapi juga sikap toleransi dan ketidaksukaan sang panglima pada perang.
Meski dikenal jago berperang di padang pasir sehingga dijuluki Singa Padang Pasir, Shalahuddin sejatinya lebih suka menghindari pe rang dan menghentikan perang secara damai meski musuhnya telah di ambang atau bahkan telah menelan kekalahan. Ia tidak membalas kejahatan pasukan Salib yang membunuh setiap Muslim di Yerusalem saat berhasil merebut kota suci itu lebih dari seabad sebelumnya.
Buku The Crusades Through Arab Eyes, Amin Maalouf (1984) menjelaskan, Shalahuddin al-Ayyubi selalu ramah pada siapa pun yang datang mengunjunginya, selalu meminta mereka tinggal sejenak dan makan bersamanya, memperlakukan mereka dengan penuh hormat, bahkan kepada tamu non-Muslim sekalipun. Ia tidak dapat membiar kan pengunjungnya melanjutkan perjalanan dalam keadaan kecewa.
Suatu hari, di tengah gencatan senjata dengan Franj (Franks atau Prancis), para bangsawan Brin yang merupakan penguasa Antiokhia (kota tua di sisi timur Sungai Oron tes, sekarang sebuah tempat di kota modern Antakya, Turki), tanpa di duga datang ke tenda Shalahuddin. Ia memintanya mengembalikan sebuah daerah yang telah diambil sang Sultan empat tahun sebelumnya. Shalahuddin menyetujuinya.
Selain itu, dalam banyak buku sejarah dan referensi lainnya, kita akan menemukan banyak kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin yang layak diteladani. Syamsuddin Arif (2008) dalam Orientalis dan Diabolisme Pemikiran mencontohkan, di tengah suasana perang, ia pernah beberapa kali mengirimkan buah-buah an untuk Raja Richard yang sedang sakit. Ia mengutus dokter terbaiknya, bahkan juga menyamar sebagai dokter untuk memeriksa dan mengobati raja yang menjadi musuhnya itu.
Ketika menaklukkan Kairo, Shalahuddin tak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana- istana mereka, tetapi menung gu sampai raja mereka wafat. Baru setelah itu anggota keluarga Dinasti Fatimiyyah yang tersisa diantarkan ke tempat pengasingan mereka.
Gerbang menuju kota tempat benteng istana berada dibukanya untuk umum. Rakyat diperbolehkan tinggal di kawasan yang sebelumnya dikhususkan bagi kalangan bangsawan Fatimiyyah. Di Kairo, Shalahuddin tak hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah sakit, dan bahkan gereja. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka di mana ia akan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Karena itu, ia dikenal sebagai pemimpin yang wara dan zuhud.



Sumber: Republika