OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 09 Juli 2019

Sutopo, Tugiman dan William Soeryadjaya

Sutopo, Tugiman dan William Soeryadjaya



10Berita,  Ini kisah tentang orang yang konsisten dalam perjalanan hidupnya jelang kematian. Perkara wajar tak wajar kematiaannya kembali pada akal sehat masing masing.

Namun yang pasti, Warbiasa negeriku. Tiba-tiba saya ingin menulis tentang tiga orang yang saya temukan dalam perjalanan takziah kepada keluarga almarhum Tugiman bekas ketua KPPS di Dusun Murten Desa Tridadi Sleman Yogyakarta.

Almarhum Tugiman ternyata seorang takmir mesjid dan karena konsisten ketokohannya di dalam keagamaanya dalam hal ini, Islam ia dinobatkan ketua KPPS.

Pun William Soeryadjaya. Konon dalam ketokohannya sebagai pengusaha miliuner dengan ajaran Catur Dharmanya. Meninggal dunia sebagai pengusaha sukses sehingga perlu Jusuf Kalla hadir mengabadikannya.

Namanya tidak saja diabadikan di dalam perusahaan tapi ke seluruh nusantara bahkan dunia seolah harus tahu pemandangan di Kilometer 160-161 di Tol Cipali, JEMBATAN WILLIAM SOERYADJAYA.

Masih tentang kematian. Tiba-tiba saya terusik ucapan bela sungkawa warbiasa Pak Jokowi kepada almarhum Sutopo Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB. Seorang maestro pengamat bencana, penderita kanker stadium IV yang masih eksis memantau bencana negeri.

Dalam perjalan pulang setelah takziah. Saya teringat pesan singkat kawan wong Jowo memberi pesan: “Aluwung Mati Tinibang Wirang”. Artinya, Lebih baik mati daripada meninggalkan aib. Maka jadilah judul ini.

Ini bukan cerita tentang kawan saya di bilangan Jawa Tengah itu. Dan ini bukan mengarang bebas tak tentu arah, jauh dari sekadar nyinyir. Terlalu berlebihankah jika semua cerita saya ini berdasarkan penelusuran lapangan?

Syahdan, dalam perjalanan menggalang aksi kemanusiaan, saya bertemu banyak keluarga korban kekerasan. Berinteraksi langsung dengannya. Merasakan langsung duka nestapa merasakan artinya kematian yang tak wajar.

Tak wajar? iya. Ini soal kematian tak wajar yang seolah-olah dibuat wajar. Tentang korban aksi kekerasan dalam peristiwa politik sebuah pesta besar menghabiskan puluhan trilliun rupiah mencari bibit unggul pemimpin negeri yaitu "Pemilu", Pemilihan yang memilukan.

Sekali lagi saya hanya ingin bercerita, ini soal kematian tak wajar hingga beberapa dari kami berkumpul dalam aliansi kemanusiaan anti kekerasan. Sekadar memberi takziah dan jika diperlukan sebagai pengingat pihak pihak penguasa yang berkepentingan memberi sedikit kepedulian.

Kami hanya ingin berbagi peran yang tak banyak orang peduli. Tak peduli dengan kematian tak wajar. Paling banter satu kata yang terlintas, kebanyakan kita hanya berujar "kasihan". Dan "jahatnya" satu kata berikutnya, akhirnya kita lupa.

Namun ada satu kata yang luput, “Malu”. Demi kasihan dan lupa kita tak malu dalam alas karpet darah kekuasaan para korban kekerasan yang meninggal dunia para remaja yang tak berdosa dan para pelaku para pejuang pemilu dalam hal ini tujuh ratus lebih petugas KPPS yang meninggal dunia.

Semua masih disebut tak wajar karena tanpa autopsi medis dan tanpa penyeledikan yang mumpuni laiknya kejadian luar biasa kematian tak wajar. Semua tabir tertutup rapat satu kata, "ikhlas" keluarga korban.

Kita hanya bisa kasihan, dan mungkin berdoa semoga syahid para remaja remaja kebanyakan yang meninggal dunia itu.

Ratusan KPPS yang meninggal dunia dalam menjalankan tugasnya itu. Atau mungkin masih ada remaja yang masih ditahan karena hajatan super mewah itu.

Sementara itu para elit dan netizen beradu argumen penting dan tidaknya rekonsiliasi. Namun masih abai mendudukan perkara hukum akibat meninggal duniannya dari peristiwa hajatan puluhan triliun rupiah. Walau sekadar ucapan belasungkawa pun tak keluar dari yang diuntungkan kejadian tragis ini.

Sungguh kita harus belajar dari meninggal dunianya Sutopo pakar mitigasi bencana nasional. Kita harus belajar kepada mendiang Williaw Soeryadjaya pakar mitigasi resiko kredit perbankan.

Hanya ketokohan dan keuletan model begini ini yang dihargai negeriku. Kematiannya mencuri perhatian negara. Kita kebanyakan, apalagi saya penggiat kemanusiaan mimpi pun haram. Walau terlalu menghina jika rakyat muka kampung tak bisa berpikir. Boleh jadi lebih cerdas dari Anies Baswedan bagaimana mengkapital warteg menjadi franchise dunia. Seperti saudara saudara kita di Minang dan Aceh.

Kasihan dan lupakan Tugiman dan para remaja yang meninggal dunia itu. Karena tak ada tempat buatnya di negara ini. Walau sekadar ucapan belasungkawa apalagi hadir memberi ketabahan.

Warbiasa negeriku. Malu bukan lagi ajaran filosofi leluhur nenek moyang aseli Mataram, Lebih baik mati daripada menanggung aib (Aluwung Mati Tinimbang Wirang).

Penulis: Soemantri Hasan