OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 26 Agustus 2019

TAK CERDAS MENGGILAS UAS

TAK CERDAS MENGGILAS UAS



TAK CERDAS MENGGILAS UAS

Persoalan UAS tidaklah murni persoalan agama. Melihat dari waktu ceramahhya, jelas ini mengandung hal lain. Provokasi berbasis agama. Sebab, agamalah umpan paling lezat untuk memprovokasi umat.

Kalau kita perhatikan, soal UAS terbelah dalam 2 pandangan strategis. Yang pertama soal intrik dan strategi berperang dengan memakai ulama sebagai triggernya. Yang kedua soal esensi ceramahnya sendiri.

Sebelum bahas dan dalami lebih jauh, coba kita jawab pertanyaan berikut. Mengapa UAS? Kenapa bukan Ustadz Yahya Waloni yang terang-terangan menantang debat Islam-Kristen? Karena UAS punya jamaah. Mereka menyebutnya massa. Lalu dari sekian banyak tema ceramah UAS, mengapa soal salib jin kafir yang diangkat? Karena pada tema itulah terdapat potensi benturan umat. Dan kenapa bukan ceramah UAS terkini? Karena peristiwa yang lalupun dapat dijadikan pemicu benturan. Sebab yang dicari bukan topik, tapi delik. Terakhir, kenapa sekarang? Karena sekarang adalah momen yang tepat untuk menjaga agar pikiran publik tidak fokus pada Oktober.

Hal pertama soal strategi perang, sungguh mudah melihat bahwa saat ini sedang dihadirkan sebuah keramaian di tengah sepinya ulasan tentang kelakuan rezim. Menggunakan bungkus agama dan tokoh yang memiliki massa yang selalu membludak. Perhatikanlah bahwa hampir tidak ada kebijakan strategis yang dilahirkan dalam beberapa bulan terakhir. Ini tidak bagus buat adegan panjang menuju Oktober. Pelantikan beraroma ramah atau penampikan berbau marah? Masa menunggu yang serba mungkin terjadinya pecahnya kobaran karena dipicu sakit hati karena dicurangi.

Secara politis semua masih menanti. Wait and See. Tapi tidak juga sampai sepi betul. Harus ada keriuhan yang membuyarkan pengamatan publik. Sun Tzu bilang, kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya. Dimunculkanlah UAS. Tak peduli itu ceramah usang. Yang penting menyenggol simbol non muslim, sudah cukup.

Boom...

Lihatlah hasilnya. Tak sulit menebak ini akan meluas dan merebak hingga berhari-hari. Diharapkan terus meluas dan menajam sampai terjadi konflik serius antar umat. Lalu ketika sudah dianggap memasuki kadar berbahaya pada situasi kemanan nasional, maka intensitasnya harus diturunkan dengan memunculkan isu baru. Paling mudah, diredam lewat pendekatan "muslim yang pemaaf". Salaman, selesai dan case close. Tapi jangan lupa, riuh itu telah berhasil meramaikan dan menggeser perhatian publik.

Hal kedua soal esensi ceramah UAS yang dianggap menghina umat kristen. Mengacu pada 2 hal yang disampaikan beliau yaitu, Jin dan Kafir. Tanpa dipersatukanpun, faktanya kedua teks tersebut lebih banyak diulas di wilayah keimanan muslim. Setidaknya itu yang mudah ditemukan di mimbar, masjid ataupun ruang publik berkarpet kajian muslim.

Tetapi tahukah anda bahwa kata kafir juga tertulis di Bible? (Matius 5 : 22). Jika muslim menterjemahkan kafir sebagai penolakan kebenaran yang datang dari Allah SWT, berbeda dengan kafir yang dimaknai kristen. Tertulis disana bahwa kafir itu sebuah makian dan cacian. Maka ketika kafir disebutkan oleh muslim dan didengar oleh non muslim, maka maknanya bisa berbeda. Jadi siapa seeungguhnya yang memaknai kafir dalam sikap negatif?

Bagi muslim yang menganggap teks kafir itu kasar, jelas pemahaman tauhidnya masih perlu diperdalam lagi jika tak ingin disebut jarang ngaji. Maka, ketika anda ikut-ikutan menuding UAS telah salah berceramah saat itulah anda berhasil menancapkan diri sebagai muslim yang ala kadarnya. Tambah aneh lagi, jika UAS didorong-dorong untuk minta maaf segala. Teranglah tak pahamnya akan esensi masalah. Lalu melahirkan cara universal menyelesaikan masalah dengan minta maaf. Tervonislah UAS bersalah.

Termasuk soal jin.

Sederhananya, konotatif teks jin dan kafir itu sama dengan pelacur miskin. Adakah orang mau disebut pelacur? Tidak ada. Adakah orang mau disebut miskin? Juga tidak ada. Hasilnya, menjadi imajinatiflah kedua teks tersebut. Ada tapi tak ada. Sama dengan Jin dan Kafir. Tak ada yang mampu membuktikan adanya. Lalu kedua teks imajinatif itu dipersatukan dan tergelincirlah pikiran pada nalar yang tidak mampu memahaminya. Terpeleset di lantai kedunguan. Tak nyaman didengar karena baper dan miskin ilmu. Lantas emosinya diundang untuk ikutan mengomentari teman sekolam.

Jadilah ramai. Sukseslah sutradara licik merekayasa ranah publik. Dibeli dan dipasang di dinding netizen karena sensitif dan strategis. Riuhlah jagat sosmed yang mengalahkan sakralnya upacara dan seremonial tujuhbelasan.

Dan waktu menjadi melar oleh kehebohan ulasan UAS. Merekapun tersenyum. Tapi sayangnya, muslim cerdas sudah paham bahwa ini hanyalah permainan busuk dan akal-akalan syahwat kepentingan.

Trik picisan!

(Yanto Hendrawan)