OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 18 Agustus 2019

Terlilit Utang untuk Biayai Proyek Infrastruktur Pemerintah, Sejumlah BUMN Dihantui Kebangkrutan

Terlilit Utang untuk Biayai Proyek Infrastruktur Pemerintah, Sejumlah BUMN Dihantui Kebangkrutan



Ilustrasi.Istimewa

10Berita,Jakarta- Lektor Kepala Prodi Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta, Imron Rosyadi, mengatakan bahwa lembaga pemeringkat sekuritas Standard and Poor's (S&P) menurunkan peringkat kredit obligasi dolar DMDT menjadi CCC.

"Teranyar, lembaga pemeringkat sekuritas Standard and Poor's (S&P) menurunkan peringkat kredit obligasi dolar DMDT menjadi CCC- (junk bond) dengan alasan DMDT menghadapi tantangan risiko kredit yang signifikan. Sementara Fitch Rating menurunkan peringkat menjadi B- yang berarti DMDT mengalami peningkatan pembiayaan dan risiko likuiditas," ujar Imron seperti dilansir dari detikcom, Jumat (16/8).

Imron khawatir kondisi ini bisa merambat ke risiko likuiditas perbankan.

"Kondisi seperti itu dikhawatirkan merambat ke risiko likuiditas (kredit macet) perbankan. Karena DMDT disinyalir memiliki kredit sindikasi bank senilai Rp 17 triliun. JP Morgan (2018) mengabarkan bahwa dalam tahun 2018 Duniatex Group telah menerima kredit 362,3 juta dolar AS dan Rp5,25 triliun dari bank," ujarnya.

Imron juga menyebut bahwa sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami masalah keuangan. Dia lalu menyebut beberapa perusahaan yang dikabarkan mengalami masalah.

"Sejumlah perusahaan BUMN juga mengalami masalah keuangan yang serius. PT Jiwasraya dikabarkan tidak mampu membayar premi hingga Rp802 miliar. Tunggakan premi itu bersumber dari produk saving plan yang diluncurkan perusahaan pada 2013. Namun belakangan tersandung masalah penempatan dana produk tersebut pada portofolio investasi," sebutnya.


"Sementara PT Krakatau Steel (KS), meskipun belum dinyatakan gagal bayar utang, membengkaknya utang hingga Rp35 triliun berpotensi menyeret KS dalam kesulitan likuiditas. Merujuk laporan keuangan KS (2018) tercatat utang mencapai 2,49 miliar dolar AS (sekitar Rp 35 triliun). Besaran utang ini menunjukkan ada kenaikan sebesar 2,26 miliar dolar AS (10,45% ) dibandingkan 2017. Kondisi likuiditas ini masih diperparah lagi dengan utang jangka pendek yang membengkak hingga 1,59 miliar dolar AS, yakni naik sebesar 1,36 miliar dolar AS (17,38%) dibandingkan 2017," lanjutnya.


Imron menyebut kondisi utang jangka pendek KS lebih tinggi dari utang jangka panjangnya memiliki risiko tinggi default. Bahkan, proyek baru KS dinilai berpotensi mengalami kerugian.

"Jumlah utang tersebut memperlihatkan utang jangka pendek KS lebih besar dari hutang jangka panjangnya. Dalam kaidah keuangan posisi ini memiliki risiko tinggi default. Ironisnya proyek baru KS yang sedang berjalan dinilai berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp1,3 triliun per tahun," sebutnya.

Sementara itu, PT Garuda Indonesia melakukan pelanggaran laporan keuangan di tahun buku 2018.

"Sedangkan PT Garuda Indonesia (GIIA), berdasarkan hasil temuan/pemeriksaan Kemenkeu, OJK, dan BPK dinyatakan terdapat pelanggaran laporan keuangan pada tahun buku 2018. Buntutnya, GIIA mempublikasikan ulang laporan keuangan (restatement) yang menyajikan hasil revisi laporan laba/rugi. Semula GIIA mencatatkan laba sebesar 5,01 juta dolar AS, kemudian direvisi menjadi rugi sebesar 175,02 juta dollar AS (Rp2,45 triliun)," ungkap Imron.

Menurutnya, ada 4 BUMN Karya yang terancam bangkrut karena terlilit utang. Imron menyebut utang jangka pendek itu digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur pemerintah.

"Ancaman technically bankrupt juga menghantui 4 BUMN Karya, karena terlilit utang jangka pendek senilai Rp115 triliun dari total utang sebesar Rp156 triliun. Utang sebesar itu digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang tugaskan pemerintah. Kondisi keuangan seperti ini jelas berisiko gagal bayar utang, mengingat rasio utang terhadap ekuitas cukup tinggi. BUMN properti dan konstruksi Debt Equity Ratio-nya telah mencapai 2,99%, jauh lebih tinggi di atas industri yang hanya 1,03%," jelas Imron.

Sumber: JITUNEWS.COM