OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 20 Oktober 2019

Pengamanan Lebay Pelantikan Presiden

Pengamanan Lebay Pelantikan Presiden


10Berita - Sekitar 31 ribu personel Polri dan TNI dikerahkan untuk mengamankan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo - Ma'ruf Amin pada Ahad besok, 20 Oktober 2019. Pengamanan acara itu dinilai berlebihan dan membuat masyarakat tak nyaman.

Jumlah tersebut jauh meningkat ketimbang acara yang sama lima tahun lalu saat Jokowi ditasbihkan sebagai Presiden Indonesia untuk periode pertama bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat itu, jumlah aparat pengamanan yang dikerahkan kurang dari 25 ribu orang.

Tak hanya itu, kali ini pengamanan Presiden juga membuat sejumlah jalan di ibu kota harus di tutup, setidaknya di sekitar Gedung DPR - MPR dimana acara itu akan digelar. Jalan Gatot Subroto, Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Gerbang Pemuda ditutup satu jalur sejak Jumat kemarin hingga Ahad besok.

Hal itu jelas membuat aktifitas warga terbatasi. Kemacetan lebih masif pun terjadi di sejumlah jalan alternatif sejak Jumat kemarin.

Di sejumlah pusat keramaian seperti mall, pengamanan juga diperketat. Panser-panser TNI dikerahkan sehingga membuat suasana seperti akan berperang. Misalnya di ITC Glodok. Berdasarkan pantauan Tempo sebuah panser TNI sudah terparkir di depan pusat perbelanjaan itu sejak Kamis kemarin. Sebuah posko berisi 15 orang anggota militer juga disiagakan.

Pengamanan mega tersebut, menurut Kepala Kepolisian Republk Indonesia Jenderal Tito Karnavian untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa yang kemungkinan akan terjadi saat acara pelantikan Jokowi - Ma'ruf Amin digelar. Pasalnya, menurut Tito, unjuk rasa yang terjadi belakangan ini kerap berakhir ricuh.

"Pengalaman kami beberapa kali terjadi, adik-adik mahasiswa pada siang hari (berdemonstrasi) aman saja, tapi malamnya mulai lempar batu, bakar-bakaran, ada senjata berbahaya, merusak fasilitas umum," ujarnya usai apel pengamanan pelantikan tersebut di Lapangan Silang Monas, Kamis kemarin 17 Oktober 2019.

Tak hanya itu, polisi juga mengeluarkan larangan berdemonstrasi di seluruh daerah hingga pelantikan besok. Meskipun mengakui bahwa demonstrasi merupakan hak yang dilindungi undang-undang, Tito menyatakan bahwa hal itu sebagai diskresi Polri untuk menjaga harkat dan martabat bangsa.

"Kami tidak mau menanggung resiko bangsa dicap buruk. Ini momentum untuk menunjukkan ke dunia internasional bahwa kita bangsa yang besar, tertib dan damai," kata Tito.

Kekhawatiran akan adanya demonstrasi besar-besaran pada Ahad besok juga berimbas di daerah sekitar DKI Jakarta. Polisi bahkan akan berupaya melakukan penjegalan mobilisasi massa yang menuju DKI Jakarta.

Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Kepala Biro Operasi Polres Tangerang Selatan Komisaris Murodih pada Rabu lalu. Murodih menyatakan pihaknya menyiagakan 250 personel gabungan untuk berjaga agar massa yang berniat berdemonstrasi tidak masuk wilayah DKI Jakarta.

"Pasukan disiagakan di polres dan polsek- polsek, kami pertebal di Pamulang dan Ciputat karena saat demo kemarin yang berangkat dari sana cukup banyak," ujarnya. "Apabila ada konsentrasi massa kita coba mendekatkan dan kita sampaikan dengan pemahaman- pemahaman. Ya kalo berangkat kita upayakan kalo bisa kita sekat."

Dia bahkan mengancam akan melakukan pembubaran paksa jika massa berkeras akan berangkat demonstrasi ke Gedung DPR. Pasalnya, menurut dia, sudah ada sosialisasi yang mengimbau massa untuk tak menggelar demo.

"Pemahaman sudah, sosialisasi sudah. Ya kalau mereka terpaksa, kami bubarkan paksa," kata Murodih.

Sontak larangan demonstrasi itu mendapatkan cibiran dari banyak pihak. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hassanuddin Makassar Fatir Kasim menilai larangan itu sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat.

Fatir menyatakan bahwa larangan yang juga sempat diucapkan Kapolda Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Mas Guntur Laupe itu justru memprovokasi mahasiswa.

“Sebenarnya Pak Kapolda sedang memprovokasi mahasiswa turun aksi," ujarnya.

Pengamat intelijen dan keamanan mahasiswa doktoral Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta juga menilai larangan itu berlebihan. Menurut dia, Polri seharusnya menyikapi demonstrasi seperti biasa saja.

"Seharusnya ada cara lain yang lebih bijak, Polri kalau mahasiswa mau demo, ya, dikawal saja. Dikawal dengan ketat, diberi pagar betis, dikawal demo seperti biasa begitu," ujarnya dalam diskusi publik ‘Menakar Situasi Polhukam Menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI’ oleh Indonesian Public Institute di Jakarta Selasa kemarin.

Sejumlah pemerintah daerah di sekitar DKI Jakarta juga mengeluarkan kebijakan yang dianggap berlebihan. Misalnya Bupati Bogor Ade Yasin yang mengancam akan menuntut guru dan orang tua murid yang anaknya ikut berdemonstrasi.

"Saya sudah sampaikan tadi, akan menuntut pihak sekolah dan orang tua yang membiarkan anaknya yang bolos kesana," ucap Ade Yasin saat gelar olah raga bersama siswa, guru dan orang tuanya di Cibinong, Jumat 18 Oktober 2019

Di Bekasi, Wali Kota Rahmat Effendi bahkan meniadakan agenda Car Free Day (CFD) yang biasanya digelar di Jalan Ahmad Yani. Alasannya untuk mengantisipasi adanya gangguan keamanan, ketertiban umum dan ketenraman masyarakat.

Sejumlah Masyarakat pun menilai kebijakan-kebijakan itu terlalu mengada-ada. Pasalnya, lokasi mereka dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin terbilang jauh.

"Jauh antara lokasi pelantikan dengan car free day, ini lebay," ujar Tati, seorang warga Bekasi. [tempo]