OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 06 Oktober 2019

Seorang Uskup yang Masuk Islam

Seorang Uskup yang Masuk Islam


“Bismillahirrahmanirrrahim
Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Hiraqla, pemimpin Romawi.
Kesejahteraan bagi siapa saja yang mengikuti jalan petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Tuan akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah melipat gandakan pahala Tuan. Jika Tuan menolak, maka Tuan akan menanggung dosa rakyat Arisiyyin.
Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah berdagang kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tiada sembahan kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak pula sebagian dari kita menjadi tuhan bagi yang lain. Jika mereka berpaling, maka katakan kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri.”
SURAT dari Rasulullah untuk kaisar Romawi selesai dibacakan. Surat itu dibawa oleh sahabat yang berwajah mirip dengan malaikat Jibril, Dihyah al-Kalbi Kaisar Hiraqla tercenung. Ia teringat ajaran Injil dan Taurat yang telah mengabarkan akan lahirnya seorang nabi akhir zaman. Namun ia tidak bisa menerima begitu saja isi surat itu.

Usai surat dibacakan, kaisar pun menceritakan hasil investigasinya tentang Rasulullah Muhammad saw., dari Abu Sufyan bin Harb yang kebetulan tengah berdagang ke negeri Syam. Uskup Ibnu Nathur sengaja dipanggil untuk memberi pertimbangan. “Bagaimana, Uskup? Benarkah apa yang tertulis dalam surat itu?”
“Ia adalah rasul yang kita tunggu-tunggu, Tuan. Ia adalah rasul yang telah dikabarkan oleh Nabi lsa. Sejujurnya saya meyakini dan mengikutinya,” jawab Ibnu Nathur tanpa keraguan. Sebagai seorang ahli kitab, ia mengetahui dengan jelas perihal kedatangan utusan terakhir dengan ciri-ciri sesuai yang dijelaskan oleh Abu Sufyan dan Dihyah al-Kalbi. Kaisar Hiraqla sadar betul pendapat uskup tidak salah. Namun di sisi lain, is takut kehilangan kekuasaannya jika meninggalkan agama lamanya.
“Wahai Dihyah, rasul yang kau kabarkan itu adalah rasul terakhir. Kami mengetahui sifat-sifatnya, ciri-cirinya, dan juga namanya dari Injil dan Taurat,” ujar Uskup. Selepas pertemuan hari itu, Uskup sering berdiskusi dengan Dihyah. Ia pun mantap meninggalkan ajaran Injil dan menyempurnakan agamanya dengan mengikuti rasul Muhammad SAW.
Uskup mengenakan pakaian serba putih. Ia tanggalkan pakaian kebesarannya sebagai seorang pendeta. “Hendak ke manakah Anda dengan pakaian itu, Tuan Uskup?”
“Sahabatku Dihyah, aku hendak menemui umatku. Saksikanlah apa yang terjadi padaku hari ini dan ceritakanlah kepada Rasulullah. Sampaikan padanya aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta sampaikan salamku kepadanya.”
“Semoga Allah merahmati Anda, Tuan. Akan saya sampaikan pesan Anda kepada Rasulullah.”
Uskup lantas keluar menemui orang-orang. Betapa terkejutnya mereka melihat uskup yang tidak mengenakan pakaian kebesarannya. “Wahai rakyat!, mulai detik ini aku tidak dapat lagi berdiri di hadapan kalian sebagai seorang uskup,” Uskup lbnu Nathur mengawali ceramahnya. Orang-orang saling berbisik penuh tanya. Mereka mulai curiga kepada Uskup yang terlihat akrab dengan utusan dari Makkah itu.

“Hari ini aku bersaksi bahwa tiada yang patut disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah!” Kalimat Uskup begitu mengejutkan.
“Uskup pengkhianat!” teriak beberapa orang di antara mereka.
“Uskup pembohong! Hajar dia!” teriak yang lain. “Bunuh saja dia yang mengkhianati agama kita!” Penduduk lliya tak terima dengan pernyataan Uskup. Mereka merangsek maju dan menerjang tubuh tuanya. Tanpa ampun mereka memukul dan menghajar Uskup lbnu Nathur hingga ia menemui ajalnya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Ummu Rumaisa/ Al-Qudwah Publishing/ 2015, Islampos