Etnis China Dilarang Punya Tanah di DIY, Parampara Praja: Diskriminasi yang Positif
10Berita - Mahasiswa Fakultas Hukum UGM sekaligus WNI keturunan China, Felix Juanardo Winata, menggugat UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY ke Mahkamah Konstitusi (MK). Felix mengklaim UU itu diskriminatif, yang menyebabkan dirinya tidak bisa memiliki hak milik atas tanah di Yogyakarta.
Dalam gugatannya, Felix menyebut keberadaan UU Keistimewaan DIY melegitimasi Surat Instruksi No K.898/i/A/1975 perihal penyeragaman policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI nonpribumi. Instruksi tersebut ditandatangani Wagub DIY masa itu, Paku Alam VIII.
Ahli hukum pertanahan sekaligus anggota Parampara Praja DIY, Suyitno, menjelaskan adanya larangan WNI nonpribumi punya hak milik atas tanah di Yogyakarta memiliki sejarah panjang. Ada dua faktor sehingga muncul larangan itu, yakni karena hukum adat dan kedua faktor historis.
"Aturan itu (larangan WNI nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta) disamping hukum adat, hukum adat itu mengatakan bahwa hanya warga masyarakat hukum adat yang bisa mempunyai hak milik (atas tanah)," ujar Suyitno saat dihubungi detikcom, Senin (25/11/2019).
"Terus zaman Belanda, Belanda itu juga membuat namanya ground vervreemdings verbod, itu aturan yaitu bahwa tanah-tanah orang pribumi tidak boleh diasingkan kepada nonpribumi. Diasingkan itu dialihkan, disewakan, dipinjamkan (kepada nonpribumi)," sambungnya.
Ground vervreemdings verbod diberlakukan kolonial Hindia Belanda sekitar tahun 1870 silam. Adapun maksud aturan itu, kata Suyitno, adalah untuk melindungi orang-orang pribumi yang ekonominya lemah dari pengusaha asing atau nonpribumi yang bermodal besar.
"Lha itu (aturan masa kolonial) kemudian dilaksanakan terus, dan makanya itu menurut hukum adat dilaksanakan. Terus itu tahun 75 (1975) ditegaskan diatur demikian (dalam Surat Instruksi No K.898/i/A/1975)," tuturnya.
Menurut Suyitno, aturan yang tertuang di dalam Surat Instruksi No K.898/i/A/1975 tidak melanggar regulasi di atasnya. Sebab aturan itu dikeluarkan berdasarkan hukum adat dan faktor sejarah. Sementara aturan itu disebut Suyitno juga tidak bertabrakan dengan UU Pokok Agraria (UUPA).
"(Perkara aturan yang) diskriminatif itu memang ada, itu sebetulnya ada konvensi internasional. Kita itu menganut, dunia itu menganut namanya afirmatif teori, (diperbolehkan) diskriminasi tapi diskriminasi yang positif. Maksudnya baik, gitu loh," terangnya.
"Afirmatif teori itu, jadi diskriminasi itu boleh dalam rangka untuk menghilangkan akibat dari diskriminasi yang lalu... Dampaknya kan orang-orang pribumi itu beberapa lama dijajah Belanda, kan lama, ini masyarakat Yogyakarta," lanjutnya.
Sementara terkait kepemilikan tanah, Suyitno menegaskan bahwa setiap WNI berhak memiliki tanah di Yogyakarta. Hanya saja hak kepemilikan tersebut diatur, hak milik atas tanah WNI nonpribumi dihapus, namun mereka tetap memiliki hak atas tanah lainnya.
"Sekarang kalau secara hukum itu tidak harus WNI punya hak milik (atas tanah). UUPA itu mengatur, hak-hak (atas tanah) itu ada hak milik, ada hak guna usaha, ada hak guna bangunan, ada hak pakai, ada hak pengelolaan. Macam-macam hak," tegasnya.
Suyitno lantas mencontohkan di Yogyakarta. Meski WNI nonpribumi tidak memiliki hak milik atas tanah, namun mereka tetap bebas menjelaskan usahanya di Kota Pelajar ini. Bahkan unit usaha mereka menguasai di sejumlah lini ekonomi masyarakat.
"Siapa yang tidak boleh memiliki tanah? Hotel Tentrem, Hartono Mall, mal-mal itu punyanya siapa?... Sebagian tempat-tempat bisnis itu miliknya siapa?" pungkas dia. [detik]
Sumber: KONTENISLAM.COM