Hak Veto Menko, Sebuah Tanda Tanya Lain
10Berita – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa saat ini Menko Polhukam di berikan hak veto oleh Presiden.Mahfud MD menyinggung kebiasaan di masa lalu, dimana Menko memang membawahi beberapa Menteri, tapi bukan sebagai pemimpin struktural melainkan koordinasi. Dan hal itu membuat rapat koordinasi seringkali dianggap sebagai formalitas oleh menteri-menteri teknis.
Biasanya, lanjut Mahfud, menteri-menteri seharunya yang ikut rapat malah mengutus Dirjen, sehingga keputusan-keputusan Menko tidak menyambung hingga ke bawah.
“Menterinya merasa tidak terikat karena tidak ikut rapat sehingga tidak lancar, maka tadi Presiden di depan semua menteri yang hadir tadi mengatakan menko diberi hak veto,” ungkap Mahfud.
Menurut Menko Polhukam, hak veto yang di sini artinya adalah Menko dapat membatalkan kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh Menteri teknis apabila tidak sejalan dengan Visi dan Misi Presiden RI.
“Kata Presiden, menteri tidak boleh punya visi karena yang punya visi itu pemerintah. Menko mempunyai hak veto untuk mengendalikan seluruh pesan Presiden dilaksanakan oleh menteri-menterinya itu sejalan,” terang Mahfud.
Kemenko Polhukam merupakan satu dari empat kementerian koordinasi yang terdapat dalam Kabinet Indonesia Maju. Adapun Kementerian dan Lembaga di bawah Kemenko Polhukam yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian PANRB, Kejaksaan Agung, BIN, TNI, Polri, BSSN, Bakamla, dan BNPT.
Tanda Tanya Lain
Pernyataan Mahfud MD terkait hak veto tersebut justru menjadi tanda tanya lain yang menyelimuti perjalanan awal Jokowi-Ma’ruf Amin bersama Kabinet Indonesia Maju.
Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjen LBH PELITA UMAT , Chandra Purna Irawan,SH.,MH. menilai ada beberapa hal yang kurang pas pada pernyataan Mahfud MD, khususnya jika ditilik dari perspektif hukum.
“Bahwa hak prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden atau Kepala Negara untuk melakukan sesuatu tanpa meminta persetujuan lembaga lain, termasuk kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri adalah Presiden berdasarkan UUD 1945 Pasal 17 ayat 2: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,” ujar Chandra melalui Telegram.
Chandra menjelaskan bahwa Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup kewenangan Presiden untuk mencabut atau membatalkan peraturan menteri.
Maka ketika Menteri Koordinator memang diberikan kewenangan untuk membatalkan dan/atau mencabut Peraturan Menteri, maka semestinya Menteri Koordinator diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri yang berada di bawah kordinasinya.
Sementara di dalam konstitusi, Menteri Koordinator tidak diberikan kewenangan mengangkat dan memberhentikan. Karena tidak terdapat kewenangan yang bersifat asli berasal dari peraturan perundang-undangan, maka penerima wewenang tidak dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang.
Chandra justru mengkhawatirkan kebijakan hak veto Menko malah menyelisihi Pasal 17 ayat (2) UUD 1945.
“Apabila kewenangan Presiden didelegasikan kepada Menteri Koordinator, maka tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih pada penerima delegasi. Apabila hal ini terjadi, (maka, red.) bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, yaitu tanggung jawab yuridis adalah Presiden. Kewenangan veto itu harus diatur dalam undang-undang,” jelas Chandra.
Pernyataan Mahfud yang menyiratkan bahwa kedudukan Menko seolah lebih tinggi dari menteri teknis juga dinilai kurang tepat.
“Bahwa kedudukan Menteri Koordinator merupakan bagian dari menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden sebagai pimpinan tertinggi eksekutif dalam upaya melaksanakan urusan pemerintahan. Maka seluruh menteri semua kedudukan hukumnya sama, tidak terdapat istilah Menteri Koordinator lebih tinggi dibandingkan menteri lain,” ujarnya.
Para Menteri, lanjut Chandra, baik Menko maupun Menteri teknis berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hanya saja Kementerian Koordinator mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidangnya.
“Pengendalian disini bukan pada proses pencabutan dan/atau pembatalan Peraturan Menteri, melainkan pada proses sebelum diterbitkan Peraturan Menteri. Apabila sudah diterbitkan Peraturan Menteri, maka kewenangan Pembatalan dan/atau pencabutan ada pada Presiden. Menteri dan Menteri Koordinator dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya harus bekerja sama di bawah piminan Presiden selaku pimpinan eksekutif,” terang Chandra.
Chandra pun berharap agar para personel Kabinet Indonesia Maju tidak mempertontonkan “pertarungan kewenangan”, karena dikhawatirkan masyarakat akan menilai bahwa rezim ini sedang berlomba-lomba dalam “mengamankan kepentingan” dengan dalih kepentingan rakyat.
“Publik menginginkan penyelenggaraan pemerintahan yang memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, transparan, profesional, akuntable dan berorientasi kepada rakyat. Bukan parade unjuk kekuasaan untuk saling menelikung diantara para pejabat penyelenggara urusan Pemerintahan,” pungkasnya.
Sumber: KIBLAT.NET