Jakarta Seperti Kampung Karena Demokrasi?
10Berita - MENDAGRI Tito Karnavian baru-baru ini mengatakan bahwa Jakarta seperti kampung jika dibandingkan dengan Beijing dan Shanghai di Cina, dan itu karena di sana negara non demokrasi.
Pernyataan seperti ini tentunya mengundang banyak pertanyaan, apa maksud dibalik pernyataan ini. Apakah hendak mengatakan bahwa negara komunis lebih baik daripada demokrasi di negara Pancasila? Atau ada tersirat pernyataan politik untuk menuding tokoh tertentu? Tentunya ini pernyataan yang kurang elok dari seorang menteri.
Bahwa Jakarta masih seperti kampung itu adalah realita. Prosentase kampung kumuh lebih kurang 20%, angka kemacetan sangat tinggi begitu juga angka kemiskinan kota.
Lalu apakah persoalannya karena kita negara demokrasi? Ini kesimpulan yang sangat keliru.
Kita lihat Jepang yang negara demokrasi, kota-kota besarnya maju dan tertata dengan baik seperti Tokyo, Osaka, Nagoya dan lain-lain. Begitu juga Taipei, Hongkong (dulu) dan Singapura, mereka bukan negara komunis, tapi kotanya maju tertata.
Sekarang negara-negara demokrasi di dekat kita seperti Malaysia dan Korea Selatan juga sudah memiliki kota-kota yang tidak lagi seperti kampung yang kumuh. Jadi jelas sekali bukan faktor politik negara, demokrasi atau non demokrasi, yang menentukan.
UN Habitat mengatakan bahwa hanya ada dua kelompok negara-negara terkait dengan pembangunan kota. yaitu negara-negara yang sudah memiliki strategi dan kemampuan menuju kota kota berkelanjutan tanpa permukiman kumuh dan yang belum punya. Indonesia dengan Jakartanya tentu masih termasuk golongan kedua. Belum ada strategi itu dan belum terbangun kemampuan itu.
Ini bukan tanggung-jawab Gubernur ataupun pemerintah daerah saja. Ini juga tugas konkuren pemerintah pusat dalam pembangunan kota-kota. Ini juga tanggung jawab Menteri Dalam Negeri dan Menteri terkait pembangunan prasarana dan sosial ekonomi kota-kota.
Kita ambil contoh dalam menata kampung kumuh. Kota-kota besar yang sudah berhasil menata kampung kumuh menuju kota kota tanpa kumuh selalu memiliki BUMN dan BUMD bidang Penataan Kota dan Perumahan Rakyat yang sangat kapabel. Di Singapura ada URA dan HDB, di Malaysia ada KLCC Authority, Perbadanan Putrajaya dan Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor. Di Jepang ada Urban Renaissance Agency dan di Korea Selatan ada Korean Land and Housing Corporation.
Semua lembaga-lembaga di negara demokrasi tersebut menunjukkan strategi yang kuat dan keinginan pemerintah untuk menata kota-kota dan menyediakan Perumahan Rakyat secara sungguh-sungguh.
Mereka mengerjakan banyak sekali proyek-proyek terpadu berskala besar. Bukan menggunakan anggaran yang besar saja, tapi yang lebih penting adalah aransemen program terpadu jangka panjang berskala besar. Sehingga untuk itu mereka terus memupuk kapasitas dan profesionalitas operator-operator milik negara.
Itu hal yang tidak kita lihat di negeri ini. Pembangunan kota-kota utamanya menjadi ajang spekulasi pengusaha properti dan permainan politik daerah. Bidang Perumahan Rakyat levelnya masih seperti kumpulan pimpro proyek-proyek semata. Tidak ada penyediaan rumah susun dalam skala besar di kota-kota metropolitan. Yang ada cuma pengadaan konstruksi rusunawa yang dibagi-bagi ke kepolisian, tentara, pesantren dan perguruan tinggi.
Mengapa dibagi-bagi ke situ? Sederhana, karena malas menugaskan BUMN, mempercayakan anggaran dan membina kapasitasnya. Kementerian mau mengerjakan sendiri proyek-proyek perumahan sebagai operator, padahal perannya regulator.
Begitu juga di bidang permukiman dan perkotaan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Cipta Karya dan BPIW di Kementerian PUPR. Tidak ada program penataan kota skala besar dan terpadu hingga melibatkan 30.000 KK permukiman kumuh, misalnya. Tapi Cipta Karya sekarang punya proyek Kota Tanpa Kumuh dengan pinjaman hutang luar negeri hingga miliaran USD.
Begitu juga BPIW yang sudah menghabiskan APBN triliunan rupiah. Sama sekali tidak memupuk kapasitas dan delivery system dalam pembangunan kota-kota di Indonesia. Karena kegiatannya dihabiskan untuk proyek-proyek konsultan kajian dan rencana ini dan itu yang tidak definitif.
Jadi di hampir semua Direktorat Jenderal terkait prasarana, APBN terus mengucur, hutang luar negeri terus bertambah, tapi tanpa memupuk delivery system dan institutional capacity yang baik. Kementerian-kementerian pemerintah pusat memang biasa melakukan hal seperti ini. Sedangkan pemerintah daerah jalan sendiri tanpa strategi dan kapasitas yang memadai.
Itu dia masalah kita. Ayo, Pak Menteri jangan produksi analisis dan pernyataan yang ngawur. Jauh lebih produktif melakukan refleksi dan pembelajaran yang cerdas. Indonesia perlu strategi perkotaan untuk mengatasi urbanisasi tinggi yang selama ini tidak terkelola baik. Indonesia dan Jakarta butuh memupuk kapasitas dan sistem kelembagaan dalam mengelola metropolitan. Ayo, pemerintah bekerja sajalah dengan baik.
Salam.
M. Jehansyah Siregar, Ph.D.
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB)
Sumber: KONTENISLAM.COM