Narasi Menyesatkan Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Oleh: Dr. Mohammad Nasih*
10Berita – Bukan muslim namanya jika tidak fundamentalis. Sebab, setiap muslim membutuhkan dasar dalam ber-Islam. Dasarnya mutlak, Al-Quran dan Al-Hadits. Jika tidak berdasar keduanya, maka bisa dipastikan bukan muslim.Dan karena kebenaran Al-Quran dan Al-Hadits, maka setiap muslim pastilah bisa diajak berdebat sampai ke akar-akarnya alias radikal. Itulah sebab, di hampir setiap universitas Islam besar, ada fakultas ushuluddin, artinya asal, pokok, atau akar tunggang agama. Di fakultas inilah ada jurusan tafsir dan hadits, filsafat, juga perbandingan agama. Islam dikaji secara radikal, sampai seakar-akarnya, dibandingkan dengan agama lain untuk mengetahui mana agama yang benar, mana yang sesat, dan mana yang campur baur antara kebenaran dan kesesatan. Mahasiswa fakultas ushuluddin yang sesungguhnya mestinya adalah seorang yang radikal.
Seorang muslim, belum akan bisa mengimani agamanya secara rasional, apabila tidak berpikir secara radikal. Maka seorang muslim pastilah fundamentalis, dan karena rasionalitas Islam, maka ia pastilah radikal. Dalam konteks ini, kata fundamentalis dan radikal sungguh berkonotasi sangat positif, dan karena itu menjadi anjuran.
Awal Mula Konotasi Negatif
Lalu mengapa muncul narasi negatif tentang fundamentalisme dan radikalisme? Itulah dua di antara banyak istilah yang memerlukan kajian historis yang objektif, karena telah mengalami yang disebut oleh Walker sebagai kesemena-menaan bahasa. Apalagi digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang mewacanakannya untuk menghancurkan kelompok lain, dalam hal ini yang dimusuhi adalah Islam.
Dengan kajian yang tepat, diharapkan kedua istilah tersebut bisa didudukkan kembali secara tepat dan tidak lagi digunakan secara sembarangan, apalagi untuk membangun narasi negatif atas Islam. Sebab, Islam adalah agama pembawa kedamaian dengan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Sesungguhnya, istilah fundamentalisme muncul dalam konteks kritik terhadap konsepsi religio integralisme katholik di Eropa, yakni konsepsi yang menyatukan antara agama dengan negara. Gereja, di samping memiliki otoritas agama, juga memiliki otoritas politik. Namun, otoritas politik tersebut digunakan secara semena-mena untuk memberangus pandangan-pandangan yang dinilai tidak sesuai dengan pandangan gereja.
Temuan-temuan ilmiah baru saat itu dianggap sebagai pikiran kaum sesat (heretik). Itulah sebab, zaman itu bagi Eropa disebut sebagai zaman kegelapan (the dark age). Di antara korban penyelewengan otoritas ini adalah Galileo Galilei, yang mendukung teori baru temuan penelitian Copernicus bahwa pusat tata surya bukan bumi, melainkan matahari.
Gereja yang berpaham geosentris tidak bisa menerima temuan baru heliosentris. Karena gereja sudah ditahbiskan sebagai pemilik otoritas kebenaran, maka yang berlainan dengan itu dianggap salah dan harus mendapatkan hukuman. Maka dijatuhkan sanksi atas Galileo Galilei oleh Paus Urbanus VIII. Galilei diberi kesempatan untuk mengaku salah untuk memperingan hukuman, dan itu kemudian terjadi, sehingga dia hanya menjalani hukuman berupa tahanan rumah di villanya, di Alcetri dekat Florence sampai meninggal pada 8 Januari 1642. Dia bisa dipastikan adalah korban kesemena-menaan karena pada 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan penyesalan disebabkan tindakan gereja atas Galileo.
Keputusan gereja lebih dari empat abad lalu itulah yang menyebabkan sikap menjadikan kitab suci sebagai pegangan kukuh menjadi negatif. Para ilmuan bahkan kemudian membangun gerakan untuk memisahkan antara agama dengan negara, agar struktur negara tidak digunakan untuk mengeksekusi pandangan-pandangan baru berdasarkan sains modern karena dianggap sesat. Itulah pula awal mula konsepsi integralistik antara agama dengan negara dianggap negatif oleh mereka sehingga melahirkan sekukarisme dan mengganti konsepsi negara berdasarkan agama menjadi berdasarkan nasionalisme (nation-state). Lebih singkat dan jelasnya, jika sebelumnya negara didasarkan kepada agama, tetapi karena penyelewengan yang terjadi, maka negara harus didasarkan kepada kebangsaan. Jadilah agama dipandang hanya urusan privat.
Sesungguhnya, penyelewengan kekuasan dalam bentuk mengeksekusi pemilik pandangan yang berbeda juga terjadi di dunia Islam. Namun, itu terjadi pada level skolastik, bukan sains positif yang verifikatif. Kedua pihak, masing-masing menggunakan ayat kitab suci sebagai dasar argumen. Karena itu, tidak muncul tuntutan untuk memisahkan antara agama dengan negara. Misalnya, kasus pemaksaan paham Mu’tazilah pada era kepemimpinan al-Ma’mun. Ulama yang tidak sepaham dengan paham Mu’tazilah tidak hanya tidak boleh menempati posisi-posisi penting, misalnya dan terutama sebagai qadliatau hakim, bahkan ada di antaranya yang dihukum bunuh. Sebut saja al-Khuzza’i dan al-Buwaiti.
Untuk mengetahui seseorang pendukung Mu’tazilah atau tudak, mudah sekali caranya, yaitu hanya dengan menanyakan apakah Al-Quran qadim atau makhluk? Jika menjawab qadim, maka berarti bukan Mu’tazilah. Jika menjadi hadits, berarti Mu’tazilah. Namun, harus diakui pula bahwa rasionalitas Mu’tazilah inilah yang mendorong kemajuan peradaban Islam dan bahkan mencapai puncak kejayaan.
Di era inilah, lahir banyak karya canggih oleh ilmuan-ilmuan muslim yang berpengaruh dalam pembangunan peradaban dunia. Sayangnya, banyak karya berharga itu lenyap bersamaan dengan kekalahan dalam peperangan oleh pasukan Mongol. Bahkan sering digambarkan bahwa sungai Tigris menjadi hitam karena banyak sekali kitab dari Baitul Hikmah yang di lemparkan ke dalamnya.
Dari dua sejarah tersebut, nampak bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam didorong dengan tetap berdasarkan kitab suci. Sedangkan di Eropa, kemajuan dicapai dengan meninggalkan doktrin gereja yang diambil dari doktrin kitab suci.
Paradigma Negatif yang Diimpor
Masalahnya adalah pandangan negatif kepada fundamentalisme Eropa itulah yang kini diimpor ke Indonesia. Wawasan sejarah sebagian masyarakat Indonesia termasuk kaum terpelajarnya tidak sampai kepada perbandingan sejarah di atas, sehingga memakan mentah-mentah paradigma negatif fundamentalisme Eropa itu. Di antara penyebabnya adalah kurikulum pendidikan di Indonesia sangatlah anti-Islam. Buktinya membangun konstruksi sejarah tanpa memasukkan sejarah Islam. Dari Yunani, langsung ke Eropa. Ini adalah biasa yang akhir-akhir ini dikritik oleh ilmuwan muslim yang cerdas dan kritis.
Hal yang serupa dengan konotasi fundamentalisme terjadi pada radikalisme, sampai-sampai radikalisme dipahami keluar dari konteks makna aslinya yakni seakar-akarnya, yang sesungguhnya mirip dengan fundamen. Sekali lagi, jika agama Islam dipahami dengan baik, maka ia bisa didiskusikan secara radikal, seakar-akarnya, tidak ada kontradiksi sama sekali, karena ia adalah agama yang benar dari Allah SWT.
Namun, paradigma itu kemudian dibelokkan secara semena-mena karena kepentingan untuk menjelekkan umat Islam. Ini makin terbukti kemudian, diantaranya dan terutama, dengan pernyataan Hillary Clinton, bahwa sesungguhnya Amerika lah yang membiayai ISIS, sebuah kelompok yang mereka desain “radikal” untuk menghadapi Rusia saat itu.
Karena itu, terutama umat Islam harus bersikap kritis terhadap segala wacana yang memojokkan umat Islam. Kaum intelektual harus lebih dari itu, mampu membangun argumentasi bahwa semua itu hanyalah kebohongan yang sengaja dibuat untuk menutupi tujuan kekuasaan dan ekonomi demi melanggengkan hegemoni orang-orang yang haus duniawi yang saat ini sedang menjadi polisi dunia. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Penulis adalah pengasuh Rumah Tahfidh al-Qur’an Darun Nashihah Monash Institute, pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
Sumber: kiblat