Journey to Uighur: Mengalahkan Ketakutan Di Urumqi
Bila doa yang indah itu kini menjadi sumber ketakutan saat mengucapkannya, maka saat itulah pendulum sejarah akan berputar arah. Dan salam ini saya lantunkan lagi setelah gagal melaksanakan shalat Jumat di masjid di Grand Bazaar Urumqi. Ini karena masjidnya tidak boleh digunakan untuk shalat lagi. Sementara shalat Jumat tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus berjamaah di masjid.
“Jadi bagaimana? Kita shalat di mana?” Tanya saya pada suami saya, Lambang. Dia tidak langsung menjawab. Namun baik saya dan sumia paham bila saat itu tengah berada di mana, yakni sedang berada di area publik. Tepatnya, di International Grand Bazaar Urumqi.
Lokasinya berada di tengah pasar. Tidak mudah menemukan tempat yang bisa digunakan untuk shalat. “Nanti pas kita makan di restoran saja. Kita coba di situ,” jawab Lambang seolah tahu akan kecamuk kegalauanku.
Memang, International Grand Bazaar Urumqi merupakan pasar seluas 4.000 m². Salah satu landmarknya adalah minaret setinggi 80 meter. Bentuknya dibuat menyerupai Kalyan Minaret di Bukhara, Uzbekistan. Namun, latar belakang sejarahnya tentu saja tidak bisa menyamai keagungan Kalyan Minaret yang membuat Jangis Khan menahbiskan rasa hormat dan takzimnya.
Keterangan: Minaret setinggi 80 meter di Grand Bazar Urumqi.Pasar ini juga dilengkapi dengan panggung terbuka untuk menggelar beragam pertunjukan. Berderet-deret restoran dan food court siap menghidangkan aneka masakan lezat khas Uighur yang dijamin halal.
Masjid yang ada di Grand Bazaar sejatinya menjadi bagian penting dari pasar. Namun, seperti yang saya saksikan tadi, masjid ini telah ditutup. Tidak boleh dipergunakan untuk shalat lagi.
Sumber: Eramuslim