OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 09 Januari 2020

INSIDEN NATUNA & CATATAN ATAS KINERJA MENTERI SUSI

INSIDEN NATUNA & CATATAN ATAS KINERJA MENTERI SUSI



10Berita, Baca pelan-pelan... ini penting saya utarakan...


INSIDEN NATUNA & CATATAN ATAS "PENGHEMATAN" MENTERI SUSI

Oleh: Tarli Nugroho*

Terkait dengan insiden terbaru di perairan Natuna Utara, pertama kita perlu memahami terlebih dulu soal jenis-jenis wilayah perairan yang terkait dengan persoalan tersebut. Jenis-jenis perairan ini mengacu pada undang-undang, baik undang-undang yang berlaku di Indonesia, maupun hukum laut internasional.

Pertama, laut teritorial (territorial sea), yaitu zona laut sejauh 12 mil (22, 224 km) diukur dari garis dasar pantai kepulauan Indonesia.

Kedua, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), yaitu zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, di mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.

Ketiga, laut lepas/perairan bebas (high seas), yaitu wilayah perairan di luar ZEE yang tidak tunduk pada kedaulatan negara manapun.

Dalam konteks isu kedaulatan (sovereignty), di dalam hukum laut internasional dibedakan antara “sovereignity” (kedaulatan) dengan “sovereign rights” (hak berdaulat). “Sovereignty” merujuk pada konsep kedaulatan di wilayah laut teritorial (territorial sea), yang jauhnya adalah 12 mil dari garis pantai. Setiap pelanggaran atas wilayah ini berarti pelanggaran kedaulatan suatu negara. Di wilayah ini suatu negara berhak melakukan tindakan penegakan kedaulatan.

Sementara itu, “sovereign rights”, atau hak berdaulat, adalah hak hukum suatu negara yang berlaku di wilayah ZEE. “Sovereign rights” memberi negara pantai seperti Indonesia hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen). Di wilayah ZEE ini tidak dikenal tindakan penegakan kedaulatan, yang bisa dilakukan adalah tindakan penegakan hukum (law enforcement).

Mengacu pada konsep-konsep tadi, dalam kasus ilegal fishing oleh para nelayan Cina yang dikawal oleh Coast Guard China (CGC) kemarin, secara hukum memang tidak melibatkan sengketa kedaulatan (sovereignty) antara Indonesia dengan Cina di dalamnya. Sebab, mereka tidak memasuki laut teritorial Indonesia.

Meskipun demikian, cukup jelas jika mereka telah memasuki ZEE Indonesia, di mana kita punya “sovereign rights” atasnya. Indonesia punya hak untuk melakukan tindak penegakan hukum kepada para kapal pencuri ikan tadi. Itu sebabnya kita memberikan nota protes atas pelanggaran ZEE oleh Coast Guard China.

Secara formal, sikap pemerintah Indonesia sejauh ini sudah benar. Respon Menteri Pertahanan juga sangat obyektif. Hanya, ada dua kekurangan mereka.

(1) Pertama, publik membutuhkan pernyataan politik yang lebih tegas dan berwibawa dari pemerintah atas insiden yang dianggap telah menghina dan merendahkan martabat Indonesia tersebut. Artinya, pernyataan formal yang sifatnya obyektif bukanlah respon yang diharapkan oleh masyarakat. Pernyataan pemerintah memang sudah benar, tetapi tidak cukup.

(2) Kedua, kita harus segera meningkatkan dan memperbaiki armada patroli di wilayah-wilayah perbatasan, terutama yang potensi konfliknya tinggi. Secara teknis, masalah kita terkait perairan Natuna Utara adalah kurang memadainya armada patroli penjaga pantai, sehingga kita tidak selalu bisa melakukan upaya penegakan hukum terkait “sovereign rights” terhadap para pelaku ilegal fishing.

Kinerja Menteri Susi

Terkait soal patroli ini, kita harusnya memberi sorotan tajam atas kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama lima tahun kemarin. Meski berhasil jadi “media darling”, dengan segala hormat, di lapangan sebenarnya kinerja Menteri Susi sangat kedodoran.

Kita tahu, di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, sektor kemaritiman dijadikan salah satu primadona. Ini bisa dilihat dari anggaran KKP yang melonjak drastis pada 2015. Di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KKP selalu mendapat porsi anggaran terkecil di antara kementerian mitra Komisi IV. Anggarannya selalu berkisar di angka 5 hingga 6 triliun. Nah, di masa pemerintahan Jokowi, KKP langsung mendapat lonjakan anggaran signifikan hingga lebih dari Rp10 triliun.

Sayangnya, anggaran yang mestinya mampu digunakan untuk memajukan sektor kemaritiman itu tidak bisa dimanfaatkan oleh KKP. Setiap tahun, KKP selalu mengembalikan anggaran sangat besar. Dalam periode 2015-2019, KKP telah mengembalikan anggaran ke negara hingga Rp9,4 triliun.

Meski Menteri Susi mengklaim jika pengembalian anggaran itu adalah bentuk penghematan, kenyataan di lapangan tidak menggambarkan hal itu. Sebagai gambaran, pada 2016 KKP memotong anggaran hingga Rp5,5 triliun, atau 42 persen dari anggaran awal yang sebesar Rp13,9 triliun. Penghematan macam apa yang besarannya hingga lebih dari 40 persen pagu awal?

Itu sepertinya hanya dalih atas kegagalan mereka saja. Terbukti, salah satu korban dari “penghematan” yang dilakukannya adalah pengawasan wilayah perairan perbatasan. Pada periode kamarin, patroli laut diusulkan menggunakan pesawat kecil. Padahal, sebelumya patroli laut selalu menggunakan kapal. Menteri Susi berdalih ada celah penghematan anggaran apabila patroli laut dilakukan menggunakan pesawat. Salah satunya adalah penghematan BBM.

Persoalannya adalah pemikiran itu tidak mempertimbangkan aspek proporsionalitas. Patroli wilayah perairan, terutama yang rawan kasus pencurian ikan, bagaimanapun tidak bisa mengabaikan kapal patroli. Sebagai perbandingan, Vietnam yang luas lautnya “hanya” 21,13 ribu km persegi saja memiliki 67 unit kapal patroli. Sementara, Indonesia yang luas perairannya mencapai 2,5 juta km persegi hanya punya 61 unit kapal patroli. Itupun anggaran patrolinya masih mau dihemat!

Ketidakmampuan KKP mengelola anggaran ini telah berimbas pada jumlah hari operasional pengawasan. Pada 2015, kapal pengawas masih beroperasi selama 280 hari di laut dalam satu tahun. Namun, sepanjang 2018, kapal pengawas hanya beroperasi selama 145 hari saja di laut.

Jadi, jika dicermati, pengembalian anggaran oleh KKP yang terjadi dalam 4 tahun terakhir sebenarnya bukanlah bentuk efisiensi, tapi bentuk kegagalan menyusun konsep, perencanaan dan mengeksekusi program. Terbukti, meskipun mengklaim itu sebagai efisiensi, audit BPK berkali-kali memberikan opini “disclaimer” atas laporan keuangan KKP. Di bawah Menteri Susi, hanya pada 2015 dan 2019 kemarin status audit KKP mendapatkan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Antara 2016 hingga 2018, statusnya selalu “disclaimer”. Padahal, di masa-masa sebelumnya, KKP selalu mendapatkan opini WTP.

Ke depan, KKP, bersama dengan BAKAMLA, dan TNI, tentu harus lebih meningkatkan patroli. Baik dalam hal personalia, durasi, dan frekuensi, volumenya harus lebih besar dibanding yang sudah berlangsung selama ini. Dan untuk menjamin kebutuhan tersebut memang butuh anggaran besar. Kita tidak menginginkan penjagaan wilayah perbatasan jadi kedodoran hanya karena dalih efisiensi untuk keperluan pencitraan.

*Sumber: fb penulis, portal islam