Ekonominya Seperti Zaman Multatuli: Suka Malak, Sri Mulyani Mirip Demang Parungkujang…
OLEH: ARIEF GUNAWAN
10Berita - WAKTU VOC bangkrut karena korupsi dan utang menumpuk, raja Belanda bikin rezim kolonial baru di Nusantara: Hindia Belanda (Nederland Indie).
Pada 1806, Hindia Belanda ditaruh di bawah Kementerian Tanah Jajahan.
Situasi peralihan ini tidak berdampak perubahan kepada rakyat di lapis bawah, karena para penguasa bumiputeranya tetap bersekongkol dengan rezim kolonial.
Waktu Van Den Bosch datang mereka jadi suksesor Tanam Paksa. Para bupati yang “berprestasi” memalak rakyat (seperti yang dilakukan oleh Sri Mulyani hari ini) dipuji, dikasih hadiah & naik pangkat.
Anak, cucu, saudara kandung & menantu boleh meneruskan kekuasaan jadi bupati. Jadi walikota pun boleh andai waktu itu ada jabatan walikota...
Esensinya, nepotisme & tribalismenya meriah seperti sekarang.
Pemerintah Belanda dibebani utang akibat kalah dalam Perang Diponegoro. Pada waktu bersamaan, di Eropa, Belanda berperang dengan Belgia.
Untuk mengisi kas yang ludes Tanam Paksa ternyata sangat efektif karena para penguasa bumiputera/para bupati berperan sebagai tukang palak: penagih pajak, penyerobot tanah rakyat, memaksa kerja rodi untuk bikin infrastruktur, dan mengeluarkan berbagai peraturan menguntungkan rezim kolonial.
Mereka memberikan konsensesi atas tanah & kekayaan alam di wilayahnya dengan membebaskan pajak. Ulah kejam ini juga mirip Menkeu Terbalik, Sri Mulyani. Memalak uang kecil pada wong cilik, tapi membebaskan triliunan untuk yang besar, dan memanjakan kreditor pemberi utang.
Sri mirip Demang Parungkujang dalam kisah tragis Saija dan Adinda yang ditulis Multatuli dalam Max Havelaar. Sang bupati suka mengancam wong cilik sebagaimana Sri Mulyani juga suka mengancam akan pungut cukai minuman berpemanis dalam kemasan, tarik cukai motor-mobil, cukai plastik, cabut suntikan dana BPJS 13, 5 triliun, dan lainnya, yang berkaitan dengan rakyat kecil.
Esensinya negara bokek. Utang bertumpuk. Daya beli lemah. Dunia usaha rontok. Sri Mulyani tidak kreatif. Tak mampu bikin terobosan. Sebab hafalannya buku panduan IMF & Bank Dunia.
Demang Parungkujang juga haus pujian. Waktu orangtua Saija tak mampu bayar pajak dan serahkan tanah yang hanya sepetak hewan ternaknya dirampas. Demang memakai centeng dan jawara bergolok sebagai aparatur bayaran yang atasnamakan hukum.
Kisah Saija dan Adinda masih relevan sampai sekarang. Saija yang miskin pergi ke kota mencari kerja. Menjadi kuli dan teronggok bagai sampah. Adapun Adinda yang tak kalah melaratnya meninggalkan kampung bersama orangtua. Keduanya mati dalam penderitaan. Demang Parungkujang yang kejam dan pendusta hidup dalam genangan air mata rakyat desanya yang miskin.
Max Havelaar (Saija dan Adinda) pada masanya jadi bacaan wajib di Eropa, best seller yang paling dicari di Belanda. Jadi teman perjalanan bagi orang Belanda yang baru pertamakali berlayar ke Hindia Belanda.
(Penulis wartawan senior)
Sumber: KONTENISLAM.COM