Anton Tabah: Umat Islam Tuntut Ahok Bukan SARA, Intoleran Radikal, Apalagi Anti-Pancasila
10Berita - Pernyataan Kabareskrim Polri yang menyebut Pilkada 2020 rentan disusupi kelompok antipancasila hingga konflik isu sara disayangkan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Anton Tabah Digdoyo.
Terlebih pernyataan tersebut banyak yang mengaitkan dengan Pilkada 2017 yang memunculkan aksi 411 dan 212 yang meminta Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diadili dalam kasus penistaan agama.
"Siapapun yang menuduh rakyat SARA, intoletans radikal, tidak bhinneka ketika nuntut Ahok diadili dan dipidana dalam kasus penodaan agama adalah ngawur, asal ngomong," kata Anton Tabah saat dihubungi redaksi, Minggu (1/3).
Menurutnya, anggapan tersebut sama saja tak paham dengan hukum yang diterapkan kepada Ahok. Ahok, kata Anton Tabah, jelas-jelas terbukti menodai agama dengan diterapkannya Pasal 156a KUHP.
Hal lain yang mendasari tudingan intoleransi dalam kasus Ahok, menurut Anton Tabah, yakni pihak-pihak tersebut tak paham dengan agama.
"Hina Allah, Alquran atau Nabi itu kejahatan sangat serius, kalau kita diam, divonis kafir sama Allah. Hal itu juga sama saja membela rezim secara membabi buta sehingga abaikan hukum, UU, dan agama,"tegasnya.
Mengenai aksi 411 dan 212, ia berpandangan aksi yang diikuti jutaan umat Islam itu murni sebagai respons publik mengenai hukum yang dijalankan kepada Ahok.
Dijelaskan, aksi 212 terjadi karena Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka namun tak kunjung ditahan dan tak dinonaktifkan dari jabatannya.
"Lalu sidang divonis ringan, cuma dua tahun. Padahal fatwa MA untuk pelaku penodaan agama dengan klasifikasi berat harus dihukum maksimal dari ancaman hukumannya," lnjut Anton Tabah.
"Lihat Ahok. Sudah dihukum ringan tidak dipenjara di lapas cuma disamakan status tahanan, yaitu di Rutan Brimob konon dengan fasilitas khusus?" tanyanya.
Aksi tersebut juga disaksikan dunia lantaran diikuti jutaan massa namun berlangsung dengan tertib.
"Demo massa terbesar dalam sejarah manusia tetapi tetap rapi, tertib, indah dan bersih. Mereka masuk Islam. Semoga fakta-fakta ini jadi wawasan pejabat-pejabat Indonesia sehingga tidak menuduh umat Islam radikal, SARA, dan intoleran," pungkas mantan petinggi Polri tersebut. (rmol)
Sumber: Rmol