Buka-bukaan Duit Skandal Jiwasraya Mengalir kepada Kekuasaan Jokowi, Begini Awal Mulanya
PT Asuransi Jiwasraya/Ilustrasi
10Berita, JAKARTA – Skandal korupsi di PT Asuransi Jiwasraya kembali menjadi sorotan oleh civil society, salah satunya oleh Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Direktur AEPI Salamuddin Daeng mengaku tengah mengidentifikasi asal muasal dugaan korupsi ini.
Dalam penelusurannya, ia melihat adanya upaya korupsi berjamaah, antara pemegang kuasa di Jiwasraya dengan pemerintah pusat.
Bahkan, Salamuddin Daeng menyebutkan, dana korupsi Jiwasraya yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugiannya mencapai Rp 17 triliun, dipakai untuk suksesi pemilhan presiden (Pilpres) 2019 silam.
“Kisah semua ini berawal dari Pilpres 2019,” kata Daeng dalam acara Sarahsehan yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) bertajuk ‘Mega Skandal Korupsi Uang Rakyat’, di Jalan Warung Jati Timur Raya, Jakarta Selatan, Kamis (5/3).
Sebagai salah satu bukti dari konklusinya tersebut, Salmuddin Daeng menyebutkan Calon Presiden nomor urut 01 di Pilpres 2019, Joko Widodo, enggan menanggalkan jabatannya sebagai Presiden periode 2014-2019.
Atas dasar itulah menurut Salamuddin Daeng, terbukalah peluang korupsi besar terjadi di lembaga pemerintahan sekarang.
Di mana keadaan itu bisa digunakan sebagai instrumen mencari sumber daya keuangan pemilu.
Misalnya seperti sumber daya ekonomi, sumber daya politik, sumber daya keuangan, infrastruktur dan suprastruktur kekuasaan. Semua dilakukan dengan tujuan melanjutkan kekuasaan.
“Ketika sah Presiden Jokowi yang pada 2014-2019 menjabat sebagai presiden, lalu dicalonkan lagi pada Pilpres 2019 tanpa harus mengundurkan diri,” ungkap Salamuddin Daeng.
“Nah kita mengidentifikasi, ada dari segala penggunaan jabatan, kekuasaan, fasilitas negara, lalu kemudian penggunaan dana publik. Untuk penggunaan dana publik variasinya ini luas sekali,” sambungnya.
Beberapa dana publik yang Salamuddin Daeng paparkan antara lain, memainkan proyek-proyek di perusahaan-perusahaan plat merah atau BUMN.
Ia sendiri mengaku aneh jika melihat banyak proyek yang dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo periode 2014-2019, namun laporan keuangannya minus.
“Meskipun begitu banyak proyek yang dilakukan BUMN, tapi kita lihat laporan BUMN merugi. Itu kan satu anomali yang ekstrem. Lalu yang untung siapa? Kita cek, ternyata banyak yang untung adalah orang yang bisa secara politik menggunakan kekuasaan utuk mendapatkan proyek itu,” urai dia.
(sta/rmo/pojoksatu)
PT Asuransi Jiwasraya/Ilustrasi
10Berita, JAKARTA – Skandal korupsi di PT Asuransi Jiwasraya kembali menjadi sorotan oleh civil society, salah satunya oleh Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Direktur AEPI Salamuddin Daeng mengaku tengah mengidentifikasi asal muasal dugaan korupsi ini.
Dalam penelusurannya, ia melihat adanya upaya korupsi berjamaah, antara pemegang kuasa di Jiwasraya dengan pemerintah pusat.
Bahkan, Salamuddin Daeng menyebutkan, dana korupsi Jiwasraya yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugiannya mencapai Rp 17 triliun, dipakai untuk suksesi pemilhan presiden (Pilpres) 2019 silam.
“Kisah semua ini berawal dari Pilpres 2019,” kata Daeng dalam acara Sarahsehan yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) bertajuk ‘Mega Skandal Korupsi Uang Rakyat’, di Jalan Warung Jati Timur Raya, Jakarta Selatan, Kamis (5/3).
Sebagai salah satu bukti dari konklusinya tersebut, Salmuddin Daeng menyebutkan Calon Presiden nomor urut 01 di Pilpres 2019, Joko Widodo, enggan menanggalkan jabatannya sebagai Presiden periode 2014-2019.
Atas dasar itulah menurut Salamuddin Daeng, terbukalah peluang korupsi besar terjadi di lembaga pemerintahan sekarang.
Di mana keadaan itu bisa digunakan sebagai instrumen mencari sumber daya keuangan pemilu.
Misalnya seperti sumber daya ekonomi, sumber daya politik, sumber daya keuangan, infrastruktur dan suprastruktur kekuasaan. Semua dilakukan dengan tujuan melanjutkan kekuasaan.
“Ketika sah Presiden Jokowi yang pada 2014-2019 menjabat sebagai presiden, lalu dicalonkan lagi pada Pilpres 2019 tanpa harus mengundurkan diri,” ungkap Salamuddin Daeng.
“Nah kita mengidentifikasi, ada dari segala penggunaan jabatan, kekuasaan, fasilitas negara, lalu kemudian penggunaan dana publik. Untuk penggunaan dana publik variasinya ini luas sekali,” sambungnya.
Beberapa dana publik yang Salamuddin Daeng paparkan antara lain, memainkan proyek-proyek di perusahaan-perusahaan plat merah atau BUMN.
Ia sendiri mengaku aneh jika melihat banyak proyek yang dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo periode 2014-2019, namun laporan keuangannya minus.
“Meskipun begitu banyak proyek yang dilakukan BUMN, tapi kita lihat laporan BUMN merugi. Itu kan satu anomali yang ekstrem. Lalu yang untung siapa? Kita cek, ternyata banyak yang untung adalah orang yang bisa secara politik menggunakan kekuasaan utuk mendapatkan proyek itu,” urai dia.
(sta/rmo/pojoksatu)