Krisis APBN Semakin Mendekat !
10Berita - Penerimaan pajak beberapa tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan. Jauh di bawah target yang ditetapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertumbuhan penerimaan pajak juga di bawah pertumbuhan ekonomi atau Produk domestik Bruto (PDB). Sehingga, Rasio (Penerimaan) Pajak (terhadap PDB) terus mengalami penurunan. Rasio Pajak tahun 2008 masih cukup tinggi, yaitu 13,3 persen. Tahun 2019, Rasio Pajak anjlok menjadi 9,7 persen. Membuat defisit APBN membengkak dan mencatat rekor defisit Rp353 triliun. Defisit APBN pada 2005 hanya Rp14,4 triliun.
Memasuki 2020, ekonomi Indonesia belum membaik. Malah memburuk. Penerimaan pajak pada Januari 2020 anjlok lagi. Kali ini cukup parah. Dibandingkan dengan target APBN 2020, total penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai) baru tercapai Rp84,66 triliun, atau hanya 4,5 persen dari target APBN 2020 sebesar Rp1.865,7 triliun. Capaian ini sangat rendah sekali. Bisa memicu krisis APBN kalau penerimaan pajak ke depannya tidak membaik drastis.
Penerimaan perpajakan Januari 2020 tersebut bahkan turun 6 persen dibandingkan Januari 2019 yang mencapai Rp90,04 triliun. Penerimaan pajak badan (perusahaan) anjlok paling tajam, sebesar 29,34 persen. Pertanda kinerja perusahaan pada Januari ini memburuk. Jadi tidak heran kalau banyak perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sepertinya gelombang PHK bakal terus berlanjut, meskipun pengurangan pegawai ini dikatakan hanya untuk meningkatkan efisiensi.
Anjloknya penerimaan perpajakan membuat pembayaran bunga utang pemerintah membebani APBN. Beban bunga Januari 2020 mencapai Rp22,5 triliun, atau 26,62 persen dari seluruh penerimaan perpajakan pada Januari 2020 yang sebesar Rp84,66 triliun. Sebagian besar pembayaran bunga utang tersebut mengalir ke luar negeri, mengingat sekitar 60 persen utang pemerintah berasal dari kreditor asing. Dengan rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak yang sangat besar tersebut, APBN 2020 sangat tertekan, dan pada akhirnya membuat belanja negara, dan ekonomi, terkontraksi.
Belanja negara Januari 2020 hanya Rp139,8 triliun, turun 9,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp153,9 triliun. Penurunan belanja negara yang sangat besar ini pasti membuat pertumbuhan ekonomi Januari 2020 sangat tertekan, bisa terkontraksi dan masuk resesi.
Anjloknya penerimaan perpajakan tentu saja membuat defisit APBN melebar. Pada Januari 2020, APBN membukukan defisit Rp36,14 triliun, setara 11,8 persen dari target defisit APBN 2020 sebesar Rp307,23 triliun. Pada gilirannya, defisit yang membengkak terus menerus akan membebani APBN pada periode-periode berikutnya. Dan, pada waktunya, akan memicu krisis APBN.
Kondisi ini diperparah dengan perilaku pemerintah yang malah menarik utang jauh lebih besar dari yang diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Pada Januari 2020 pemerintah menarik utang baru sebesar Rp68,2 triliun. Padahal defisit APBN hanya Rp36,14 triliun. Kelebihan penarikan utang sebesar Rp32,07 triliun ini digunakan untuk menopang kurs rupiah agar menguat, Magiconomics: kurs rupiah menguat akibat di-doping terus, meskipun secara fundamental ekonomi jeblok. Yang penting Asal Bapak Senang saja. Padahal penguatan artificial kurs rupiah ini membuat ekspor tambah terpuruk, dan impor meningkat.
Permasalahan ekonomi masih berlanjut terus. Wabah virus Corona, atau Covid-19, yang berpusat di Wuhan, China, mulai menyebar sejak akhir Januari 2020, membuat perekonomian dunia melemah. Banyak negara diperkirakan bisa masuk resesi. Indonesia juga tidak terkecuali. Mobilitas manusia dan barang terhambat. Jumlah penerbangan antar negara turun drastis. Sektor pariwisata Indonesia langsung terpukul.
China adalah pusat produksi dunia. Covid-19 membuat aktivitas produksi terhambat. Pertumbuhan ekonomi China, dan dunia, akan terkoreksi tajam pada Q1-2020 ini. Nissan sudah menutup satu pabrik di Jepang karena pasokan suku cadang dari China terhenti. Dampak ke Indonesia juga sudah mulai terasa. Pembangunan kereta api cepat Jakarta – Bandung mulai terhambat.
Ekspor Indonesia ke China pada Q1-2020 dipastikan akan anjlok. Ekonomi Indonesia akan tertekan, dan penerimaan pajak terkontraksi. Kementerian Keuangan mulai kelihatan panik. Segala cara diupayakan untuk mengambil uang masyarakat. Antara lain, melalui cukai, agar kelihatan sah. Setelah cukai rokok, kini sedang diupayakan cukai plastik, cukai pemanis (minuman berpemanis), cukai kendaraan bermotor. Entah cukai apalagi yang ada dalam pikirannya. Tetapi, semua kebijakan panik ini akan menjadi bumerang, mempercepat penurunan ekonomi serta menekan penerimaan pajak selanjutnya.
Oleh karena itu, kementerian keuangan sebaiknya hati-hati memberlakukan kebijakan menarik cukai (dan pajak). Jangan sampai kebijakan ini malah mencelakakan presiden. Sudah banyak bukti, pimpinan negara di dunia jatuh akibat menarik pajak semena-mena: No taxation without representation.(Jft/Watyutink)
Sumber: KONFRONTASI
10Berita - Penerimaan pajak beberapa tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan. Jauh di bawah target yang ditetapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertumbuhan penerimaan pajak juga di bawah pertumbuhan ekonomi atau Produk domestik Bruto (PDB). Sehingga, Rasio (Penerimaan) Pajak (terhadap PDB) terus mengalami penurunan. Rasio Pajak tahun 2008 masih cukup tinggi, yaitu 13,3 persen. Tahun 2019, Rasio Pajak anjlok menjadi 9,7 persen. Membuat defisit APBN membengkak dan mencatat rekor defisit Rp353 triliun. Defisit APBN pada 2005 hanya Rp14,4 triliun.
Memasuki 2020, ekonomi Indonesia belum membaik. Malah memburuk. Penerimaan pajak pada Januari 2020 anjlok lagi. Kali ini cukup parah. Dibandingkan dengan target APBN 2020, total penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai) baru tercapai Rp84,66 triliun, atau hanya 4,5 persen dari target APBN 2020 sebesar Rp1.865,7 triliun. Capaian ini sangat rendah sekali. Bisa memicu krisis APBN kalau penerimaan pajak ke depannya tidak membaik drastis.
Penerimaan perpajakan Januari 2020 tersebut bahkan turun 6 persen dibandingkan Januari 2019 yang mencapai Rp90,04 triliun. Penerimaan pajak badan (perusahaan) anjlok paling tajam, sebesar 29,34 persen. Pertanda kinerja perusahaan pada Januari ini memburuk. Jadi tidak heran kalau banyak perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Sepertinya gelombang PHK bakal terus berlanjut, meskipun pengurangan pegawai ini dikatakan hanya untuk meningkatkan efisiensi.
Anjloknya penerimaan perpajakan membuat pembayaran bunga utang pemerintah membebani APBN. Beban bunga Januari 2020 mencapai Rp22,5 triliun, atau 26,62 persen dari seluruh penerimaan perpajakan pada Januari 2020 yang sebesar Rp84,66 triliun. Sebagian besar pembayaran bunga utang tersebut mengalir ke luar negeri, mengingat sekitar 60 persen utang pemerintah berasal dari kreditor asing. Dengan rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak yang sangat besar tersebut, APBN 2020 sangat tertekan, dan pada akhirnya membuat belanja negara, dan ekonomi, terkontraksi.
Belanja negara Januari 2020 hanya Rp139,8 triliun, turun 9,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp153,9 triliun. Penurunan belanja negara yang sangat besar ini pasti membuat pertumbuhan ekonomi Januari 2020 sangat tertekan, bisa terkontraksi dan masuk resesi.
Anjloknya penerimaan perpajakan tentu saja membuat defisit APBN melebar. Pada Januari 2020, APBN membukukan defisit Rp36,14 triliun, setara 11,8 persen dari target defisit APBN 2020 sebesar Rp307,23 triliun. Pada gilirannya, defisit yang membengkak terus menerus akan membebani APBN pada periode-periode berikutnya. Dan, pada waktunya, akan memicu krisis APBN.
Kondisi ini diperparah dengan perilaku pemerintah yang malah menarik utang jauh lebih besar dari yang diperlukan untuk membiayai defisit APBN. Pada Januari 2020 pemerintah menarik utang baru sebesar Rp68,2 triliun. Padahal defisit APBN hanya Rp36,14 triliun. Kelebihan penarikan utang sebesar Rp32,07 triliun ini digunakan untuk menopang kurs rupiah agar menguat, Magiconomics: kurs rupiah menguat akibat di-doping terus, meskipun secara fundamental ekonomi jeblok. Yang penting Asal Bapak Senang saja. Padahal penguatan artificial kurs rupiah ini membuat ekspor tambah terpuruk, dan impor meningkat.
Permasalahan ekonomi masih berlanjut terus. Wabah virus Corona, atau Covid-19, yang berpusat di Wuhan, China, mulai menyebar sejak akhir Januari 2020, membuat perekonomian dunia melemah. Banyak negara diperkirakan bisa masuk resesi. Indonesia juga tidak terkecuali. Mobilitas manusia dan barang terhambat. Jumlah penerbangan antar negara turun drastis. Sektor pariwisata Indonesia langsung terpukul.
China adalah pusat produksi dunia. Covid-19 membuat aktivitas produksi terhambat. Pertumbuhan ekonomi China, dan dunia, akan terkoreksi tajam pada Q1-2020 ini. Nissan sudah menutup satu pabrik di Jepang karena pasokan suku cadang dari China terhenti. Dampak ke Indonesia juga sudah mulai terasa. Pembangunan kereta api cepat Jakarta – Bandung mulai terhambat.
Ekspor Indonesia ke China pada Q1-2020 dipastikan akan anjlok. Ekonomi Indonesia akan tertekan, dan penerimaan pajak terkontraksi. Kementerian Keuangan mulai kelihatan panik. Segala cara diupayakan untuk mengambil uang masyarakat. Antara lain, melalui cukai, agar kelihatan sah. Setelah cukai rokok, kini sedang diupayakan cukai plastik, cukai pemanis (minuman berpemanis), cukai kendaraan bermotor. Entah cukai apalagi yang ada dalam pikirannya. Tetapi, semua kebijakan panik ini akan menjadi bumerang, mempercepat penurunan ekonomi serta menekan penerimaan pajak selanjutnya.
Oleh karena itu, kementerian keuangan sebaiknya hati-hati memberlakukan kebijakan menarik cukai (dan pajak). Jangan sampai kebijakan ini malah mencelakakan presiden. Sudah banyak bukti, pimpinan negara di dunia jatuh akibat menarik pajak semena-mena: No taxation without representation.(Jft/Watyutink)
Sumber: KONFRONTASI