Wahai Para Taipan dan Konglomerat Dimanakah Kau Berada?
Oleh: Hersubeno Arief
10Berita - Presiden Jokowi sudah memutuskan tidak akan melakukan lockdown. Bagi yang paham, keputusan itu tidak mengagetkan. Sudah bisa diduga.
Urusannya tidak jauh-jauh dari soal keterbatasan anggaran, namun punya ambisi gede di proyek mercusuar.
Pemerintah tidak akan mampu menanggung beban dan konsekuensi anggaran bila harus melakukan lockdown?
Sebenarnya tidak juga begitu. Hanya konskuensinya sangat besar.
Di tengah ambisi rezim Jokowi yang gila-gilaan menggenjot proyek infrastruktur. Termasuk membangun ibukota baru. Kalau harus dialihkan ke biaya sosial dan ekonomi sebagai dampak mengatasi penyebaran corona, semuanya bisa berantakan dong.
Bagaimana komitmen dengan para cukong? Bagaimana komitmen dengan negara donor?
Terus warisan apa pula yang akan ditinggalkan oleh Jokowi? Infrastruktur tidak. Ibukota baru tidak. Ekonomi juga tidak. Kohesi bangsa berantakan.
Semua itu harus dilupakan. Nah inilah yang jadi dilema besar. Tak perlu heran bila pemerintah tampak ragu, bingung, gagap dan walhasil membuat keputusan yang hanya bikin geleng-geleng kepala publik.
Tapi marilah kita lupakan semua itu. Tak ada gunanya kita teriak-teriak: lockdown…lockdown.
Teriak dan ngedumel korban terus bertambah. Fasilitas kesehatan sudah overloaded. Tenaga medis kewalahan. Sudah banyak dokter dan tenaga medis yang gugur karena alat pelindung diri (APD) tak memadai.
Semuanya percuma. Kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah memang beda kok. Jadi untuk apa harus dipaksakan? Masak masih tidak paham juga?
Lebih baik energi yang ada kita manfaatkan untuk hal-hal yang positif. Kalau pemerintah tidak juga melakukan lockdown, ambil inisiatif sendiri.
Tak usah bepergian. Jaga jarak. Hindari kerumanan dan kegiatan berupa pengumpulan massa. Semua aktivitas cukup dilakukan di dalam rumah. Kalau semua melakukan langkah itu, kan sama juga dengan lockdown.
Bila pemerintah tak mampu menyediakan anggaran untuk para pekerja formal yang terpaksa harus tetap bekerja, agar tetap makan, kita juga bisa mengambil inisiatif sendiri.
Tidak usah besar-besar. Coba perhatikan lingkungan di sekitar. Siapa saja saudara, tetangga, para kaum fakir miskin yang kemungkinan bakal tidak makan. Kita bisa patungan. Kumpulkan kan duit, bahan pangan, minuman. Bagikan kepada mereka.
Yang punya uang lebih, silakan borong sembako. Bukan untuk ditimbun. Bagikan kepada warga yang membutuhkan.
Kalau ini menjadi gerakan nasional, Insya Allah tidak akan ada yang mati kelaparan.
Lebih advance lagi bila kita juga bisa mengumpulkan dana untuk membantu para tenaga medis membeli alat pelindung diri (APD). Harganya sangat mahal. Hanya boleh sekali pakai.
Jangan lupa juga perhatikan keluarga para pahlawan medis. Mereka ditinggalkan berhari-hari. Berjuang di medan tempur terdepan, mempertaruhkan nyawa.
Tidak pulang ke rumah demi menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita yang sakit. Demi nama baik bangsa di mata dunia. Sudah enam orang dokter yang gugur.
Mereka adalah keluarga para pahlawan pejuang! Jangan sampai terlantar. Malu kita sebagai bangsa yang besar!
Peran para pengusaha
Kita patut juga mengapresiasi dan meneladani sejumlah pengusaha yang mengambil inisiatif menyumbangkan dananya. Pemilik kosmetik Wardah Nurhayati Subakat menyumbang sebesar Rp 40 miliar untuk peralatan medis di beberapa RS.
Pengusaha Sandiaga Uno melalui program OK OCE menyediakan dana untuk keluarga yang para kepala keluarga positif corona.
Pengusaha yang tergabung di KADIN bekerjasama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi mengumpulkan dana untuk membeli alat test cepat corona. Targetnya dana yang terkumpul Rp 500 miliar.
Pengusaha Tommy Winata melalui Yayasan Artha Graha Peduli membangun tiga rumah sakit lapangan yang lengkap di komplek SCBD Jakarta.
Tapi mana aksi taipan dan konglomerat lain? Terutama yang namanya bertengger dalam 100 orang terkaya di Indonesia?
Data yang dilansir oleh Political Economy and Policy Studies (PEPS) menyebutkan, harta empat orang terkaya Indonesia setara dengan lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia.
Artinya apa? Kalau 100 orang ini kompak menyisihkan sebagian kecil saja hartanya. Sekali lagi hanya sebagian kecil saja, maka kita tidak perlu khawatir ada yang mati kelaparan karena tidak bekerja selama beberapa bulan.
Ironisnya seperti yang disampaikan oleh Dirut PT Garuda Irfan Setia Putra, kita malah menghadapi sebuah anomali.
Tiba-tiba penerbangan Garuda ke Singapura full. Mereka bahkan menambah frekuensi penerbangan karena tingginya permintaan. Banyak yang berbondong-bondong mengungsi ke negeri jiran itu.
Padahal Singapura memberlakukan aturan ketat. Semua pengunjung harus menjalani karantina selama 14 hari. Mereka juga harus bisa menunjukkan bukti tempat tinggal tetap di Singapura.
Dengan syarat ketat semacam itu, kita menjadi tahu kelompok mana yang mampu melakukannya. Mereka adalah orang-orang kaya, super kaya. Orang-orangnya ya itu-itu juga.
Kelompok yang sering disebut sebagai the crazy rich. Kelompok yang kayanya gak ketulungan. Kita bisa gila membayangkannya.
Buat mereka masa bodoh apa yang terjadi di Indonesia. Yang penting mereka sudah selamat sendiri.
Nanti ketika Indonesia sudah aman, baru pulang. Kembali mengeruk kekayaan. Bukankah dalam situasi ekonomi yang kacau balau justru disitulah peluang besar buat mereka?
Wahai para taipan dan konglomerat. Kemanakah dan dimanakah kau berada? End. (*)
Sumber: konten islam