OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 06 Mei 2020

CINA, UIGHUR, DAN PBNU

CINA, UIGHUR, DAN PBNU


CINA, UIGHUR, DAN PBNU

Cina beruntung memiliki teman di tanah air yang sangat berpengaruh dalam perpolitikan nasional: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Cina memberi bantuan tak seberapa dibanding dukungan politik dan “agama” yang diberikan PBNU. Berkat dukungan PBNU itu, yang sejalan dengan kebijakan "sami'na wa atha'na" rezim terhadap Cina, Jae menolak menjumpai pemimpin Uighur yang dibawa Din Syamsuddin ke istana.

Apa keuntungan Cina yang didapat dari dukungan PBNU? Pertama, pada tingkat nasional, ia meredam oposisi kaum Muslim atas tindakan aniaya rezim komunis Cina terhadap bangsa Muslim Uighur di Provinsi Xianjiang, Cina. Menurut Komisi Tinggi HAM PBB, paling tidak rezim Cina mengumpulkan satu juta warga Muslim di 'kamp-kamp pendidikan" untuk dicuci otaknya dengan melanggar hak kebebasan beragama. Cina menganggap orang-orang beragama sebagai pengidap sakit mental -- tentu PBNU termasuk di dalamnya -- yang harus disembuhkan dengan membuang keyakinan itu.

Kita jadi heran mengapa Beijing bersusah payah melakukan ateisisasi terhadap Muslim Uighur yang hanya berjumlah sepuluh juta di antara 1,4 miliar populasi Cina, tetapi bersahabat karib dengan ormas Islam yang memiliki lebih dari tujuh puluh juta pengikut. Pasti persahabatan itu palsu. Diamnya rezim Jae terhadap kezaliman Cina -- berkat dukungan PBNU -- sangat berarti bagi citra Cina di panggung internasional. Apalagi PBNU mendukung pernyataan bohong Cina bahwa "kamp-kamp pendidikan itu" bertujuan memberdayakan kaum Uighur untuk masuk ke pasar tenaga kerja.

Kedua, pada tingkat internasional, diamnya Indonesia penting bagi upaya Cina meredam kemungkinan resistensi Dunia Islam terhadap kebijakannya itu. Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia sehingga dukungannya memberi legitimasi Islam terhadap kejahatan yang dilakukan Cina.

Beberapa bulan lalu saya menyaksikan pemimpin Uighur berorasi di depan Kedubes Cina di Kuningan, Jakarta. Saya tidak mengerti apa yang disampaikan dalam bahasa Turki -- Uighur memang serumpun dengan bangsa Turki -- tetapi suaranya yang melengking terdengar seperti suara orang yang sangat menderita. Tak peduli hujan deras turun mengguyur tubuh-tubuh yang ringkih, ia tetap berorasi -- sambil diterjemahkan orang Indonesia di sampingnya -- di tengah ribuan kaum Muslim yang prihatin dengan nasib buruk yang menimpa saudara Muslimnya. Saya hanya bisa berdoa -- meski tak yakin Tuhan akan mendengar doa saya -- semoga Cina mendengar suara rintihan orang-orang yang jiwanya sedang dikosongkan Cina dengan cara-cara yang sangat biadab.



Kepedihan saya bertambah saat saya ingat betapa berseri-serinya wajah Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH Said Aqil Sirodj saat membawa Dubes Cina ke Cirebon, kampung halamannya, untuk melihat pesantren yang damai dari dekat. Dan pada 4 Mei lalu PBNU mengadakan acara Silaturrahim Daring & Pembagian Paket Sembako bersama Duta Besar Republik Rakyat Cina, seolah-olah Cina menghargai secara tulus acara itu kecuali upaya mengakrabkan pertemanannya dengan PBNU demi keberlanjutan penindasannya atas kaum Uighur yang malang.

Beberapa waktu lalu, Indonesia heboh oleh laporan media asing yang menyatakan Cina membungkam ormas-ormas Islam besar di tanah air dengan duit. Meskipun para tokoh ormas keluar kandang untuk mengklarifikasi laporan itu, saya tetap mempercayainya. Media-media yang profesional itu tak mungkin membuat laporan tanpa bukti dan alasan rasional karena hanya akan menjatuhkan kredibilitasnya. Meskipun kita tak dapat mengabaikan kemungkinan motif-motif tersembunyi di balik laporan itu.  Tidak benar tuduhan Cina bahwa kaum Uighur itu teroris. Namun, benar bahwa sebagian dari mereka melakukan gerakan separatis untuk memerdekakan kembali Negara Turkistan Timur yang dihancurkan Cina setelah berkuasanya rezim komunis pimpinan Mao Ze Dong.

Yang benar, Cina hendak mengubah demografi di Xianjiang dengan memayoritaskan etnis Han di Provinsi itu, guna memuluskan proyek OBOR Cina. Sebagaimana diketahui, untuk membangun infrastruktur jalan Cina ke Asia Tengah dan Pakistan yang harus melewati Xianjiang -- orang Uighur menyebutnya Turkistan Timur -- maka Xianjiang harus dinetralisir dari potensi gangguan kaum separatis bersenjata, meskipun jumlahnya tidak signifikan. Dus, pembunuhan budaya Uighur tidak lain dari proyek cinaisasi (sinoisasi) Beijing demi kepentingan geopolitik dan geoekonominya.

Sebagai orang yang mengaku Muslim seharusnya kita malu pada negara-negara non-Muslim Eropa, AS, dan Australia yang gencar melontarkan kritik keras terhadap Cina yang terang-terangan melakukan pelanggaran HAM berat terhadap kaum Muslim Uighur. Kalau tujuannya sekadar mendapat bantuan material, rasanya tidak layak kita menukarnya dengan mengabaikan keyakinan kita sendiri. Prinsip-prinsip HAM yang kita yakin kebenarannya. Toh, kita bisa mendapatkan bantuan dari sumber lain. Terutama dari rezim Jae yang menikmati dukungan PBNU untuk memungkinkannya berpeluk mesra dengan rezim Xi Jinping.

Kalau kita tidak yakin pada platform perjuangan kita buat apa kita mendirikan organisasi? Kalau kita tidak yakin pada seruan Al-Qur'an bahwa sesama Muslim itu bersaudara dan bahwa sakitnya suatu komunitas Muslim akan juga membuat sakit seluruh tubuh kaum Muslim, dan larangan kaum Muslim untuk bersekongkol dengan non-Muslim dalam memerangi Muslim lain, masih bisakah kita tidur nyenyak dengan iman yang sempurna tanpa rasa bersalah sama sekali?

Tulisan ini tidak bermaksud mencela NU di mana saya adalah bagiannya, kecuali meminta PBNU introspeksi diri. Sudah benarkah jalan yang kita tempuh, yaitu bersahabat dengan kekuatan ateis raksasa, di saat kita tahu ia sedang menggilas saudara kita dalam iman dan kemanusiaan? Layakkah kita bersahabat dengan pihak yang meremehkan iman dan kemanusiaan kita? Materi bisa dicari, tapi iman tidak.

Yang juga memprihatinkan, rezim Jae enjoy dengan dukungan PBNU itu -- yang memungkinkannya berkelindan dengan Cina dalam konteks ekonomi negeri ini -- tanpa PBNU mendapat imbalan yang sepantasnya. Sebentar, kalaupun rezim Jae bermurah hati membantu PBNU, seharusnya itu tidak dikaitkan dengan dukungan PBNU pada Cina. PBNU berhak mendapat bantuan rezim yang tidak transaksional. Dan kalau Cina mau bantu, mintalah dulu ia menghentikan penindasannya pada kaum Muslim Uighur, agar bantuannya terlihat tulus.

Jakarta, 6 Mei 2020

Penulis: Smith Alhadar
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education)

Editor: Abdurrahman Syebubakar