Kentalnya aroma mafia migas di balik belum turunnya harga BBM
Nusantara
10Berita, Belum lapuk dalam ingatan, ketika 14 Januari lalu, Basuki Tjahaja Purnama yang baru saja didapuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) berkunjung ke Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat untuk menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Ahok, begitu ia akrab disapa, hendak berdiskusi dengan Moeldoko terkait keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberangus habis mafia migas (minyak dan gas) dari bumi Indonesia. Kepada wartawan, Ahok mengklaim bahwa pemerintah saat ini sudah mengetahui pihak-pihak mana saja yang bermain di sektor migas.
“Kami semua, presiden sudah tahu semua. Pak Moeldoko juga sudah tahu. Kalian juga lebih tahu. Lo mancing-mancing aja,” katanya.
Beberapa jenak kemudian, Moeldoko yang saat itu berdiri di sisi Ahok pun ikut berkomentar. Ia berjanji, tidak akan membiarkan mafia-mafia migas hidup tenang lebih lama lagi di Indonesia. Sebelum presiden yang bergerak, katanya, ia duluanlah yang akan ‘menggigit’ mafia-mafia itu.
“Saya pikir, jangan sampai ke presiden lah. Kalau perlu menggigit, ya saya duluan yang menggigit, jangan presiden duluan,” tegas Moeldoko.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memang tengah mencak-mencak melihat tingkah para mafia migas yang kerap mengganggu pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan gas di Tanah Air. Jokowi meyakini, ada peran mafia di balik jumlah impor minyak mentah sebesar 800 ribu barel per hari.
Mereka, sambung Jokowi, sudah mengambil untung besar dan membuat Indonesia susah membangun kilang dalam 30 tahun terakhir. Keuntungan para mafia itu ditaksir mencapai Rp1 triliun lebih per bulan atau setara Rp12 triliun lebih dalam setahun.
“Saya cari (mafia migas). Sudah ketemu siapa yang senang impor. Sudah mengerti saya. Saya ingatkan bolak-balik kamu hati-hati, saya ikuti kamu,” ancam Jokowi, Selasa (16/12/2019).
Bermain di harga MOPS
Kini, dugaan permainan mafia migas itu semakin menguat ketika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak kunjung turun kendati harga minyak dunia sudah mencapai titik terendah sejak dua bulan terakhir. Tercatat, pada 21 April 2020 harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat jatuh hingga menyentuh teritori negatif, yakni -US$37,63 per barel.
Pun begitu dengan harga minyak jenis Brent yang sepanjang pekan lalu mengalami pemerosotan hingga 23,65%. Bahkan, pada penutupan 21 April 2020, harga minyak jenis ini berada di level $19,33 per barel. Ini menjadi kali pertama Brent berada di bawah $20 per barel sejak 20 tahun silam.
Pada Selasa (28/4/2020), harga minyak mentah kontrak berjangka kembali melorot. Harga minyak mentah acuan internasional yakni Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2020 ambles 2% ke US$ 19,59/barel. Pada saat yang sama harga minyak mentah acuan Negeri Paman Sam yakni WTI kontrak pengiriman Juni 2020 anjlok 7,75% ke US$ 11,79/barel. Harga kontrak WTI turun 24% sementara Brent terpangkas 6%.
Namun demikian, penurunan harga minyak dunia ini rupa-rupanya tidak barang sepeserpun memengaruhi harga BBM eceran di Tanah Air. Melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.83 K/12/MEM/2020 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak, pemerintah malah semakin menegaskan bahwa harga BBM di Tanah Air akan tetap berada di angka normal seperti bulan-bulan sebelumnya.
Diktum yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 8 April 2020 itu menyebutkan, harga minyak jenis RON 88 atau lebih dikenal dengan nama Premium masih dijual dengan harga Rp6.450 per liter. Sementara harga BBM jenis solar Rp5.150 per liter. Kedua angka tersebut sudah termasuk dengan perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Padahal jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, penurunan harga BBM sudah terjadi sebanyak 6 kali dalam 3 bulan terakhir. Diketahui, harga BBM Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia saat ini dibanderol hanya Rp4.420 per liter, jauh lebih murah dibandingkan harga Premium di Indonesia yang masih Rp6.450 per liter.
Pengamat energi dari Universita Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menduga, tidak turunnya harga BBM terjadi lantaran adanya peran mafia migas dalam penentuan nilai konstanta penjualan minyak di Indonesia dan acuan minyak Singapura atau Mean of Platts Singapore (MOPS).
“Berdasarkan hasil kajian Tim Anti Mafia, ada indikasi bahwa mafia migas selain bermain dalam peningkatan volume impor BBM, juga bermain dalam penetapan MOPS,” terang Fahmy melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id pekan lalu.
Untuk diketahui, MOPS sendiri merupakan patokan harga yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai acuan penetapan harga BBM. Formula penghitungannya tertuang dalam Kepmen ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 Tentang Formula Harga Jual Eceran BBM.
Dalam beleid tersebut tertulis, penentuan harga BBM Pertamax Plus atau RON 95 dan Pertamax Turbo atau RON 98 dihitung dengan rumus MOPS atau Argus + Rp2.000 per liter (konstanta) + Margin 10% dari harga dasar. Sementara untuk jenis bensin RON 95 ke bawah, termasuk Premium dan Solar dihitung dengan rumus MOPS atau Argus + RP1.800 per liter + Margin 10% dari harga dasar.
Menurutnya, penetapan konstanta dan harga MOPS inilah yang dimainkan oleh para mafia migas. Mereka, tegas ia, sudah menjadi sistem turun-temurun yang diwariskan para mafia migas sebelumnya sehingga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah.
“Kendati Petral yang selama ini dikenal sebagai markas mafia migas sudah dibubarkan. Mafia migas sesungguhnya masih saja berkeliaran,” ungkap salah satu anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk Presiden Jokowi pada 2014-2015 lalu itu.
Kejanggalan penetapan Kepmen dan nilai Alpha
Di sisi lain, penetapan Kepmen ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 juga dianggap janggal karena baru diteken pada 28 Februari 2020 ketika harga minyak jenis Brent mulai memperlihatkan sinyal penyusutan dari harga normal US$60 per barel menjadi US$50,2 per barel pada 24 Februari 2020.
Eks Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini menilai, penetapan Kepmen soal harga minyak tersebut turut menjadi salah satu biang keladi mengapa hingga detik ini harga BBM di Indonesia tak kunjung turun.
Kepada Alinea.id Rudi menjelaskan, Kepmen ini telah mengubah parameter perhitungan harga BBM yang sebelumnya ditentukan sebulan sekali, menjadi dua bulan sekali. Artinya, penetapan harga BBM hari ini mengacu pada harga minyak dunia dan MOPS yang ada pada dua bulan sebelumnya.
“Misalnya untuk bulan Mei itu adalah data yang diambil bulan Maret dengan menggunakan jarak dua bulan ini. Maka ketika hari ini harga minyak turun sampai 30%, belum bisa digunakan. Harga ini baru bisa digunakan untuk bulan Juni,” terangnya pekan lalu.
Karenanya, menurut Rudi, Kepmen ini perlu dipertanyakan sebab telah mengganti kebijakan yang diambil menteri-menteri periode sebelumnya. Termasuk dalam hal perumusan harga eceran BBM. Sebagai contoh, dalam Peraturan Menteri Nomor 39 tahun 2014 yang diteken Eks Menteri ESDM Sudirman Said, rumus penetapan harga BBM masih menggunakan acuan Indonesian Crude Price (ICP).
Rumus penetapan harga BBM dalam Permen ini terbagi dua. Untuk harga terendah, rumusnya adalah ICP + PPn 10% + PBBKB 5% + Margin 5%. Sedang untuk eceran tertinggi, dihitung dengan formula ICP + PPn 10% + PBBKB 5% + Margin 10%.
Rumus eceran tertinggi itu berlaku sama ketika pemerintah menetapkan BBM satu harga dalam Permen Nomor 34 tahun 2018 yang diteken Eks Menteri ESDM Ignatius Jonan. Artinya, penetapan harga BBM dengan acuan MOPS baru saja dilakukan di era Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Selain itu, indikasi adanya peran mafia migas dalam penetapan harga BBM juga terlihat dari tingginya anomali nilai alpha pada dua kilang minyak milik PT Pertamina di Banyu Urip Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur dan kilang minyak Duri-Dumai, Riau. Nilai alpha sendiri merupakan hasil total dari penambahan margin, biaya penyimpanan, biaya distribusi, dan biaya perolehan kilang yang ditentukan Menteri ESDM.
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, dalam keterangan tertulisnya menemukan, indikasi adanya nilai alpha yang tidak wajar di kilang Duri dan Banyu Urip. Berdasarkan data yang dihimpun Marwan, nilai Alpha di kilang Duri pada periode Januari-Maret 2020 mencapai US$11-US$15 per barel dan di Banyu Urip US$7-$9 per barel.
Padahal, terangnya, nilai minyak di kilang-kilang lain hanya berkisar US$2-US$3 per barel pada periode yang sama.
“Dengan nilai alpha yang besar, berarti meskipun harga minyak dunia turun, Pertamina tetap membayar harga crude yang cukup tinggi kepada pemerintah. Ujungnya, harga ICP ber-alpha tinggi akan ditanggung konsumen juga,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Alinea.id pekan lalu.
Menurutnya, saat pandemi Covid-19 situasinya memang berbeda. Pandemi membuat konsumsi BBM/minyak di sektor transportasi, industri dan komersial yang rendah membuat permintaan turun 16-20 juta barel per hari (bph). "Biasanya konsumsi minyak global sekitar 100 juta bph, seimbang dengan produksi pada level 100 juta bph," tambahnya.
Dia menyatakan pandemi membuat produksi minyak dunia berlebih sekitar 20 juta bph. Inilah yang menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 20-an per barel, terendah dalam 20 tahun. Namun sayangnya, hingga hari ini Indonesia belum dapat menikmati harga minyak murah. Pertamina hanya memberikan potongan harga BBM bagi pengendara ojek online (ojol) saja.
Penjelasan Pertamina dan Kementerian ESDM
Secara terpisah, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menerangkan, belum turunnya harga BBM saat ini bukanlah kehendak yang bisa diatur perusahaan. Kewenangan penurunan harga BBM, kata ia, sepenuhnya ada di tangan Menteri ESDM.
“Setiap bulan mengikuti formula harga yang ditetapkan (Kementerian) ESDM). Jadi sebetulnya penetapan harga dilakukan pemerintah. Nah, hari ini memang belum ada perubahan,” ungkap Nicke saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Kamis (16/4).
Sebaliknya, Nicke justru mengungkapkan bahwa saat ini Pertamina sedang dalam kondisi yang sangat berat. Ada setidaknya tiga hal yang membuat Pertamina kini terlunta-lunta.
Pertama, kelebihan suplai minyak mentah dunia yang kini juga dibarengi dengan anjloknya permintaan. Kedua, turunnya permintaan minyak dalam negeri yang otomatis berpengaruh terhadap pendapatan Pertamina. Terakhir, depresiasi nilai tukar rupiah juga membuat kinerja perusahaan menurun.
“Karena kita melakukan pembelanjaan dalam dolar AS (Amerika Serikat) tetapi harga jual dalam rupiah. Sehingga ini ada dampak yang besar terhadap kinerja perusahaan,” tutur ia.
Lantas untuk mendalami bagaimana kerugian dan tantangan yang dihadapi Pertamina itu, Alinea.id pun mencoba melakukan konfirmasi kepada Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Fajriyah Usman. Melalui sebuah pesan singkat, Fajriyah menjelaskan, keadaan berat bagi Pertamina ini lahir karena amblasnya permintaan BBM secara nasional hingga mencapai 35%. Permintaan merosot akibat Covid-19 yang menimbulkan adanya social distancing.
Sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB, jelas Fajriyah, permintaan BBM di kota-kota besar turun lebih dari 50%, dan penurunan belanja avtur (bahan bakar pesawat) sebesar 50%. Jadi, tegasnya, meskipun harga BBM tetap sama di tengah penurunan harga minyak dunia, Pertamina tetap mengalami kerugian yang cukup besar.
“Maka walaupun harga tetap sama, namun Pertamina mengalami banyak kerugian karena kegiatan operasional (pengolahan, penyimpanan, distribusi dan lain sebagainya) tetap dilakukan dalam rangka menjaga ketersediaan energi,” jelasnya.
Namun pertanyaannya sekarang, bisakah alasan itu menjadi pembenaran atas belum turunnya harga BBM saat ini? Sekali lagi, Rudi Rubandini menegaskan, alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal untuk dijadikan pembenaran atas belum turunnya harga BBM.
“Logikanya sederhana. Misalnya saya jual combro. Terus karena perusahaan saya mau hancur, masa combro saya harus dijual mahal? ‘Kan enggak bisa. ‘Kan harga combro tertentu. Harga oncomnya tertentu. Masa karena perusahaan saya mau hancur, saya jual harga mahal. Enggak bisa,” tegasnya.
Sementara itu, hingga detik ini, Kementerian ESDM agaknya belum memberikan keterangan yang terang benderang terkait mengapa harga BBM belum juga turun. Saat dikonfirmasi Alinea.id akan hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi hanya menjawab singkat pesan kami.
“Kami sedang evaluasi dan monitor perkembangan harga, mas. Sementara itu yang bisa kami sampaikan. Terima kasih," ujarnya singkat.
Sumber: UCnews
Nusantara
10Berita, Belum lapuk dalam ingatan, ketika 14 Januari lalu, Basuki Tjahaja Purnama yang baru saja didapuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) berkunjung ke Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat untuk menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Ahok, begitu ia akrab disapa, hendak berdiskusi dengan Moeldoko terkait keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberangus habis mafia migas (minyak dan gas) dari bumi Indonesia. Kepada wartawan, Ahok mengklaim bahwa pemerintah saat ini sudah mengetahui pihak-pihak mana saja yang bermain di sektor migas.
“Kami semua, presiden sudah tahu semua. Pak Moeldoko juga sudah tahu. Kalian juga lebih tahu. Lo mancing-mancing aja,” katanya.
Beberapa jenak kemudian, Moeldoko yang saat itu berdiri di sisi Ahok pun ikut berkomentar. Ia berjanji, tidak akan membiarkan mafia-mafia migas hidup tenang lebih lama lagi di Indonesia. Sebelum presiden yang bergerak, katanya, ia duluanlah yang akan ‘menggigit’ mafia-mafia itu.
“Saya pikir, jangan sampai ke presiden lah. Kalau perlu menggigit, ya saya duluan yang menggigit, jangan presiden duluan,” tegas Moeldoko.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memang tengah mencak-mencak melihat tingkah para mafia migas yang kerap mengganggu pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan gas di Tanah Air. Jokowi meyakini, ada peran mafia di balik jumlah impor minyak mentah sebesar 800 ribu barel per hari.
Mereka, sambung Jokowi, sudah mengambil untung besar dan membuat Indonesia susah membangun kilang dalam 30 tahun terakhir. Keuntungan para mafia itu ditaksir mencapai Rp1 triliun lebih per bulan atau setara Rp12 triliun lebih dalam setahun.
“Saya cari (mafia migas). Sudah ketemu siapa yang senang impor. Sudah mengerti saya. Saya ingatkan bolak-balik kamu hati-hati, saya ikuti kamu,” ancam Jokowi, Selasa (16/12/2019).
Bermain di harga MOPS
Kini, dugaan permainan mafia migas itu semakin menguat ketika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak kunjung turun kendati harga minyak dunia sudah mencapai titik terendah sejak dua bulan terakhir. Tercatat, pada 21 April 2020 harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat jatuh hingga menyentuh teritori negatif, yakni -US$37,63 per barel.
Pun begitu dengan harga minyak jenis Brent yang sepanjang pekan lalu mengalami pemerosotan hingga 23,65%. Bahkan, pada penutupan 21 April 2020, harga minyak jenis ini berada di level $19,33 per barel. Ini menjadi kali pertama Brent berada di bawah $20 per barel sejak 20 tahun silam.
Pada Selasa (28/4/2020), harga minyak mentah kontrak berjangka kembali melorot. Harga minyak mentah acuan internasional yakni Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2020 ambles 2% ke US$ 19,59/barel. Pada saat yang sama harga minyak mentah acuan Negeri Paman Sam yakni WTI kontrak pengiriman Juni 2020 anjlok 7,75% ke US$ 11,79/barel. Harga kontrak WTI turun 24% sementara Brent terpangkas 6%.
Namun demikian, penurunan harga minyak dunia ini rupa-rupanya tidak barang sepeserpun memengaruhi harga BBM eceran di Tanah Air. Melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.83 K/12/MEM/2020 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak, pemerintah malah semakin menegaskan bahwa harga BBM di Tanah Air akan tetap berada di angka normal seperti bulan-bulan sebelumnya.
Diktum yang diteken Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 8 April 2020 itu menyebutkan, harga minyak jenis RON 88 atau lebih dikenal dengan nama Premium masih dijual dengan harga Rp6.450 per liter. Sementara harga BBM jenis solar Rp5.150 per liter. Kedua angka tersebut sudah termasuk dengan perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Padahal jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, penurunan harga BBM sudah terjadi sebanyak 6 kali dalam 3 bulan terakhir. Diketahui, harga BBM Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia saat ini dibanderol hanya Rp4.420 per liter, jauh lebih murah dibandingkan harga Premium di Indonesia yang masih Rp6.450 per liter.
Pengamat energi dari Universita Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menduga, tidak turunnya harga BBM terjadi lantaran adanya peran mafia migas dalam penentuan nilai konstanta penjualan minyak di Indonesia dan acuan minyak Singapura atau Mean of Platts Singapore (MOPS).
“Berdasarkan hasil kajian Tim Anti Mafia, ada indikasi bahwa mafia migas selain bermain dalam peningkatan volume impor BBM, juga bermain dalam penetapan MOPS,” terang Fahmy melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id pekan lalu.
Untuk diketahui, MOPS sendiri merupakan patokan harga yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai acuan penetapan harga BBM. Formula penghitungannya tertuang dalam Kepmen ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 Tentang Formula Harga Jual Eceran BBM.
Dalam beleid tersebut tertulis, penentuan harga BBM Pertamax Plus atau RON 95 dan Pertamax Turbo atau RON 98 dihitung dengan rumus MOPS atau Argus + Rp2.000 per liter (konstanta) + Margin 10% dari harga dasar. Sementara untuk jenis bensin RON 95 ke bawah, termasuk Premium dan Solar dihitung dengan rumus MOPS atau Argus + RP1.800 per liter + Margin 10% dari harga dasar.
Menurutnya, penetapan konstanta dan harga MOPS inilah yang dimainkan oleh para mafia migas. Mereka, tegas ia, sudah menjadi sistem turun-temurun yang diwariskan para mafia migas sebelumnya sehingga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah.
“Kendati Petral yang selama ini dikenal sebagai markas mafia migas sudah dibubarkan. Mafia migas sesungguhnya masih saja berkeliaran,” ungkap salah satu anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dibentuk Presiden Jokowi pada 2014-2015 lalu itu.
Kejanggalan penetapan Kepmen dan nilai Alpha
Di sisi lain, penetapan Kepmen ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 juga dianggap janggal karena baru diteken pada 28 Februari 2020 ketika harga minyak jenis Brent mulai memperlihatkan sinyal penyusutan dari harga normal US$60 per barel menjadi US$50,2 per barel pada 24 Februari 2020.
Eks Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini menilai, penetapan Kepmen soal harga minyak tersebut turut menjadi salah satu biang keladi mengapa hingga detik ini harga BBM di Indonesia tak kunjung turun.
Kepada Alinea.id Rudi menjelaskan, Kepmen ini telah mengubah parameter perhitungan harga BBM yang sebelumnya ditentukan sebulan sekali, menjadi dua bulan sekali. Artinya, penetapan harga BBM hari ini mengacu pada harga minyak dunia dan MOPS yang ada pada dua bulan sebelumnya.
“Misalnya untuk bulan Mei itu adalah data yang diambil bulan Maret dengan menggunakan jarak dua bulan ini. Maka ketika hari ini harga minyak turun sampai 30%, belum bisa digunakan. Harga ini baru bisa digunakan untuk bulan Juni,” terangnya pekan lalu.
Karenanya, menurut Rudi, Kepmen ini perlu dipertanyakan sebab telah mengganti kebijakan yang diambil menteri-menteri periode sebelumnya. Termasuk dalam hal perumusan harga eceran BBM. Sebagai contoh, dalam Peraturan Menteri Nomor 39 tahun 2014 yang diteken Eks Menteri ESDM Sudirman Said, rumus penetapan harga BBM masih menggunakan acuan Indonesian Crude Price (ICP).
Rumus penetapan harga BBM dalam Permen ini terbagi dua. Untuk harga terendah, rumusnya adalah ICP + PPn 10% + PBBKB 5% + Margin 5%. Sedang untuk eceran tertinggi, dihitung dengan formula ICP + PPn 10% + PBBKB 5% + Margin 10%.
Rumus eceran tertinggi itu berlaku sama ketika pemerintah menetapkan BBM satu harga dalam Permen Nomor 34 tahun 2018 yang diteken Eks Menteri ESDM Ignatius Jonan. Artinya, penetapan harga BBM dengan acuan MOPS baru saja dilakukan di era Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Selain itu, indikasi adanya peran mafia migas dalam penetapan harga BBM juga terlihat dari tingginya anomali nilai alpha pada dua kilang minyak milik PT Pertamina di Banyu Urip Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Timur dan kilang minyak Duri-Dumai, Riau. Nilai alpha sendiri merupakan hasil total dari penambahan margin, biaya penyimpanan, biaya distribusi, dan biaya perolehan kilang yang ditentukan Menteri ESDM.
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, dalam keterangan tertulisnya menemukan, indikasi adanya nilai alpha yang tidak wajar di kilang Duri dan Banyu Urip. Berdasarkan data yang dihimpun Marwan, nilai Alpha di kilang Duri pada periode Januari-Maret 2020 mencapai US$11-US$15 per barel dan di Banyu Urip US$7-$9 per barel.
Padahal, terangnya, nilai minyak di kilang-kilang lain hanya berkisar US$2-US$3 per barel pada periode yang sama.
“Dengan nilai alpha yang besar, berarti meskipun harga minyak dunia turun, Pertamina tetap membayar harga crude yang cukup tinggi kepada pemerintah. Ujungnya, harga ICP ber-alpha tinggi akan ditanggung konsumen juga,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Alinea.id pekan lalu.
Menurutnya, saat pandemi Covid-19 situasinya memang berbeda. Pandemi membuat konsumsi BBM/minyak di sektor transportasi, industri dan komersial yang rendah membuat permintaan turun 16-20 juta barel per hari (bph). "Biasanya konsumsi minyak global sekitar 100 juta bph, seimbang dengan produksi pada level 100 juta bph," tambahnya.
Dia menyatakan pandemi membuat produksi minyak dunia berlebih sekitar 20 juta bph. Inilah yang menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 20-an per barel, terendah dalam 20 tahun. Namun sayangnya, hingga hari ini Indonesia belum dapat menikmati harga minyak murah. Pertamina hanya memberikan potongan harga BBM bagi pengendara ojek online (ojol) saja.
Penjelasan Pertamina dan Kementerian ESDM
Secara terpisah, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menerangkan, belum turunnya harga BBM saat ini bukanlah kehendak yang bisa diatur perusahaan. Kewenangan penurunan harga BBM, kata ia, sepenuhnya ada di tangan Menteri ESDM.
“Setiap bulan mengikuti formula harga yang ditetapkan (Kementerian) ESDM). Jadi sebetulnya penetapan harga dilakukan pemerintah. Nah, hari ini memang belum ada perubahan,” ungkap Nicke saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Kamis (16/4).
Sebaliknya, Nicke justru mengungkapkan bahwa saat ini Pertamina sedang dalam kondisi yang sangat berat. Ada setidaknya tiga hal yang membuat Pertamina kini terlunta-lunta.
Pertama, kelebihan suplai minyak mentah dunia yang kini juga dibarengi dengan anjloknya permintaan. Kedua, turunnya permintaan minyak dalam negeri yang otomatis berpengaruh terhadap pendapatan Pertamina. Terakhir, depresiasi nilai tukar rupiah juga membuat kinerja perusahaan menurun.
“Karena kita melakukan pembelanjaan dalam dolar AS (Amerika Serikat) tetapi harga jual dalam rupiah. Sehingga ini ada dampak yang besar terhadap kinerja perusahaan,” tutur ia.
Lantas untuk mendalami bagaimana kerugian dan tantangan yang dihadapi Pertamina itu, Alinea.id pun mencoba melakukan konfirmasi kepada Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Fajriyah Usman. Melalui sebuah pesan singkat, Fajriyah menjelaskan, keadaan berat bagi Pertamina ini lahir karena amblasnya permintaan BBM secara nasional hingga mencapai 35%. Permintaan merosot akibat Covid-19 yang menimbulkan adanya social distancing.
Sejak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB, jelas Fajriyah, permintaan BBM di kota-kota besar turun lebih dari 50%, dan penurunan belanja avtur (bahan bakar pesawat) sebesar 50%. Jadi, tegasnya, meskipun harga BBM tetap sama di tengah penurunan harga minyak dunia, Pertamina tetap mengalami kerugian yang cukup besar.
“Maka walaupun harga tetap sama, namun Pertamina mengalami banyak kerugian karena kegiatan operasional (pengolahan, penyimpanan, distribusi dan lain sebagainya) tetap dilakukan dalam rangka menjaga ketersediaan energi,” jelasnya.
Namun pertanyaannya sekarang, bisakah alasan itu menjadi pembenaran atas belum turunnya harga BBM saat ini? Sekali lagi, Rudi Rubandini menegaskan, alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal untuk dijadikan pembenaran atas belum turunnya harga BBM.
“Logikanya sederhana. Misalnya saya jual combro. Terus karena perusahaan saya mau hancur, masa combro saya harus dijual mahal? ‘Kan enggak bisa. ‘Kan harga combro tertentu. Harga oncomnya tertentu. Masa karena perusahaan saya mau hancur, saya jual harga mahal. Enggak bisa,” tegasnya.
Sementara itu, hingga detik ini, Kementerian ESDM agaknya belum memberikan keterangan yang terang benderang terkait mengapa harga BBM belum juga turun. Saat dikonfirmasi Alinea.id akan hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi hanya menjawab singkat pesan kami.
“Kami sedang evaluasi dan monitor perkembangan harga, mas. Sementara itu yang bisa kami sampaikan. Terima kasih," ujarnya singkat.
Sumber: UCnews