Kota Masa Depan Neom, Impian MBS yang Korbankan Rakyat
FacebookTwitterWhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail
Kota berteknologi tinggi yang direncanakan di Arab Saudi senilai US$500 miliar itu melibatkan pengusiran paksa dan janji kompensasi yang tidak jelas. Pembunuhan seorang aktivis yang memprotes pembangunan telah mengingatkan dunia bagaimana kerajaan menangani perbedaan pendapat.
Beberapa hari setelah Pasukan Khusus Saudi membunuh Abdulrahim al-Huwaiti pada 13 April 2020, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan pernyataan yang menyebut dirinya “orang buronan”. Pemerintah Saudi dan trollonline menyebutnya sebagai “teroris”. Beberapa jam sebelum kematiannya, sang anggota suku mengunggah video YouTube yang memprediksi kematian itu. Abdulrahim menjelaskan dalam videonya, hukuman semacam itu akan dijatuhkan karena memprotes upaya pemerintah untuk menggusur paksa Suku Huwaitat untuk memberi jalan bagi kota futuristik Neom di Arab Saudi.
Selama ratusan tahun, Suku Huwaitat telah menduduki desa-desa dan kota-kota, termasuk ibu kota bersejarah Khuraybah, di provinsi barat laut Tabuk. Sekarang, sekitar 20.000 orang Huwaitat akan diusir untuk memberikan ruang bagi pembangunan Neom.
Pada 2017, putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengumumkan visinya untuk kota impian berteknologi tinggi senilai US$500 miliar yang dihuni oleh para wisatawan global, perusahaan teknologi baru, dan investor kaya. Kota yang direncanakan seluas 26.495 kilometer persegi atau 33 kali ukuran New York City itu adalah landasan dari rencana Vision 2030 putra mahkota untuk mendiversifikasi ekonomi Saudi jauh dari ketergantungan pada pendapatan minyak.
Para pejabat berjanji kota itu akan memiliki lebih banyak robot daripada manusia, dengan teknologi pengenalan wajah massal dan pengawasan untuk menghilangkan kejahatan, taksi udara otomatis alih-alih transportasi jalan, serta resort mewah tepi laut, kapal pesiar, dan kompleks hiburan. Neom akan menjadi miniatur negara dengan hukumnya sendiri. Suku Huwaitat tidak akan pernah cocok dengan pusat kosmopolitan yang glamor itu. Dengan demikian, pemerintah Arab Saudi akan membeli tanah mereka dan mendorong mereka keluar.
Namun, semuanya belum berjalan sesuai rencana. Pembunuhan Abdulrahim bulan ini dan upaya keras pemerintah untuk memaksa Suku Huwaitat menerima persyaratan penggusuran mereka adalah mikrokosmos dari semua kesalahan dalam penguasa otoriter negara yang ceroboh dan kejam. Menghadapi prospek menyerahkan tanah leluhur mereka di mana suku itu telah hidup selama ratusan tahun (jauh sebelum Kerajaan Arab Saudi didirikan pada 1932), protes telah meletus selama tiga bulan terakhir. Setidaknya 10 orang telah ditangkap dan beberapa orang telah meninggalkan negara itu.
Alih-alih berkonsultasi dengan masyarakat setempat dan berupaya mengintegrasikan mereka dalam rencana ambisius kawasan itu, pemerintah telah memperlakukan warganya seperti benda sekali pakai yang akan diganti oleh pemukim kosmopolitan baru yang mengkilap. Inilah yang terjadi ketika seorang penguasa sewenang-wenang menyatakan dia yang akan menentukan masa depan negaranya (dengan dinasihati dan dibantu oleh para konsultan dan pengacara Amerika Serikat berbayar), sementara warga Saudi yang mengekspresikan pandangan mereka sendiri khususnya yang kritis pun diabaikan, dibungkam, dipenjara, atau dimusnahkan.
Pembunuhan Abdulrahim perlu diselidiki, sementara pernyataan pemerintah menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Pemerintah Kota Tabuk, yang diawasi oleh Program Pembangunan Masyarakat Nasional yang baru, mulai mengeluarkan perintah penyitaan properti pada awal Januari 2020, menurut penduduk setempat. Pihak berwenang hanya menawarkan janji verbal yang tidak jelas kepada para berupa apartemen sementara dan kompensasi yang tidak ditentukan secara pasti. Para penduduk menuturkan kepada Foreign Policy, tidak ada proses pengadilan yang dilibatkan dalam meninjau keberatan suku terhadap proyek pembangunan, pemindahan paksa mereka, atau ketentuan kompensasi.
Saudi Arabia di malam hari. (Foto: Direct Industry E Magazine)
Baca Juga: Pemindahan Ibu Kota: Urgensi Menjual Tanah Negara ala Jokowi
Sumber-sumber lokal mengatakan sebagian besar anggota suku menolak tawaran itu. Namun, Abdulrahim khususnya menjadi wajah publik dari ketidakpuasan. Pada Januari 2020, ia adalah bagian dari kelompok lokal yang bertemu dengan perwakilan pemerintah untuk menolak kompensasi dan pemindahan suku. Pada 12 April, sehari sebelum dia terbunuh, Abdulrahim mengunggah video YouTube di kanal pribadinya yang menunjukkan surat kepemilikan lahan. Dalam video lain yang diunggah hari itu, Abdulrahim bersikeras dirinya dan yang lainnya dari sukunya ingin tinggal di tanah bersejarah mereka dan mengambil bagian dalam pembangunan Neom.
Pernyataan pemerintah tidak menyebutkan perselisihan ini. Mereka mengklaim Abdulrahim al-Huwaiti dipersenjatai dan menembaki pasukan keamanan, lantas mereka tidak punya pilihan selain membalas dan membunuhnya. Seperti yang diperkirakan oleh Abdulrahim, pernyataan itu mengklaim tentara menemukan setumpuk senjata di rumahnya.
Namun, para saksi membantah laporan ini dan mengatakan Abdulrahim memberi tahu polisi pada 12 April ia tidak akan pergi, kemudian mengambil foto polisi ketika mereka tiba untuk mengukur tanah dan rumahnya di luar kehendaknya. Ketika pasukan khusus tiba pada hari berikutnya dalam puluhan truk lapis baja, penduduk setempat mengaku melihat pasukan mengelilingi rumah dan mulai menembak, baru kemudian Abdulrahim balas menembak.
Sejak pembunuhannya, media sosial di luar negeri menjuluki Abdulrahim sebagai “martir Neom”, menyamakan pembunuhannya dengan pembangkang paling terkenal di negara itu Jamal Khashoggi. Mengingat kredibilitas pemerintah Saudi yang terkikis di tengah kebohongan terus-menerus tentang Khashoggi, tidak mungkin publik di dalam negeri atau di luar negeri akan percaya pada laporan terbaru pemerintah mengenai pembunuhan Abdulrahim.
Proyek-proyek pembangunan besar-besaran yang melibatkan pengambilan properti penduduk setempat tidak pernah merupakan proses yang mudah. Namun, hukum internasional memberikan standar dasar tentang bagaimana pemerintah dapat menghormati hak-hak masyarakat lokal dalam proses tersebut. Pemerintah Arab Saudi telah gagal untuk menggunakan bahkan standar paling minimum tentang kapan dan bagaimana negara dapat mengambil alih properti.
Tidak ada bukti penggusuran yang direncanakan terhadap Suku Huwaitat adalah upaya terakhir sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang. Tidak ada proses yang adil untuk menentukan apakah pemerintah menawarkan kompensasi yang memadai untuk tanah dan properti pribadi mereka.
Dilansir dari Foreign Policy, Arab Saudi tidak memiliki hukum pertanahan, sementara Hukum Pengambilalihan Real Estate tidak memiliki peraturan yang jelas tentang proses pemukiman kembali dan kompensasi bagi orang yang kehilangan tanah karena proyek pembangunan. Pemerintah jelas gagal berkonsultasi dengan masyarakat sipil dan masyarakat yang terkena dampak.
Sebaliknya, Program Pembangunan Masyarakat Nasional secara ringkas menyatakan penduduk akan diberikan kompensasi yang adil, memiliki akses ke program dukungan sosial dan ekonomi, dan dapat menyampaikan “pertanyaan dan komentar” di pusat-pusat pemerintah lokal.
Tidak ada bukti pemerintah telah memeriksa bagaimana Neom akan mempengaruhi hak asasi manusia dan dampak lingkungan pada Suku Huwaitat, apalagi dampak iklim dari Neom yang jelas akan menyerap banyak energi. Hasilnya, seperti banyak prediksi, adalah konflik dan kekerasan.
Kini sangat diragukan apakah proyek Neom bahkan layak, mengingat keruntuhan keuangan global karena pandemi COVID-19 dan meningkatnya utang Saudi di tengah harga minyak yang anjlok secara historis. Tidak ada ironi sama sekali karena sampai saat ini, satu-satunya hasil yang terlihat dari visi pembangunan kota yang futuristik itu adalah penghancuran terhadap sebuah komunitas bersejarah dan kematian seorang pengunjuk rasa Saudi, menggunakan cara kuno yang mengabaikan gagasan modern tentang hak dan keadilan.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Ilustrasi kota masa depan ala MBS, Neom korbankan hak rakyat Arab Saudi. (Foto: KCRW)
Sumber: Matamatapolitik