RUU HIP, Pahala Politik PKS
RUU HIP, Pahala Politik PKS
DALAM proses RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) hingga ditetapkan sebagai RUU inisiatif dewan pada sidang paripurna bulan Ramadhan lalu, yang pas menerima "dosa politik" adalah PDIP. Sementara yang layak mendapat "pahala politik" adalah PKS.
Tanpa menafikan perjuangan secara personal anggota dewan, maka secara institusional atau fraksional yang berhak menerima "berkah" bulan Ramadhan tersebut adalah PKS.
Sebenarnya untuk perjuangan dan "kemenangan" PKS dipetik bukan hanya dari RUU HIP akan tetapi juga dari RUU Corona. Fraksi PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak ditetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU.
Aspirasi rakyat memang berada pada kutub penolakan karena khawatir perppu tersebut akan menjadi legitimasi dari korupsi atau sekurangnya menjadi jalan bagi korupsi terselubung. UU 2/2020 asal Perppu 1/2020 kini sedang dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
RUU HIP pasca ditetapkan, muncul berbagai aspirasi penolakan publik. Banyak pernyataan politik, seminar dan diskusi, atau opini di media, yang seluruhnya mengarah pada penolakan. Ada isu sensitif pada RUU HIP yang berpotensi menjadi gumpalan perlawanan yaitu kebangkitan PKI atau pengembangan paham komunisme.
Konten RUU dinilai mengandung "penyelundupan" paham komunisme dan marjinalisasi agama.
PKS ditempatkan sebagai harapan perjuangan untuk mengoreksi atau meluruskan agenda penyimpangan ideologi Pancasila. Jika tetap gigih melakukan perlawanan, maka disadari atau tidak, maka PKS akan menjadi lokomotif dari proses politik kerakyatan atau keumatan di Parlemen. Tentu dengan dukungan personal yang tersebar di berbagai fraksi lainnya.
Sebenarnya bukan hal yang tak mungkin bahwa peta politik berubah pada pembahasan selanjutnya. Aspirasi atau tekanan politik di luar Parlemen turut menentukan perubahan peta tersebut. Prospek bagus karena isu dan misi terselubung RUU adalah semangat kebangkitan PKI dan Komunisme.
Jika semua fraksi masih berkoalisi dalam "kemungkaran" maka PKS mendapat pahala politik sendirian. Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Investasi masa depan yang menjanjikan. Jika mampu merawat maka "kekalahan" tersebut akan menjadi akselerator dukungan politik di luar dugaan kelak.
Kalaupun terjadi pergerakan atau konfigurasi politik pada tahap pembahasan dengan pemerintah, maka tetap saja PKS mendapat "advantage" dari perubahan tersebut.
Pertarungan menjadi menarik karena berada di tataran norma fundamental. Menyangkut prinsip dan ideologi. Karenanya rakyat dan umat Islam akan bersatu dalam perjuangan "hidup mati". Aspirasinya mendasar bukan perbaikan parsial atau tambah kurang melainkan penolakan RUU untuk tidak menjadi UU. Hitam dan putih.
Partai-partai harus berhitung matang dalam konteks "dosa" dan "pahala" politik sebagai akibat dari penyikapan. Rakyat, khususnya umat Islam hanya punya dua penilaian yakni pro dan kontra PKI/Komunisme pada representasi kutub-kutub perjuangan yang ada di Parlemen.
TNI yang punya akar kesejarahan anti PKI/Komunisme juga merupakan kekuatan kerakyatan lain yang penting untuk menjadi pertimbangan politik.
Meskipun demikian partai yang berpeluang untuk mendapat dukungan lebih besar adalah mereka yang konsisten memperjuangan aspirasi kerakyatan dan keumatan. Untuk hal ini PKS masih unggul.
Pahala politik pantas untuk didapat.
PKS harus didukung nyata dan dukungan politik masyarakat memberi pengaruh untuk "schock therapy" konfigurasi peta politik di parlemen.
Amanat rakyat, khususnya umat Islam atas RUU yang berbau PKI/komunisme ini tentu bukan revisi atau perbaikan narasi, akan tetapi tolak.
11 Juni 2020
Oleh: M. Rizal Fadillah
(Pemerhati politik dan kebangsaan)
Sumber: