Hagia Sophia, Istana Topkapi, dan Surat Sultan Aceh yang Ingin Membebaskan Nusantara dari Penjajahan
Tuanku Warul Waliddin, keturunan Sultan Alaidin Mansyursyah dan penggiat sejarah dan budaya Aceh. - Handover
Oleh Tuanku Warul Waliddin*)
10Berita, PERUBAHAN status Hagia Sophia (Ayasofya) dari museum menjadi masjid, membuat mata dunia menyorot ke Turki.
Tak heran, karena bangunan yang telah empat kali berganti status (gereja - masjid - museum - masjid) ini merupakan warisan dari dua dinasti besar yang pernah sangat berkuasa, yaitu Bizantium (Kekaisaran Romawi Timur) dan Ottoman (Utsmaniyah).
Tapi kali ini saya tidak mengulas tentang Hagia Sophia, karena telah sangat banyak ulasan yang bertebar di berbagai media.
Saya akan lebih fokus mengulas tentang salah satu isi di dalam bangunan yang berada tidak jauh dari Hagia Sophia.
Bangunan dimaksud adalah Topkapi Palace Museum.
Topkapi ini adalah istana di Istanbul, Turki, yang merupakan kediaman resmi Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun (1465-1856)
Istana yang kini telah menjadi museum ini menyimban berbagai barang peninggalan para Sultan Utsmaniyah.
Salah satunya adalah secarik surat Sultan Alaidin Mansyursyah dari Aceh kepada Sultan Abdul Majid Khan pada tahun 1848.
Surat ini masih tersimpan rapi di Topkapi Palace Museum, Turki.
Keberadaan surat ini dipublikasi dalam sebuah karya Dr. Annabel Gallop, Kurator Malay and Indonesian Manuscripts.
Terima kasih tak terhingga kepada Dr. Annabel yang telah mempublikasi naskah surat ini dalam tulisan: “Islam, Trade and Politics Across The Indian Ocean”.
Surat tersebut menggunakan tulisan huruf Arab-Jawi, khas tulisan yang menjadi standar surat menyurat bangsa-bangsa di Kerajaan Islam Asia Tenggara.
Surat tersebut secara jelas menerangkan beberapa poin yang sangat tertutup rapat saat ini dan belum diketahui oleh khalayak ramai.
Surat ini mengungkap beberapa aspek sudut pandang Aceh dalam percaturan hubungan dunia internasional dan hubungan Kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan dan wilayah lainnya di Nusantara.
Dibandingkan kerajaan lainnya di Nusantara, Aceh merupakan sebuah negeri yang secara geografis berada paling dekat dengan pusat peradaban imperium dunia, yaitu Rum/Turki/Konstantinopel.
Maka, Kesultanan Aceh memiliki pengaruh besar dalam peta percaturan international dari sejak 1200 Masehi.
Dalam kondisi yang diuntungkan inilah seyogyanya Aceh memiliki peranan besar menjadi penggerak peradaban Nusantara, dari era kesultanan dahulu hingga hari ini.
Di antara hal menarik yang dapat kita telaah dalam surat ini adalah, Kerajaan Aceh melalui Sultan Alaidin Mansyursyah mengungkapkan rasa sedih yang mendalam terhadap kondisi negeri-negeri di Kepulauan Nusantara.
Ungkapan tersebut termuat pada baris ke-12 -13 surat tersebut dengan petikan sebagai berikut:
12 - Ke bawah Duli, dikarena tatkala dahulu Negeri Jawi sekaliannya orang Muslimin dan kuatlah dengan berbuat ibadah dan tetaplah agama Islam dan sambunglah kehidupan segala orang faqir dan miskin dan lainnya
13 - dan sekarang sudah binasa negeri karena sudah masuk orang kafir Belanda pada satu Pulau Jawa dan serta dengan Pulau Bugis dan Pulau Bali serta dengan Pulau Borneo dan serta dengan Pulau Aceh yang setengah.
Jelas dalam dua baris isi surat di atas menunjukkan Kegelisahan Sultan Mansyursyah terhadap kondisi negeri-negeri di Nusantara yang telah diduduki oleh Bangsa Kolonial Belanda.
Kesedihan Sang Sultan bukan tanpa alasan.
Belanda yang awalnya hanya ingin menguasai perdagangan, ternyata dalam perjalanannya mengatur tatanan hukum dan pemerintahan secara menyeluruh, termasuk menyentuh tatatan yang sangat sensitif yaitu agama.
Melalui para misionarisnya, Belanda menginjilkan beberapa wilayah di Nusantara, terutama di kawasan timur hingga Pulau Jawa.
Belanda memecah belah kerajaan-kerajaan di Nusantara, dengan menjadikannya separuh muslim dan separuh kristen.
Pada baris 14 dari surat itu, Sultan Alaidin Mansyursyah juga menceritakan peristiwa penangkapan Sultan Minangkabau oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Para tokoh Miangkabau meminta bantuan Sultan Mansyurysah untuk mengusir pendudukan Belanda dari wilayah mereka.
Dari sini, jelas dapat dipahami bahwa pada masa itu, tahun 1848 M, beberapa wilayah yang dahulunya merupakan wilayah yang tunduk di bawah Kerajaan Aceh, yang mencakup hampir seluruh daratan Sumatera dan Semenanjung Malaka, telah mulai lepas dan dikuasai Belanda.
Pada Baris ke 32 surat tersebut, Sultan Alaidin Mansyursyah menulis:
32- Sebab Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah susah segala orang yang Muslim.
Dalam baris ini diterangkan oleh Sultan Mansyursyah bahwa beberapa negeri di dalam kawasan Nusantara telah dihukumkan oleh orang Belanda.
Makna dihukumkan di sini dapat dipahamai memiliki dua pemahaman.
Pertama bermakna bahwa negeri tersebut telah dipaksa menggunakan hukum Belanda dalam seluruh aspek kehidupan dan kegiatan sehari-harinya.
Baik itu urusan adminsitrasi pemerintahannya maupun aturan-aturan yang berhubungan dengannya.
Yang kedua bisa bermakna bahwa negeri-negeri tersebut itu telah dihukum oleh Belanda akibat telah melakukan sebuah kesalahan dan pantas mendapatkan hukuman.
Namun penulis cenderung kepada pemahaman pertama.
Karena, sejak pertama memasuki dan menguasai Pulau Jawa dan sekitarnya, pihak Belanda telah berhasil mengambil hati dan meyakinkan para raja-raja di Jawa untuk menjalin kerja sama dengan mereka tanpa ada perlawanan dan pertentangan yang berarti.
Hingga Sultan Mansyursyah melihat ada beberapa kelompok terutama para ulama di Jawa yang melihat kondisi ini sebagai ancaman bagi umat.
Pada Baris ke 38 hingga 41 merupakan puncak dari isi surat yang menerangkan maksud dan tujuan utama dari Sultan Alaidin Mansyursyah.
Di sinilah, Sultan Aceh meminta bantuan Sultan Abdul Majid di Turki.
Berikut isi suratnya:
38- Menanti titah dan wasithah daripada Duli Hadarat yang di negeri Rum. Ampun Tuanku beribu kali ampun, kurnia sedekah Duli Hadarat kepada patik ke Negeri Aceh kapal perang alkadar dua belas serta laskar dalamnya barang.
39- Berapa yang memadai dalam kapal itu dan tentangan belanja laskar dan belanja kapal sekaliannya di atas tanggungan patik. Jika sudah sampai ke Negeri Aceh adalah dengan ikhtiar patik semuhanya itu, dan hendaklah dengan izin.
40- Duli Hadarat kepada patik dan lainnya hendak memerang kafir Belanda itu pada tiap-tiap negeri dan tiap-tiap bandar. Dan hendaklah sedekah Duli Hadarat surat tanda alamah Duli Hadarat kepada kami semuhanya yang di dalam Negeri Jawi
41- Ilaihim Ajma’in supaya suka kami mati syahid. Itulah ihwalnya dan yang lain tiadalah patik sebutkan dalam waraqah ini melainkan Duli Hadarat periksa pada orang yang membawak surat ini karena dianya hulubalang.
Jelaslah diterangkan pada baris ke 38 tujuan daripada permohonan Bantuan yang diharapkan oleh Sultan Alaidin Mansyursyah adalah bantuan 12 (dua belas) buah kapal perang kumplit serta dengan isinya dan pasukan-pasukannya dari Kesultanan Turki Utsmani.
Sultan menerangkan bahwa belanja segala kebutuhan pasukan dan lainnya akan menjadi tanggungan Sultan Mansyurysah.
Puncak daripada harapan 12 kapal perang tersebut beserta laskar dan segala isinya adalah, Sultan Mansyurysah ingin memerangi kafir Belanda di tiap-tiap negeri dan kota-kota atau pelabuhan-pelabuhan yang telah diduduki oleh Belanda dengan sempurna.
Seperti di Jawa, Bugis, Bali, Borneo, dan Palembang.
Jelas cita-cita Sultan di sini sebenarnya adalah ingin membebaskan seluruh wilayah yang hari ini telah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika itu, pada tahun 1848, hampir seluruh kerajaan di Nusantara (kini masuk wilayah Indonesia), berada dalam cengkraman hukum Belanda.
Dan Sultan Aceh, dengan bantuan dari Turki, ingin membebaskan seluruh kerajaan tersebut, agar kembali tegaknya agama Islam sebagai agama utama rakyatnya.
Menutup tulisan ini, penulis memanjatkan doa dan harapan, momentum dikumandangkannya kembali azan di Haghia Sophia (Ayasofia), menjadi titik balik kebangkitan Turki Utsmani dengan semangat bayang-bayang negara vasalnya (Aceh Darussalam dan seluruh anak negeri di Tanah Jawi/ Nusantara).
Penantian 86 tahun kembalinya status Ayasofia sebagai masjid menjadi spirit tersendiri bagi Seluruh umat Islam di Nusantara, walkhususan Aceh Darussalam.
Sebagaimana mengutip kata Erdogan Bey “Dimana Azan Berkumandang Disitu Tanah Airku”.
Demikian lah kira-kira suara hati yang sama dari Sulan Alaidin Mansyursyah Dzilullahufil’alam yang ingin membebaskan Batavia dari pendudukan Belanda.
*) PENULIS, Tuanku Warul Waliddin, SE, Ak adalah keturunan Sultan Alaidin Mansyursyah dan Pang Ulee Komandan Al Asyi.
* KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Sumber: serambi Indonesia