Jokowi Dan Pandemi
Oleh: Zainal Bintang
MASUK akal jika Indonesia paling terguncang dengan adanya kebijakan banyak negara di hampir seluruh dunia menutup kebijakan ekspor hasil pertanian dan peternakan mereka. Keputusan itu diakibatkan meluasnya penyebaran wabah virus corona atau Covid 19.
Masing-masing negara mendahulukan kepentingan rakyatnya. Juga karena alat transportasi udara dan laut maupun darat ditiadakan sementara akibat kebijakan lockdown dan sejenisnya.
Sejak era reformasi (2000-2015) kran impor sejumlah hasil pertanian dan peternakan dibuka pemerintah dengan dalih dalam
rangka ketahanan pangan. Termasuk beras. Pernah dihentikan dari 2015-2017. Tapi dibuka lagi sejak 2018.
Pengaruh nikmatnya candu impor pangan belasan tahun itu, khususnya beras, membuat Indonesia tidak memiliki basis ketahanan pangan yang substainable, terstruktur dan siap pakai. Guncangan atas ancaman krisis pangan diantisipasi pemerintah dengan kebijakan tambal sulam. Pernyataan WHO tentang ancaman krisis pangan itulah yang membuat Jokowi menjadi traumatis.
Di hari yang “bersejarah”, Kamis (9/7) Jokowi melakukan safari politik mendadak ke kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Mendeklarasikan tekad pemerintah membangun lumbung pangan atau food estate.
Masifitas gebrakan Jokowi ditandai keputusan mengejutkan. Menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebagai penanggung jawab utama proyek lumbung ketahanan pangan itu.
Keputusan tanpa prakondisi pemaparan secara tehnis hasil pengkajian dan tanpa ditopang rasionalitas analisis yang penjamin keberhasilan program kilat lumbung pangan itu akan berhasil. Yang pasti kedudukan dan posisi Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo dipertanyakan masyarakat. Tidak lazim pergeseran posisi menteri dilakukan presiden di pinggir pematang sawah. Di luar kota. Jauh dari Istana.
Beberapa teman mengirim pesan pertanyaan melalui WhatsApp. Apakah keputusan presiden itu adalah “reshuffle” terselubung? Ada lagi yang lebih tajam dengan menyebutkan keputusan kilat Jokowi itu, sejenis “kudeta” merangkak terhadap kabinetnya sendiri.
Kehadiran tak diundang pandemi Covid 19 itu dibaca publik sebagai blessing indisguise bagi Jokowi untuk “melompati” mekanisme birokratis yang berjenjang panjang dan bekerja sangat lamban. Menjadi pintu masuk yang terbuka otomatis memenuhi naluri kerja, kerja, kerja yang berorientasi hasil yang menjadi ciri khas perwatakan budaya kerja sang presiden.
Di atas kecemasan dan keresahan masyarakat menghadapi penetrasi virus yang misterius itu, Jokowi menemukan alasan untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan selera gaya kerjanya. Melabrak budaya para menteri yang selama ini lebih banyak memainkan trik-trik seremonial melalui kemasan program dengan aroma kerakyatan semu. Menghabiskan uang rakyat tanpa makna. Diolah agen penjual paket pencitraan polesan lembaga survey berbayar.
Sejatinya pandemi membuka jalan perubahan langgam birokrasi yang lamban, tambun dan feodalistik. Jokowi dengan sigap menangkap peluang itu.
Para menteri yang notabene adalah pembantu presiden, di mata masyarakat tidak ada satupun yang berhasil menjawab gangguan pandemik dengan tampilan yang mengesankan. Tidak heran jika rakyat menyaksikan hampir tiap minggu Jokowi mengeluh, mengeritik dan marah-marah terhadap kinerja menterinya yang jauh di bawah standar minimal.
Wajar jika Jokowi kecewa bahkan resah. Konsep mitigasi masyarakat amburadul di tangan tim orkestra negara. Konsolidasi para menteri mengecewakan. Bukan cuma Jokowi juga masyarakat luas lebih kecewa. Mereflesikan pembantu tidak mampu menolong tuannyanya dari kegamangan yang menekan.
Atas nama 267 juta jiwa rakyat, -narasi itu berulang-ulang diucapkan Jokowi. Lebih menyerupai benteng perlindungan dari kemarahan rakyat yang kebingungan. Menjadi mantra sakti atas tindakan daruratnya. Sekaligus sebagai apologi kepada rakyat. Agar mau memahami presidennya telah bekerja keras untuk rakyat. Namun tidak terdukung oleh kinerja dan kapasitas para pembantunya.
Puncak justifikasinya diekspresikan dengan mengeksekusi jabatan Mentan pindah kepada Menhan di tepi pematang sawah.
“Pandemi Bikin Dunia Terancam Krisis Pangan, RI Bisa Selamat?” Begini judul berita media di Indonesia 25 Juni 2020. Kepala Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Pembangunan Sosial Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), Maximo Torero Cullen pertengahan April lalu menyebut ada potensi terjadinya krisis pangan dunia karena penerapan karantina wilayah atau lockdown untuk memerangi virus Corona.
Indonesia sendiri akan menghadapi beberapa tantangan dalam sektor pangan. BMKG memprediksi bahwa 30% wilayah Indonesia akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya. Menurut laporan yang diterima Presiden Joko Widodo dari para menterinya, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa provinsi.
"Kabarnya stok beras defisit di 7 provinsi, lalu stok jagung defisit di 11 provinsi, stok cabai rawit defisit di 19 provinsi. Diperkirakan juga stok telur ayam defisit di 22 provinsi, stok gula defisit di 30 provinsi, dan bawang putih di 31 provinsi. Jika dibiarkan, kondisi ini akan memicu lonjakan harga pangan di Indonesia," ujar Ketua Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol) Negara Republik Indonesia Bapak Irjen (Purn) Yudi Sushariyanto pada keterangannya belum lama ini.
Dipastikan akibat laporan stok beras defisit di 7 provinsi bersama jagung dan cabai rawit inilah yang menjelaskan, mengapa Jokowi marah besar terhadap kinerja Kementerian Pertanian (Kementan). Menghindari debat kusir teoritis dengan pejabat Kementan, mendorong Jokowi mengambil tindakan kilat menyerahkan penanganan ketahanan pangan kepada Menhan. Hal itu setelah didahului dengan ancaman demi ancaman tiap minggu sebagai planting information yang menjanjikan akan ada eksekusi kolosal.
Ini sebuah drama yang tragis yang tidak terhindarkan. Terjadi di tengah pandemi. Namun seakan menjadi solusi dan apologi kontemporer. Diberi cover pembenaran sebagai tindakan out of ordinary (di luar kebiasaan).
Sesungguhnya inilah potret kehidupan “new normal”. Dihayati bahkan dipraktikkan dengan mantap oleh Jokowi yang bergerak bagaikan “Robinhood” tokoh film legendaries: bekerja dan berjuang sendirian dari hutan ke hutan untuk menolong rakyat yang lemah.
Bagaimanakah kelanjutan substansi komitmen partai koalisi untuk saling bergandengan dan senasib sepenanggungan dengan Jokowi? Adakah komitmen koalisi menjadi sirna termakan pandemi kesehatan dan pandemi politik. Lalu sirna ditelan mesin giling alam yang bernama “new normal”?
(Wartawan senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)
Sumber: konten islam