OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 21 Maret 2021

Kecemburuan Politik

Kecemburuan Politik



 

Penulis: Oleh: Trias Kuncahyono (rmol.id)



KALAU tidak ramai, bukan politik. Begitu kata orang. Karena itu, tidak jarang, suasana yang adem ayem dibikin ramai. Ada saja cara orang untuk membuat ramai. Paling banyak terjadi adalah dengan melemparkan isu; yang kemudian akan digoreng oleh “para juru masak.”

Isu terakhir yang digoreng-goreng adalah menyangkut masa jabatan presiden. Bahkan, seorang Amien Rais pun, mantan Ketua MPR RI mengaku menangkap adanya skenario untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Artinya tidak dua kali sebagaimana ketentuan Konstitusi.

Mantan politikus senior PAN itu menyebut ada skenario mengubah ketentuan dalam UUD 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Amien menduga, rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengubah atau mengamendemen UUD 1945.

“Jadi, mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR yang mungkin 1-2 pasal yang katanya perlu diperbaiki, yang mana saya juga tidak tahu,” kata Amien dalam tayangan Kompas TV, dikutip Senin (15/3/2021). Ia melanjutkan, usai Sidang Istimewa digelar, akan muncul usul untuk mengubah masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Melemparkan isu semacam itu, bukan hal baru. Setiap kali terjadi. Entah maksudnya apa mereka melemparkan isu seperti itu. Mau memberikan kesan bahwa presiden kemaruk kekuasaan, haus kekuasaan? Memanaskan situasi? Situasi macam apa yang mau dipanaskan? Mengalihkan perhatian? Sekadar untuk mendapat sorotan media dan menjadi bahan perbincangan publik? Atau itu merupakan ungkan dari “kecemburuan politik?”

Beberapa waktu lalu, ada yang mengusulkan agar masa jabatan presiden tidak lima tahun, tetapi enam atau tujuh tahun satu periode. Ada lagi yang usul satu periode cukup empat tahun, tetapi bisa menjabat tiga periode. Yang lain berpendapat, satu periode tetap lima tahun tetapi bisa dipilih lagi asal tidak berturut-turut.

Alasan yang selalu dikemukakan adalah agar presiden dapat menuntaskan program pembangunan yang dicanangkannya. Apakah itu berarti, banyak program yang mangkrak karena masa jabatan tidak cukup, walau sudah dua periode, misalnya? Alasan bisa dibuat sesuai dengan keinginan.

II

Apa yang terjadi di negeri ini, beda dengan yang terjadi di Rusia, misalnya. Usaha untuk memperpanjang masa jabatan justru dilakukan oleh penguasa. Vladimir Putin. Karena memang menginginkan sebagai orang terkuat di negerinya.

Sementara itu, Jokowi justru menaruh curiga kepada pihak yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Sebab, menurut Jokowi, usulan ini bakal merugikan dirinya.

“Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode itu, ada tiga (motif) menurut saya. Satu ingin menampar muka saya, yang kedua ingin cari muka padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi.

Putin memrakarsai amandemen konstitusi, yang memungkinkan untuk dipilih lagi—dua kali masa jabatan—setelah dua kali masa jabatan. Hal yang hampir mirip dulu dilakukan juga oleh penguasa Venezuela, Hugo Chavez. Mereka orang-orang kuat yang tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Beda dengan Putin yang mengamandemen konstitusi, Jokowi mengatakan, “Saya sama sekali tidak memiliki niat, juga tidak berminat, untuk menjadi presiden tiga periode. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur masa jabatan presiden paling lama dua periode. Mari kita patuhi bersama. Karena itu, pemerintahan ini juga berjalan tegak lurus dengan konstitusi,” tulis Jokowi di akun Facebook resminya, Selasa (16/3/2021).

Menurut Edwin Bacon (2017), semakin lama seorang pemimpin mempertahankan kekuasaan, semakin menyatu dengan sistem. ‘Leaderism’ memiliki resonansi khusus dalam politik Rusia. Selama era Soviet, leadersim adalah istilah yang peyoratif secara ideologis; untuk menggambarkan pemimpin tunggal yang dominan.

Rezim Putin bukanlah diktator totaliter Stalinis, tetapi bersifat ‘leaderist‘, karena rejim tersebut telah merebut negara dan tampaknya memperlakukannya sebagai milik pribadi.

Yang terjadi di Filipina justru sebaliknya. Karena pengalaman penyalah-gunaan kekuasaan oleh Ferdinand Marcos—menjadi diktator dan menumbuh-suburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka masa jabatan presiden dibatasi. Menurut Konstitusi 1987, masa jabatan presiden dibatasi sekali periode untuk masa enam tahun. Tidak bisa dipilih kembali.

Selama ini dikenal ada empat konsep yang berkaitan dengan pembatasan masa jabatan eksekutif. Yang pertama adalah tidak ada masa jabatan kedua (no re-election). Ini seperti Filipina. Kedua, tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election). Ketiga, maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election), seperti Indonesia juga AS. Keempat, tidak ada pembatasan masa jabatan (no limitation re-election).

III

Nah, yang terjadi di Rusia ada yang menyebut sebagai “kudeta konstitusional”. Hal ini mengingatkan akan apa yang terjadi di negeri kita di zaman Orde Baru. Setiap tahun ketika masa jabatan presiden akan berakhir, maka segera akan muncul di mana-mana dan dari berbagai kelompok, organisasi, bahkan partai pernyataan  kebulatan tekad untuk mendukung kembali Soeharto. Walhasil, Soeharto berkuasa hingga 32 tahun!

Bukankah kita tidak ingin memutar balik jarum jam? Hanya orang-orang yang “kurang kerjaan” saja atau mencari cara untuk mendiskreditkan pemerintah (presiden) dengan memainkan isu, menggoreng isu perubahan masa jabatan presiden. Mereka itu dijangkiti penyakit “kecemburuan politik” karena beragam kegagalan atau ambisi politiknya tidak pernah kesampaian.

“Kecemburuan politik,” memang bisa terwujud dalam beragam bentuk: menyebarkan hoaks, ujaran-ujaran kebencian, melemparkan narasi asal kontra terhadap kebijakan pemerintah, melemparkan berbagai isu sekadar untuk membuat kegaduhan, dan sebagainya. Mereka yang dijangkiti penyakit “kecemburuan politik”, melepaskan unsur keutamaan dari politik.

Keutamaan selalu membimbing kepada satu sasaran akhir yaitu pilihan tepat. Pilihan tepat bagi politik adalah berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Itulah sebabnya filsuf Al Farabi (870-950), menyatakan politik harus mengarahkan manusia kepada hidup yang penuh keutamaan, hidup yang tidak diganggu oleh kemunafikan ketidakjujuran.

Ketidakmampuan membuat pilihan secara tepat terjadi karena tiadanya keutamaan. Maka itu, seseorang disebut politisi, misalnya, apabila ia (mereka) mempunyai profesi yang mengenai masyarakat sebagai keseluruhan (Franz Magnis-Suseno; 2016). Kepentingan masyarakat, kesejahteraan masyarakat, menjadi kepentingan utama. Bukan kepentingan diri.

Kalau ia (mereka) memikirkan dirinya sendiri, barangkali  inilah yang oleh Gus  Dur disebut sebagai “gelandangan politik.” Mereka selalu mengutamakan kepentingan sendiri meski dikatakan sebagai atas nama rakyat.

Dengan demikian, cemburu tidak hanya ada di dunia percintaan. Dalam dunia politik pun, ada kecemburuan. Bahkan, cenderung cemburu yang membabi-buta. (*)

Sumber: rmol