OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 28 Maret 2021

Memahami Polisi Siber Bersama Gibran dan Wanggai

Memahami Polisi Siber Bersama Gibran dan Wanggai



10Berita – Usia polisi siber memang baru seumur jagung. Namun, gebrakan unit yang dibentuk untuk mencegah indak pidana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah cukup membuat jantung netizen berdegup kencang tak karuan.

Netizen Indonesia yang baru saja dinobatkan sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara harus berpikir ulang sebelum memamerkan ketidaksopanannya di media sosial.

Sebut saja AM, ia harus berurusan dengan Polres Surakarta setelah berkomentar di medsos tentang Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Ia menulis menggunakan akun @arkham_87 di Instagram @garudarevolution: “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja.”

Siapapun pasti merinding, karena AM tidak berkomentar langsung di akun Gibran. Siapapun pasti berpikir “waduh, telitinya sampe segitu ya”, bahkan admin @garudarevolution sendiri mungkin tidak tahu jika ada komen AM di postingan mereka. Dan siapapun menjadi berpikir bahwa apapun yang kita tuliskan di media sosial pasti dipantau dan diketahui polisi siber.

Dan yang lebih bikin merinding, ternyata Gibran sendiri mengaku tidak melaporkan AM.

Jadi, sampai sini bisa kita simpulkan bahwa polisi virtual (mungkin) tahu dan memantau semua tingkah polah kita di dunia virtual. Dan mereka bisa saja menangkap kita apabila dinilai melanggar UU ITE tanpa harus menunggu laporan korban.

Meski beberapa pengamat menilai hal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berpendapat. Namun, rasanya pola tersebut akan efektif untuk membuat netizen negeri ini lebih sopan.

Saya bayangkan betapa indahnya kehidupan bermedia sosial kita, ketika orang-orang julid harus berpikir matang-matang sebelum memaki kita di kolom komentar. Dan kalaupun akhirnya ada yang keceplosan memaki, kita tak perlu “susah-susah” melapor karena polisi siber akan segera menciduk tanpa menunggu laporan.

Namun bayangan saya menjadi buyar seusai menonton pertandingan Piala Menpora 2021 antara PSM Makassar melawan Persija Jakarta. Adalah Patrich Wanggai, penyerang PSM kelahiran Papua mendapat komentar bernada rasis usai pertandingan tersebut.

Ada komentar yang menyebut salah satu hewan untuk menggambarkan sosok Wanggai. Ironisnya, komentar tersebut ditulis langsung di instagram Wanggai. Dan hingga kini penulis komentar belum diciduk. Padahal orang tak lulus SD pun bisa menemukan komentar rasis tersebut, tapi polisi siber seolah diam atau mungkin sedang menunggu laporan korban.

Siapapun, seharusnya boleh menilai jika ada kekurangan dari polisi siber dalam menyikapi dua peristiwa di atas.

Siapapun seharusnya boleh berasumsi bahwa UU ITE terkesan melindungi pejabat dari kritik. Bukankah UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara. Dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya, karena itu termasuk mekanisme checks and balances dalam demokrasi.

Komentar AM jelas tidak menghina fisik Gibran, ia mungkin hanya bermaksud mengkritik Gibran yang “ujug-ujug” terjun ke dunia politik setelah sebelumnya selalu mengaku pada media tidak tertarik untuk berpolitik praktis, dan lebih memilih untuk menjadi pengusaha.

Di sisi lain, bukankah Gibran sudan membranding dirinya sebagai penjual matabak di depan publik. Publik nyaris tak pernah tahu Gibran punya ketertarikan pada sepakbola.

Jadi, komentar AM sebenarnya boleh saja dinilai tidak terlalu subtansial ketimbang komentar rasis terhadap Wanggai. Tidak lebih subtansial ketimbang sms pinjaman online dan spam investasi bodong. Tidak lebih subtansial ketimbang penjualan miras online.

Dan pada akhirnya, kita hanya bisa berharap, agar polisi siber lebih fokus pada hal-hal yang lebih subtansial, yang jelas-jelas merugikan wong cilik di dunia virtual. Agar konsep equality before the law, semua sama di mata hukum, bukan sekedar jargon semata.

Penulis: Azzam Diponegoro

Sumber:  Kiblat.


Related Posts: