XINJIANG – Deklarasi internasional bahwa Cina telah melakukan genosida kepada etnis minoritas Muslim di Xinjiang, tampaknya hanya berdampak kecil terhadap 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang pekan lalu mengundang Cina dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) sesi ke-48.
Diundang oleh tuan rumah Pakistan sebagai tamu kehormatan, Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi tidak hanya menggunakan kesempatan tersebut untuk mendorong narasi bahwa minoritas Muslim di Cina diperlakukan dengan baik, tetapi juga mengatakan, “Tiongkok dan dunia Islam sama-sama memiliki sejarah yang mendalam, mempunyai nilai-nilai luhur yang sama, dan saling berbagi peran bersejarah.”
Campaign for Uyghurs, sebuah kelompok HAM yang berbasis di Washington, mengutuk keras kehadiran Wang di KTT serta berdiamdirinya OKI atas perlakuan rezim komunis Cina terhadap etnis Uyghur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.
“Sungguh menyayat hati melihat Pakistan mengundang Wang Yi sebagai ‘tamu kehormatan’, di saat Muslim Uyghur bahkan tidak memiliki hak untuk menunjukkan dirinya sebagai Muslim maupun menjalankan praktik Islam,” kata Campaign for Uyghurs melalui situsnya (23/3/2022).
KTT OKI ke-48 itu membahas penderitaan Muslim Rohingya serta Muslim di Afghanistan, Palestina, Jammu dan Kashmir, tetapi sebagian besar mengabaikan genosida Uyghur di Cina, sebut Campaign for Uyghurs.
Hanya Menteri Luar Negeri Turkiye, Mevlut Cavusoglu yang mengangkatnya.
“Di Cina, Uyghur dan Muslim lainnya mengalami kesulitan untuk melindungi hak beragama dan juga identitas budaya mereka,” kata Cavusoglu pada pertemuan OKI. “Apakah benar mengabaikan situasi Uyghur?”
Politisi Turkiye umumnya merupakan pembela hak-hak etnis Uyghur yang paling vokal di antara politisi dari negara Muslim lain, karena ikatan etnis dan budaya mereka yang serumpun di Asia Tengah, jelas Robert Bianchi, profesor Hukum Internasional di Universitas Chicago.
Menurut Abdulhakim Idris, Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies yang berbasis di Washington, banyak negara mayoritas Muslim menerima miliaran dolar dari Cina atas nama investasi keuangan.
“Dengan menerima miliaran dolar dari Cina, negara-negara ini tidak hanya dipaksa untuk tetap bungkam atas kekejaman genosida terhadap Muslim Uyghur di Turkistan Timur, tetapi juga diperintah Beijing untuk melakukan apa pun yang diinginkan Republik Rakyat Cina,” kata Idris.
Sejak Xinjiang menjadi bagian dari Tiongkok pada tahun 1949, agresi budaya, perubahan paksa demografis, dan eksploitasi sumber daya alam menjadi tujuan utama Cina.
Pada tahun 2014, Presiden Xi Jinping meluncurkan kampanye ‘serangan keras’ tanpa “rasa ragu-ragu atau bimbang” terhadap etnis minoritas Uyghur.
Chen Quanguo, seorang politisi mantan tentara, yang dikenal karena kebijakan anti-minoritasnya di Tibet, dikirim ke Xinjiang pada tahun 2016.
Dengan cepat Chen meluncurkan strategi pengamanan total dalam kurun satu tahun dan menjadikan Xinjiang sebagai wilayah yang paling termiliterisasi di dunia.
Rezim komunis Cina menghabiskan 700 juta dolar AS sejak 2017 untuk membangun 1.200 kamp konsentrasi di Xinjiang. Lebih dari 1 juta Muslim Uyghur dikirim ke pusat-pusat penahanan tersebut karena “pelanggaran” seperti: “mengenakan kerudung”, “menumbuhkan jenggot panjang”, maupun melanggar kebijakan keluarga berencana yang dicanangkan pemerintah.
Beijing juga mengambil profil DNA, sampel darah, sidik jari, dan sampel suara milik warga Uyghur, serta meningkatkan sistem pengawasan di Xinjiang dengan peralatan canggih.
Selanjutnya, Cina menghancurkan masjid dan melarang pelaksanaan ibadah shalat. Warga Uyghur yang ketahuan akan didenda dan bahkan ditahan karena melakukan kewajiban agama yang penting ini.
Kamp-kamp penahanan juga menjadi tempat pengambilan organ secara ilegal, pemerkosaan massal, dan kerja paksa selama pandemi. Selain disiksa, para Muslimah Uyghur dipaksa menjalani sterilisasi, aborsi, dan pemasangan alat kontrasepsi.
Beberapa negara Barat telah menyatakan kebijakan represif ini sebagai “genosida”. Mereka juga memberlakukan sanksi kepada para pejabat rezim komunis Cina, melarang impor dari Xinjiang, dan secara diplomatis memboikot Olimpiade Musim Dingin Beijing.
Akan tetapi, semua negara OKI termasuk Pakistan, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi, Oman, Bahrain, Mesir, dan Kuwait justru memuji upaya Beijing dalam melindungi hak asasi manusia dan mempromosikan pembangunan di forum global.
Pakistan bahkan berkali-kali membungkam organisasi dan warganya yang mencoba menyoroti penderitaan Muslim Uyghur.
Pada bulan Desember 2019, Shahid Afridi, mantan pemain kriket terkenal menulis cuitan mengenai kekejaman yang dilakukan Cina terhadap Muslim Uyghur dan menyarankan Imran Khan untuk berbicara tegas menentangnya. Akan tetapi, dia terpaksa menghapus cuitan tersebut akibat tekanan otoritas Pakistan.
Negara-negara OKI lainnya juga tidak hanya mendukung kebijakan anti-Muslim Tiongkok, tetapi juga menjadi mitra mereka dalam kejahatan.
Pakistan, Iran, UEA, Arab Saudi, Malaysia, Turkiye, Qatar, Mesir, dan bahkan Afghanistan telah menahan atau mengekstradisi Muslim Uyghur ke Cina.
Sejak 2017, tercatat lebih dari 682 Muhajirin Uyghur telah ditahan oleh negara-negara Muslim ini dan dikirim kembali ke Cina. (Campaign For Uyghurs | Voa News | Observer Research Foundation)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.