OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 19 Maret 2022

Vonis Paling Sesat dari Rezim Paling Nekad

Vonis Paling Sesat dari Rezim Paling Nekad



Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

VONIS yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dua terdakwa anggota Polri aktif Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella cukup mengejutkan. Ini adalah kejutan kedua setelah JPU awal menuntut keduanya masing-masing hanya 6 (enam) tahun penjara untuk sebuah  kejahatan yang dikualifikasi extra judicial killing bahkan crime against humanity.

Apa boleh buat, sebagaimana dugaan bahwa peradilan ini hanya main-main dan penuh rekayasa ternyata terbukti. Hakim tak perlu berfikir keras dan serius untuk mempertimbangkan putusan yang adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan urusan nanti. Dari sisi manapun tidak masuk akal bahwa kedua terdakwa dapat bebas begitu saja. Inilah pertunjukan peradilan yang paling sesat di bawah rezim yang paling nekad.

Membunuh enam manusia secara keji dianggap sama  dengan membunuh kecoa. Kecoa yang dianggap mengganggu manusia. Nyawa dinilai tidak berharga.

Para pembunuh itu dibaca  publik masih ada yang disembunyikan. Yang sudah kadung dikorbankan dilepas melalui operasi rahasia (clandestine operation) dan sejarah kini mencatat bahwa Pengadilan telah menjadi sarana dari sebuah operasi. Operasi politik.

Pembunuhan 6 (enam) anggota laskar FPI yang diawali pengawasan, lalu pembuntutan, penembakan, penganiayaan dan pembantaian bukan peristiwa kriminal biasa. Ketika target adalah tokoh HRS yang memiliki pengaruh politik, maka pembunuhan terhadap “tim” nya pun menjadi bagian dari pembunuhan politik tersebut. HRS dan pengawalnya dianggap sebagai lawan politik Presiden dan rezimnya.

Dalil Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai M Arif Nuryanta untuk vonis lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) rasanya hanya menyesuaikan dengan disain proses penyidikan Kepolisian. Membunuh tapi dimaafkan karena “diserang” oleh korban. Inilah skenario “operasi penyelamatan” itu. Luar biasa, polisi profesional bersenjata berhadapan dengan tawanan tak berdaya bisa sampai pada “terancam jiwa”.

 Sumber: eramuslim