OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 09 Januari 2023

Benarkah Jokowi Bisa Dimakzulkan Gara-Gara Perppu Cipta Kerja?

Benarkah Jokowi Bisa Dimakzulkan Gara-Gara Perppu Cipta Kerja?



 

10Berita - Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jimly Asshiddiqie baru-baru ini mengungkapkan adanya potensi pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). 
 
Dasarnya adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
 
Menurut Jimly, Jokowi salah dalam menerbitkan Perppu, ketika MK memerintahan untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 
 
Apalagi, peran DPR sebagai pembentuk undang-undang dikesampingkan dalam proses penerbitan Perppu.
 
"Perppu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel," ujar Jimly lewat keterangannya, Kamis (5/1/2023).
 
Jika memang pemerintah serius, menurut Jimly, pemerintah masih memiliki waktu tujuh bulan untuk memperbaiki substansi bermasalah dalam UU Cipta Kerja. 
 
Sekaligus, membuka ruang partisipasi publik yang berarti dan substansial sesuai amar putusan MK.
 
Menurut Jimly, terbitnya Perppu Cipta Kerja justru menujukkan rule of law yang kasar dan sombong. 
 
Jika berkaca pada pernyataan sikap delapan fraksi di DPR terkait sistem proporsional tertutup, bukan tidak mungkin terbuka peluang untuk memakzulkan Jokowi.
 
"Kalau sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup, bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan)," ujar Jimly.
 
Jika mayoritas anggota DPR siap dengan pemakzulan melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja, tidak sulit untuk berkonsolidasi dengan anggota DPD. Terutama dalam rapat di MPR untuk menyetujui langkah tersebut.
 
"Semua ini akan menjadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya," ujar Jimly.
 
Senada dengan Jimly, mantan Wamenkumham, Denny Indrayana pun mengungkapkan peluang terjadinya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. 
 
Denny menyinggung perilaku pemerintah tidak menghormati putusan MK soal UU Cipta Kerja sama dengan melanggar UUD 1945.
 
"Tidak hormat terhadap putusan MK itu melanggar Undang-Undang Dasar karena MK adalah constitutional organ. Pada saat anda melanggar Undang-Undang Dasar, anda melanggar sumpah jabatan (Pasal 9) karena dalam sumpah jabatan mengatakan menghormati dan melaksanakan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang dengan selurus-lurusnya," kata Denny, Jumat (6/1/2023). 
 
Denny memandang Presiden Jokowi justru masuk dalam 'jebakan' pemakzulan karena menerbitkan Perppu Cipta Kerja. 
 
Sebab, penerbitan aturan tersebut cenderung bisa mengarahkan Presiden Jokowi kepada unsur pengkhianatan Negara. 
 
"Pada saat tidak laksanakan Undang-Undang Dasar atau sumpah jabatan anda masuk dalam konstruksi pengkhianatan terhadap Negara. Kok bisa? Salah satu impeachment (pemakzulan) artikel adalah pengkhianatan negara," ujar Denny. 
 
Walau demikian, jalur pemakzulan Presiden Jokowi tetap berada di tangan DPR RI. 
 
Sehingga, kekuatan koalisi pendukung Presiden Jokowi bakal sangat menentukan nasib ke depannya. 
 
"Apakah itu (pemakzulan) bisa terjadi? Tentu di DPR koalisi pemerintahnya masih kuat," ucap Denny.
 
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan,  sudah menanggapi pernyataan mantan ketua, MK Jimly Asshiddiqie yang menyebut bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja bisa membuka celah dilakukannya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. 
 
Menurut dia, proses pemakzulan tak bisa dilakukan dengan mudah karena harus melalui beberapa tahapan yang diatur di dalam UUD 1945.
 
“Kita menghormati pendapat Pak Jimly yang merupakan pendapat personal. Sebagai professor yang amat terpelajar, kita amat menghormati. Namun proses pemakzulan itu ada tahapannya, tidak semudah itu. Tentu diatur dalam UUD 1945,” kata Irfan saat dihubungi, Jumat (6/1/2022).
 
Irfan pun tak mempersoalkan adanya potensi pemakzulan terhadap Presiden pasca diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. 
 
Namun, ia meminta agar masyarakat menunggu pembahasan di DPR.
 
“Silakan nanti apakah wacana yang digelindingkan Prof Jimly itu memenuhi syarat bertentangan UUD 1945. Itu kita uji dalam DPR… Apakah cukup unsur Prof Jimly mengatakan itu karena diatur dalam UUD 45 Pasal 7A dan 7B,” ujarnya.
 
Perppu Cipta Kerja diterbitkan Presiden Jokowi dengan alasan kegentingan untuk mengantisipasi kondisi global, ancaman resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, hingga dampak dari perang Ukraina dan Rusia. 
 
Irfan mengatakan, alasan kegentingan ini nantinya akan diuji oleh DPR sebelum memberikan persetujuan atau penolakan pengesahan Perppu Cipta Kerja.
 
Kendati demikian, menurut dia, alasan kegentingan dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini sudah memenuhi unsur.
 
“Kegentingan ini nanti diuji di DPR. Frasa itu diuji di DPR disampaikan (pemerintah) di DPR dengan argumentasi dan penjelasannya. Nantinya DPR akan melihat urgensinya itu. Itu kita lihat, tinggal di DPR-lah kita menunggu,” ujar dia.
 
Irfan mengatakan, Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan juga hak untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja selama sesuai dengan regulasi yang ada.
 
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, tidak ada alasan bagi DPR memakzulkan Jokowi, karena memang ada aturan yang menyebut bahwa presiden boleh menerbitkan perppu. 
 
Apalagi terdapat yurisprudensi dalam menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
 
"Nah sehingga saya pikir tidak ada alasan untuk memakzulkan presiden dengan perppu atau presiden mengeluarkan perppu. Kalau ada yang sebelum-sebelumnya juga nanti kan pasti ada alasan (menerbitkan perppu)," ujar Dasco, Kamis (5/1/2023).
 
DPR sendiri, jelas Dasco, akan membahas Perppu Cipta Kerja usai pembukaan masa sidang pada 10 Januari mendatang.
 
Kendati demikian, ia mengungkapkan bahwa batasan waktu pembahasannya belum ditentukan.
 
"Itu kan ada mekanismenya. Nanti kita akan bahas dengan komisi terkait, serta tentunya kita akan lakukan sesuai mekanisme yang ada di DPR," ujar Dasco.
 
Sumber: Republika