Adu Cepat Korupsi dan Kemiskinan di Era Jokowi
10Berita - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut pemerintahan Jokowi gagal total (gatot) dalam 2 hal krusial.
Antara korupsi dan kemiskinan saling berkejaran, pemerintah pun tak mampu menghentikannya.
“Indonesia berduka, pemerintah gagal membuat rakyat sejahtera, pemerintah gagal memberantas korupsi, pemerintah gagal memberantas kemiskinan. Indonesia menangis, melihat rakyat miskin semakin miskin, melihat rakyat miskin semakin bertambah banyak,” paparnya, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Indonesia menangis, kata dia, melihat oligarki semakin merajalela, semakin kaya dan makmur, menghisap darah rakyat bagaikan lintah.
Indonesia menangis, melihat koruptor semakin ganas dan tidak terkendali, merampas hak rakyat miskin, memiskinkan rakyat miskin.
“Indeks persepsi korupsi turun tajam, dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Luar biasa. Penurunan skor yang sangat tajam mencerminkan pejabat Indonesia semakin korup, semakin tidak manusiawi, semakin ganas merampok uang rakyat, bersama oligarki.
Peringkat Indonesia sebagai negara terkorup di dunia naik dari posisi 85 (2019) menjadi posisi 110 (2022), dari 180 negara: Semakin tinggi peringkat, semakin korup,” bebernya.
Memburuknya tingkat korupsi Indonesia ini, kata dia, sudah bisa diperkirakan sebelumnya.
Berawal dari kesepakatan pemerintah dan DPR untuk melemahkan KPK, memangkas independensi KPK, mematisurikan KPK, dengan revisi UU KPK pada akhir 2019.
Tidak heran korupsi kemudian merajalela dan menjadi tidak terkendali.
Pandemi Covid-19 yang mulai terdeteksi pada awal Maret 2020 dijadikan kesempatan dalam kesempitan.
Memanfaatkan pandemi, pemerintah menerbitkan Perppu “Corona” dan UU yang terindikasi melanggar konstitusi.
“Pandemi dijadikan alasan untuk “cetak uang”, atas nama Pengendalian Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), dan mendongkrak defisit anggaran yang melonjak tajam, mencapai Rp2.200 triliun selama 2020-2022,” ungkap Anthony.
Pada praktiknya, kata Anthony, pemulihan ekonomi nasional menjadi pemulihan dan peningkatan ekonomi oligarki dan pejabat koruptor.
Paket bantuan sosial merupakan sasaran empuk korupsi. Dana pengendalian Covid menjadi bancakan.
Harga test PCR bagaikan harga rentenir lintah darat. Koruptor berpesta pora.
Di lain sisi, kehidupan rakyat semakin sulit, terhimpit kenaikan harga yang melambung tinggi, harga pangan, harga BBM, tarif listrik, biaya transportasi, semua naik, bahkan pajak juga naik. Semua ini membuat rakyat semakin miskin.
“Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin bertambah 200 ribu orang dalam enam bulan, terhitung Maret-September 2022. Persentase penduduk miskin juga naik, dari 9,54 persen menjadi 9,57 persen sepanjang periode tersebut,” kata Anthony.
Selama periode 2019-2022, periode korupsi tidak terkendali, dengan indeks turun 6 poin menjadi 34, jumlah rakyat miskin bertambah 1,57 juta orang, dari 24,79 juta orang pada September 2019 menjadi 26,36 juta orang pada September 2022.
Dalam persentase, naik dari 9,22 persen pada 2019 menjadi 9,57 persen pada 2022.
“Artinya, pemerintah gagal total mengatasi korupsi dan kemiskinan,” pungkasnya.
Sumber: Inilah
google.com, pub-5514069206193627, DIRECT, f08c47fec0942fa0