10Berita, Berikut ini Direktur Bina Haji Reguler, Kementerian Agama (Kemenag) Dr H.Arsad Hidayat Lc mengulas terkait moderasi manasik haji. Menurutnya dalam beragama sikap moderat adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap dan perilaku di tengah-tengah antara pilihan ekstrem, fanatik buta dan memberatkan diri atau sikap lalai, menganggap remeh atau mencari kemudahan dengan tanpa dasar yang bisa dipertanggung jawabkan.
Ada beberapa dalil quran dan hadist yang mendasari moderasi manasik tersebut yakni Surat Al Baqarah ayat 143, Surat Al Furqan ayat 67, Surat Al Maidah ayat 77, dalil hadist, yakni hadist ke 39 Riwayat Bukhari tentang larangan Tasyaddud.
“Berlakunya hukum ‘Adzimah dan Rukhshah dalam kondisi normal, diberlakukan hukum ‘adzimah. Sementara dalam keadaan darurat diberlakukan hukum Rukhshah sebab itu fatwa hukum salah satunya harus didasarkan pada perubahan situasi dan kondisi. Bahkan fatwa bisa berubah karena perbedaan kondisi mustafti yang meminta fatwa.
Direktur Bina Haji Reguler tersebut juga menjelaskan tentang mengapa moderasi dalan manasik haji diperlukan, yaitu satu, Haji adalah ibadah yang dibatasi waktu dan tempatnya sehingga paling beresiko mudharat disebabkan adanya perjalanan dimana perjalanan sendiri menjadi sebab Rukhshah dan berkumpulnya orang diwaktu yang sama.
Dua, terjadinya kepadatan yang dapat menyebabkan korban (sebagaimana pernah terjadi dan kondisi menyebabkan hilangnya tujuan ibadah. Tiga, keragaman kondisi jamaah, banyak jemaah usia lanjut sakit, risti. Ke depan dengan semakin panjangnya daftar tunggu akan menyebabkan usia jemaah haji semakin tua.
Disebutkannya, prinsip Manhaj Washathiyah dalam fikih haji adalah berlakunya hukim ‘azimah dan rukhshah, berpindah dari pendapat yang berat kepada yang lebih ringan, mempertimbangkan konteks, beralih dari satu Mazhab kepada Mazhab lain, kehati hatian dalam menetapkan hukum.
“Dalam menyikapi persoalan-persoalan baru, para pembimbing hendaknya berhati-hati dan memberikan jawaban hukum. Jangan sampai memberikan keputusan hukum yang
asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, contohnya kasus Mabit di Mina,” ujarnya.
“Ada beberapa beberapa pendapat ulama terkait kasus hukum Mabit di Mina,” lanjutnya.
Dijelaskannya, pertama Hukumnya Wajib, menurut jumhur ulama (madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Jemaah haji yang tidak Mabit selama satu malam wajib membayar satu mud. Jemaah yang tidak mabit dua malam wajib membayar dua mud. Sedangkan jemaah yang tidak mabit di Mina selama tiga malam wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing.
Dua, Sunah, menurut madzhab Abu Hanifah, salah satu riwayat Ahmad dan Syafi’i. Dalam kondisi tempat yang terbatas, jika jemaah haji tidak bisa mabit di Mina, maka hajinya sah sejalan dengan pendapat ulama
fuqaha mazhab Hanafi dan salah satu riwayat Imam Ahmad dan Syafi’i yang menyatakan bahwa mabit di Mina hukumnya sunah.
Terakhir ia menjelaskan terkait lama waktu mabit di Mina, yaitu pertama, Mabit di Mina dinyatakan sah bila jemaah haji berada di Mina lebih dari separuh malam. Waktu
mabit di Mina adalah sepanjang malam hari, dimulai dari waktu Maghrib (terbenam matahari) sampai dengan terbit fajar. Akan tetapi, kadar lamanya mabit wajib mendapatkan sebagian besar waktu malam.
Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) yakni mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Dua, sebagian ulama’ berpendapat bahwa mabit di Mina sah bila jemaah sempat hadir di Mina sebelum terbit fajar yang kedua (fajar shadiq). Ini adalah salah satu pendapat mazhab Syafi’i.
Terakhir, kadar waktu mabit tidak diukur dengan lama atau sebentar berada di Mina, sebagaimana dikemukakan an-Nawawi
yang artinya : “Kadar lamanya (waktu) wajib mabit di Mina.
“Ada dua pendapat menurut Imam Syafi’i, pertama, pendapat yang afsah (paling shahih) diantara kedua pendapat adalah wajib mu’dhomullail (di Mina harus lebih dari separuh malam), dan pendapat yang kedua menyatakan cukup sesaat,” urainya.
“Jadi berdasar hal tersebut diatas perlu kita lakukan moderasi manasik dalam rangka memilih jalan tengah diantara berbagai pilihan ekstrem dalam berhaji, dan disini dituntut kehati hatian, ketelitian, kecermatan dan kebijaksanaan para pembimbing haji dalam menghadapi persoalan persoalan haji,” pungkasnya.
Sumber: Panjimas