10Berita–Tahun lalu di Urumqi, ibu kota Xinjiang, terjadi tragedi kebakaran apartemen yang menewaskan puluhan orang Uyghur. Peristiwa mengerikan itu terjadi akibat ketatnya kebijakan lockdown Covid-19 yang membuat warga tidak bisa bergerak sama sekali.
Terjadilah gelombang protes atas kebijakan lockdown super ketat itu. Namun, para keluarga korban enggan menceritakan kisahnya, sebab keselamatan mereka terancam.
Itulah yang terus dialami oleh warga Uyghur, kelompok etnis mayoritas Muslim di Turkistan Timur (Xinjiang). Mereka telah sekian lama dianiaya oleh rezim komunis dan diancam penjara jika terlalu banyak bicara.
Rezim komunis Cina juga terus membungkam suara Uyghur secara diplomatik di berbagai negara, misalnya di Eropa. Para pejabat Cina terus berupaya agar dunia melupakan pelanggaran HAM berat di Turkistan Timur. Cina berusaha meyakinkan dunia bahwa Xinjiang sama seperti wilayah lain di negara itu.
Rezim Cina terus membungkam Muhajirin Uyghur di berbagai tempat. Mereka yang tinggal di luar negeri kerap diancam akan dideportasi kembali ke Cina jika banyak bicara.
Cara lainnya adalah mengontrol kontak antarkerabat Uyghur. Seperti dialami Kewser Wayit, seorang Uyghur di Boston (Amerika Serikat), yang mengaku tidak dapat menghubungi keluarganya di Turkistan Timur setelah dia mulai berbicara tentang penahanan ayahnya pada tahun 2019.
Tahun lalu, seorang polisi Cina setuju untuk menghubungkan dia dengan orang tuanya. Syaratnya, Wayit berhenti membahas masalah ini secara terbuka.
Namun, Wayit tidak bisa tinggal diam. Apalagi setelah adik perempuannya ditahan di Cina karena memposting foto-foto protes yang dipicu oleh kebakaran di Urumqi.
Menurut Human Rights Watch, orang-orang Uyghur di Cina terus berisiko dipenjara, meski tidak di kamp konsentrasi. Jumlah narapidana dalam sistem penjara formal terus bertambah. Antara 2017 dan 2021, lebih dari 500.000 orang diadili. Sebagai gambaran perbandingan, jumlah populasi di Xinjiang 26 juta jiwa, dan sekitar 11 juta adalah orang Uyghur.
Banyak warga Uyghur yang dihukum tanpa diadili. Rata-rata mereka mendapatkan hukuman dalam waktu yang panjang.
Diplomasi di Eropa
Pada tahun 2018, Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Chen Quanguo, meluncurkan program yang disebutnya sebagai stabilisasi, konsolidasi, dan normalisasi. Penggantinya, Ma Xingrui, tampak fokus pada “normalisasi”.
Pada tahun 2023 ini, otoritas Xinjiang berusaha menarik 200 juta wisatawan. Pemerintah kemudian mengerahkan pemengaruh berdarah Uyghur untuk mempromosikan hal tersebut. Pada bulan Januari lalu, delegasi pemimpin agama dari 14 negara berpenduduk Muslim juga diajak berkunjung ke Xinjiang. Delegasi tersebut kemudian “memuji” pencapaian besar program “kontra-terorisme” dan “deradikalisasi”, demikian menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Cina.
Sementara itu, pada tahun 2021 Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap beberapa pejabat Cina atas kekejamannya terhadap Uyghur. Cina kemudian menyerang balik dengan memberikan sanksi pada banyak politisi, diplomat, dan cendekiawan Eropa.
Parlemen Eropa kemudian menolak untuk meratifikasi perjanjian investasi bilateral yang telah dicapai antara Cina dan Uni Eropa pada tahun 2020. Namun, kini Fu Cong, duta besar Cina untuk Uni Eropa, ingin “membiarkan yang lalu biarlah berlalu”. Dia menyerukan kebangkitan kembali perjanjian investasi dan pencabutan sanksi secara bersamaan.
“Kami tidak ingin kembali ke sejarah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam menjatuhkan sanksi, karena itu akan menjadi perdebatan yang sia-sia. Kita perlu melihat ke depan,” kata Fu pada awal tahun ini.
Cina lumayan membuat kemajuan pada bulan Februari. Diumumkan bahwa Erkin Tuniyaz, gubernur Xinjiang, akan bertemu dengan para pejabat di London dan Brussel. Namun, agenda itu dibatalkan setelah para aktivis dan politisi menyebut bahwa Tuniyaz akan ditahan setibanya di London.
Pada waktu yang sama, dialog yang telah lama tertunda tentang hak asasi manusia antara Cina dan Uni Eropa dilanjutkan. Pejabat Eropa mengatakan pertemuan ini memberi mereka kesempatan untuk berhadapan langsung dengan Cina. Sementara para aktivis menyebut bahwa dialog itu sebenarnya hanya untuk memperkuat hubungan bisnis.
Benar juga. Ekspor dari Xinjiang ke Uni Eropa meningkat sepertiga pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Total ekspor Xinjiang hampir dua kali lipat dalam dua tahun terakhir, dengan sebagian besar dikirim ke negara tetangga Kazakhstan dan Kyrgyzstan. Itu terjadi bahkan ketika perdagangan dengan Amerika Serikat telah jatuh karena Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur, yang melarang impor dari Xinjiang kecuali ada bukti jelas bahwa itu diproduksi tanpa kerja paksa. (Human Rights Watch | The Economist)
Sumber: Sahabat Al-Aqsha.