OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 16 Agustus 2023

Rezim Cina Terus Gencarkan Represi Transnasional, Muhajirin Uyghur Kian Terancam

Rezim Cina Terus Gencarkan Represi Transnasional, Muhajirin Uyghur Kian Terancam 



Istri Idris Hasan, Zeynure Obul, yang tinggal di Istanbul bersama ketiga anaknya, terus menunggu pembebasannya. Foto: Yusuf Sayman/NBC News 

10Berita, TURKIYE – Seorang aktivis hak asasi Muslim Uyghur yang mencoba menyelamatkan diri dari penindasan di tanah airnya mengatakan, tangan-tangan panjang rezim komunis Cina mengikutinya hingga ke Turkiye kemudian ke Maroko, di mana hari ini dia ditahan. 

Idris Hasan mengenang bagaimana dia dulu berpura-pura menjadi keledai, lalu membawa anak-anak di atas punggungnya. Namun, sejak penahanannya dua tahun lalu, desainer web ini hanya bisa mencium mereka melalui layar ponsel, dengan seorang penjaga selalu di sisinya. 

“Saya punya foto keluarga saya, tetapi saya tidak bisa melihatnya,” kata Hasan, 35 tahun. “Jika saya melihat gambar ini, saya menjadi sangat sedih dan menangis. Jadi, saya simpan foto ini di bawah selimut dan tidak pernah melihatnya lagi.” 

Cina tidak menjawab pertanyaan mengapa mereka mengincar Hasan, yang juga dikenal sebagai Yidiresi Aishan, nama Cinanya. 

Keluarga Hasan dan kelompok HAM mengatakan dia hanya membantu warga Uyghur di Turkiye dengan menerjemahkan dan membuat desain grafis, serta bekerja untuk surat kabar muhajirin yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran Cina terhadap bangsanya. 

Menurut Amnesty International, Hasan berisiko tinggi untuk diekstradisi ke Cina; di mana dia akan menghadapi bahaya nyata akan penahanan dan penyiksaan sewenang-wenang. 

Dia adalah korban dari apa yang disebut sebagai represi transnasional, yakni jaringan pengawasan, intimidasi, dan penganiayaan global yang luas oleh rezim Cina, yang membentang jauh melampaui perbatasannya ke luar negeri. 

Salah satu negara itu adalah Turkiye, yang selama bertahun-tahun dipandang sebagai tempat berlindung yang aman bagi warga Uyghur guna menyelamatkan diri dari penindasan Cina. Turkiye telah menampung komunitas muhajirin Uyghur terbesar, yang berjumlah 45.000 orang. 

Namun, bagi Yalkun Uluyol, upayanya dalam mengejar kebenaran, obyektivitas, dan keadilan telah membawanya pada kesimpulan yang berbeda. 


Yalkun Uluyol yang kini tinggal di Istanbul. Foto: Yusuf Sayman/NBC News 

Uluyol mensurvei 93 muhajirin Uyghur di Turkiye, 80% di antaranya mengatakan mereka tidak dapat lagi menghubungi anggota keluarga di Turkistan Timur, setidaknya sejak 2017.  

Lebih dari sepertiga mengatakan, mereka telah dilecehkan oleh polisi Cina atau agen negara komunis itu saat berada di Turkiye. 

Sarjana ilmu sosial itu mengatakan, sekira 30 anggota keluarganya—termasuk ayahnya, yang tidak pernah dia temui sejak 2018—telah ditahan oleh rezim Cina. 

Uluyol juga menemukan taktik umum otoritas Cina untuk mengancam muhajirin Uyghur, yakni dengan menggunakan keluarga mereka di Xinjiang.  

Tujuannya adalah untuk menghentikan mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan aktivis, merekrut mereka untuk menyebarkan propaganda Cina, maupun untuk memata-matai muhajirin Uyghur lainnya. 

“Dalam salah satu cerita yang saya dapatkan, polisi berbicara dengan seorang aktivis Uyghur di sini di Istanbul dan mengatakan kepadanya, ‘Nenekmu ingin menyapa.’” 

“Dia tidak menuruti apa yang diminta polisi untuk dilakukan, jadi mereka mengatakan, ‘Apakah kamu peduli dengan keluargamu?” ujar Uluyol, menerangkan ancaman yang diterima muhajirin Uyghur menggunakan anggota keluarga yang masih berada di Turkistan Timur. 

Muhajirin lain yang diwawancarai, Jevlan Shirmemmet, 32 tahun, seorang pengacara, telah berjuang untuk menemukan ibunya, Suriye Tursun, seorang penjual buku yang ditahan sejak 2018.

Suatu hari, dia menerima telepon dari ayah, saudara laki-laki, dan pamannya di Turkistan Timur—yang dia yakini berada di bawah tekanan polisi Cina—dan menyuruh Jevlan untuk bungkam.

“Kamu harus berhenti,” ucap ayahnya ketika itu, “jawaban saya adalah: Saya tidak akan berhenti sampai ibu saya dibebaskan.” 

Hasan, muhajirin yang ditahan di Maroko, juga yakin penangkapannya ini dilakukan atas perintah Cina. 

Dia dan keluarganya tiba di Istanbul pada tahun 2012. Tetapi, dia melarikan diri lagi setelah kurang dari satu dekade ditangkap di sana sebanyak empat kali.  

Keluarganya dan kelompok HAM yakin bahwa penangkapan itu terkait dengan pekerjaannya guna mendukung dan membela hak-hak asasi bangsa Uyghur. 

Dia mencoba pergi ke Eropa, tetapi ia tidak menyadari bahwa Beijing telah mengeluarkan surat penangkapan ke Interpol atas dirinya sehingga ia ditahan dalam perjalanan di Maroko. 

Dua badan PBB telah mendesak Maroko untuk tidak mendeportasi dia kembali ke Cina, dan mengatakan bahwa dia akan menghadapi penyiksaan atau bahkan kematian. Namun, pemerintah Maroko masih tidak menanggapi pertanyaan terperinci tentang kasusnya. 

Turkiye di masa lalu dengan terbuka menyambut puluhan ribu muhajirin Uyghur, sering menutup mata ketika dokumen perjalanan mereka tidak lengkap atau dipalsukan, kata Gareth Jenkins, seorang analis veteran Turkiye yang telah tinggal di Istanbul selama 30 tahun. 

“Uyghur mulai mendapat tekanan dari otoritas Turkiye,” yang menjadi jauh lebih ketat perihal paspor, perpanjangan izin tinggal, maupun dokumentasi lainnya, jelas Jenkins. 

Salah satu contohnya adalah kasus Gayret Erlibek. Meski memiliki dokumen perjalanan resmi, dia tetap ditahan di Bandara Istanbul setelah meninggalkan Xinjiang melalui Kazakhstan pada bulan Juni, dan masih belum jelas kelanjutan keadaannya. 

“Saya berpikir saya akan dibunuh, mereka akan mendeportasi saya ke Cina,” ucapnya. 

Perubahan geopolitik ini memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi para muhajirin seperti Hasan. Perjanjian ekstradisi Maroko dengan Cina yang diratifikasi pada 2017 membuatnya sangat rentan dan bergantung pada seruan internasional untuk menunda permintaan ekstradisinya. 

“Saya sudah dua tahun di penjara ini, dan tidak ada yang mengatakan kapan saya akan keluar,” katanya.

“Jika mereka mengirim saya kembali ke Cina, itu sama saja dengan kematian,” tambah Hasan. (NBC News)


Related Posts: