10Berita, Saya sebenarnya tidak percaya dengan “teori konspirasi”, teori “malas” yang dengan mudah menuduh pihak tertentu di balik peristiwa2 dunia. Namun ternyata pengaruh kaum Zionis Yahudi bukan fiksi, memang sangat luar biasa, mereka ternyata “the great conspirators.” Kita melihat bagaimana pemimpin2 Barat bungkam atas genosida Isreal di Jaluar Gaza. Salah satunya berkat lobi American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang rutin memberikan donasi bagi politisi2 Amerika.
Kampus-kampus Amerika juga mengalami pengekangan freedom of speech untuk mengkritik Israel. Salah satu kasus terbaru yaitu Rektor Universitas Harvard Claudine Gay seorang wanita Afro-American yg baru menjabat enam bulan dipaksa mundur karena memberikan ruang bagi mahasiswa2 pro-Palestina yang demo di kampus. Salah satu lembaga Yahudi yang menjadi selama ini menjadi donatur tetap mengancam mencabut donasinya. Mahasiswa2 penerima beasiswa di berbagai kampus AS dicopot beasiswanya bahkan dipecat dari kampus karena menunjukkan simpati atas Palestina, baik karena ikut demo atau bahkan karena sekedar posting di media sosial, dengan tuduhan label anti-semit.
Dalam menancapkan pengaruhnya Kaum Yahudi punya dua kekuatan: kekuatan intelektual dan kekuatan entrepreneur. Kita tahu banyak kaum Yahudi yang menerima hadiah Nobel. Di bidang kimia ada 36 orang (19% dari total), ekonomi 38 orang (41% dari total), sastra 16 orang (13% dari total), perdamaian 9 orang (8% dari total), fisika 56 orang (25% dari total), fisiologi dan kedokteran 50 orang (26% dari total). Biasanya orang2 Yahudi senang berdebat dan mempertanyakan segala sesuatu. “Critical thinking” sepertinya sudah menjadi DNA mereka. Ketika saya kuliah di Australia, kebetulan punya kawan Yahudi-Amerika, dia sangat artikulatif and argumentatif dalam menyampaikan pendapatnya. Pada bidang ekonomi, kita juga tahu perusahaan2 besar dunia juga dikuasai kaum Yahudi. Di Amerika, misalnya, ada Jeff Bezos CEO Amazon, Marc Benioff CEO Salesforce, Warren Buffett CEO Berkshire Hathaway, Larry Fink CEO BlackRock, Jamie Dimon CEO JPMorgan Chase, David Solomon CEO Goldman Sachs, Brian Cornell CEO Target, Doug McMillon CEO of Walmart. Belum lagi yang di Eropa.
Tidak heran bangsa Arya Jerman sangat paham dan khawatir dengan potensi kaum Yahudi, rezim Nazi pada perang dunia kedua membantai dua juta orang Yahudi dalam peristiwa pembantaian Holocaust yang akan diperingati kaum Yahudi seluruh dunia pada 27 Januari dalam waktu dekat ini. Kebangkitan kaum Yahudi pasca-Holocaust merupakan catatan kolosal dari sekelompok manusia yang dengan kekuatan intelektual dan entrepreneur mampu menghalau berbagai tantangan dan saat ini muncul menjadi kekuatan yg nyaris tidak terkalahkan. Terlebih, sejarah berdarah Holocaust juga menjadi ajang taktis untuk membangun simpati dunia.
Kaum Yahudi yang berdiaspora di berbagai negara memobilisir kekuatan nasionalisme Zionis yang dimotori Theodor Herzl di Eropa Timur dan berhasil mendirikan negara Israel berdasarkan British Mandate pada 1948 di Palestina, setahun kemudian Israel diterima menjadi anggota PBB pada 1949. Walau tidak semua kaum Yahudi mendukung tapi kaum Yahudi yang memiliki kekuatan intelektual dan enterprenuer memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalisme Zionis. Kaum Yahudi yang berdiaspora dari berbagai negara pun berdatangan dan tinggal di Palestina, mengusir warga Palestina dengan mencaplok rumah dan tanah mereka baik melalui pendekatan legal maupun dengan kekerasan. Kaum Yahudi ini sebenarnya tidak “asli seratus persen” Yahudi, mereka hasil keturunan kawin-mawin dgn warga negara di mana mereka berdiaspora. Seperti misalnya politisi sayap kanan PM Israel sekarang Benjamin Netanyahu berasal dari Polandia, tidak lahir di Palestina atau Israel. Bisa jadi, darah Eropa atau kulit putih mereka lebih kental dari darah Yahudi.
Di Amerika dukungan pada eksistensi negara Israel sangat kuat. Terlebih, sebagian dari mereka juga menjadi politisi yang berpengaruh. Misalnya, Menteri Luar Negeri AS saat ini Antony Blinken lahir dari keluarga Yahudi-Amerika. Pada umumnya orang-orang Amerika percaya dan menaruh respek bahwa kaum Yahudi adalah ’orang-orang terpilih Tuhan’ dan punya hak untuk menempati wilayah di Palestina karena nenek moyang mereka sudah eksis ribuan tahun sebelum Islam hadir di Timur Tengah. Padahal kaum Kristen di Israel sebenarnya juga tidak selalu rukun berdampingan dengah warga Israel. Dan saat ini kita menyaksikan ketegangan dan konflik berdarah yang terus terjadi antara warga Palestina dan warga Israel, konflik perebutan wilayah yang sangat rumit karena menyangkut klaim agama dan sejarah. Terlebih Palestina juga terpecah, Tepi Barat yang sebagian dikuasai Palestinian National Authority di bawah pendudukan Israel yg cenderung pragmatis dan Jalur Gaza oleh pejuang kemerdekaan Hamas yg cenderung keras dan anti-Israel.
Letupan konflik terbaru, sejak Hamas melancarkan serangan mendadak ke Tel Aviv pada 7 Oktober 2023, hingga 25 Januari 2024, Euro-Med Human Rights Monitor mencatat sudah 33.360 warga sipil Palestina yang tewas, di antaranya 13.022 anak-anak dan 7.160 perempuan. Sadis dan brutal, tentara Israel bukan hanya membunuh dan menghancurkan Jalur Gaza, tapi juga menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan. Sementara solusi dua-negara juga tidak kunjung terealisasi, kita tidak tahu sampai kapan konflik berdarah yang mengerikan ini akan berhenti.
Sekedar catatan ringan sambil menunggu keputusan penting dan bersejarah dari International Court of Justice, The Hague hari ini, terkait tuntutan dari Afrika Selatan yang menuduh Isreal melakukan genosida terhadap warga Palestina. Kita menunggu keadilan bagi warga Palestina yang sudah sangat menderita hidup di bawah kebrutalan rezim pendudukan dan apartheid Israel.
Ditulis oleh:
Alpha Amirrachman via X (Twitter)
Jum’at (26012024)
Sumber: Sang Pencerah