HADIST-hadits Rasul –alaihish sholatu was salam- ibarat oase dan telaga yang menampung air hujan yang didatangi manusia dan hewan-hewan.
Mereka berdatangan dari berbagai penjuru negeri ke telaga ilmu yang terdapat di penghujung negeri yang jauh.
Di antara mereka, ada yang menunggangi unta, ada juga yang menunggangi keledai, bahkan tidak jarang di antara para pencinta dan pencari ilmu itu, ada yang berjalan kaki menuju negeri-negeri demi mengambil ilmu dari masyayikh ‘guru-guru’ mereka.
Perjalanan mereka bukanlah perjalanan yang indah dan nyaman seperti safar yang kita lakukan pada hari ini dengan segala kemudahan dan kenyamanannya.
BACA JUGA: Adakah Pahala dari Membaca Hadits Nabi?
Perjalanan mereka penuh risiko dan bahaya, serta penuh kesusahan saat melewati gurun pasir yang tandus, hutan belantara, dan samudra yang membentang, serta gunung-gunung bersalju. Gundah gulana yang menyelimuti mereka hilang ditelan oleh rasa cinta mereka kepada ilmu.
Al-Khothib Al-Baghdadiy –rahimahullah- berkata,
“ارْتَحَلَ كَتَبَةُ الْحَدِيثِ، وَتَكَلَّفُوا مَشَاقَّ الْأَسْفَارِ إِلَى مَا بَعُدَ مِنَ الْأَقْطَارِ لِلِقَاءِ الْعُلَمَاءِ وَالسَّمَاعِ مِنْهُمْ فِي سَائِرِ الْآفَاقِ، وَمِنْ قَبْلُ قَدْ سَلَكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ هَذِهِ الطَّرِيقَةَ فِي الرِّحْلَةِ لِلسَّمَاعِ.” اهـ من الكفاية في علم الرواية للخطيب البغدادي (ص: 402)
“Para pencatat hadits (yakni, penuntut ilmu di masa itu) melakukan rihlah ‘perjalanan panjang’ dan melawan berbagai kesulitan sampai ke negeri-negeri yang jauh untuk menemui para ulama, dan mendengar ilmu dari mereka di seluruh penjuru ufuk.
Sebelumnya, beberapa orang dari kalangan para sahabat telah menempuh jalan seperti ini dalam melakukan rihlah demi mendengarkan hadits (dari sahabat-sahabat yang lain).”
Setelah itu, Al-Khothib Al-Baghdadiy –rahimahullah- menukilkan beberapa kisah para ulama pendahulu umat ini dalam mencari ilmu dan meriwayatkan hadits-hadits manusia yang mereka cintai, yakni Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam-.
Kita dengarkan kisah pengorbanan mereka dalam melakukan rihlah ‘perjalanan panjang’ dalam mencari ilmu sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadiy –rahimahullah-.
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu anhu- berkata,
“لَوْ أَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى مِنِّي تَبْلُغُهُ الْإِبِلُ لَأَتَيْتُهُ.” اهـ من الكفاية في علم الرواية للخطيب البغدادي (ص: 402)
“Andai saja aku mengetahui ada orang yang lebih berilmu tentang Kitabullah –ta’ala- daripada diriku yang bisa dicapai oleh unta, maka benar-benar akan mendatanginya.”
Pernyataan beliau bukanlah sekadar isapan jempol alias omong kosong. Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzaliy –radhiyallahu anhu- telah membuktikannya. Kala itu, beliau berada di negeri hijrah, yaitu Habasyah demi menghindari rongrongan dan penindasan kaum kusyrikin Quraiys.
Saat beliau dan para sahabat jauh nun di negeri Habasyah, tersebarlah berita semerbak laksana parfum kesturi tentang hijrahnya Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- ke negeri Madinah.
Jarak yang memisahkan mereka teramat jauh sekitar 98 hari perjalanan jika ditempuh dengan berjalan kaki yang penuh rintangan dan mara bahaya.
Namun, kerinduan mereka kepada ilmu wahyu yang senantiasa mereka dengarkan dari lisan Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu dan petang, membuat mereka rela menempuh jarak safar yang melelahkan.
Sungguh luar biasa pengorbanan mereka dalam mendatangi tempat turunnya ilmu dan wahyu, yaitu negeri Madinah yang saat itu markas dan pusat penyebaran ilmu.
Kata Al-Khothib –rahimahullah-,
وَرَحَلَ أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ إِلَى مِصْرَ فِي سَبَبِ حَدِيثٍ وَاحِدٍ، وَذَلِكَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَحَلَ إِلَى مِصْرَ أَيْضًا فِي حَدِيثٍ حَتَّى سَمِعَهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ.” اهـ اهـ من الكفاية في علم الرواية للخطيب البغدادي (ص: 402)
“Abu Ayyub Al-Anshoriy pernah melakukan rihlah ke negeri Mesir (yakni, dari kota Madinah) karena sebuah hadits. Di sana, juga ada Jabir bin Abdillah melakukan rihlah ke negeri Mesir karena sebuah hadits sampai beliau mendengarkan hadits tersebut dari Abdullah bin Unais.”
Anda bisa bayangkan berapa jauh jarak antara Madinah ke Mesir? Jaraknya sekitar 1.364 km yang ditempuh selama dua bulan berjalan kaki.
Tak terbayangkan begitu lelahnya mereka, begitu menderitanya mereka, dan begitu risaunya mereka. Sebab, tentunya rihlah ‘perjalanan panjang’ di masa itu tidak senyaman dan seaman dengan rihlah atau safar di masa sekarang!
Padang tandus menjadi sahabat perjalanan mereka, kesunyian menjadi teman mereka, haus dan lapar menjadi teman akrab mereka selama perjalanan, dan jangan lupa bahwa para perampok dan binatang buas kala itu berkeliaran siap menerkam setiap saat!
Namun, kerinduan dan kecintaan mereka kepada ilmu yang harus mereka timba dari sumbernya sebagai bentuk pemulian terhadap ilmu dan para pemiliknya, membuat semua tantangan dan ancaman tiada berarti bagi mereka, bahkan semua itu menjadi pembangkit semangat bagi mereka dalam safarnya. Mereka paham dengan baik bahwa tidak kemuliaan dan kebahagiaan, melainkan harus diraih melalui pengorbanan yang membutuhkan kesabaran. Mereka mereka mengerti bahwa tingkatan surga yang tertinggi tak akan dicapai, tanpa melalui tangga-tangga tantangan yang memerlukan, semangat, ketabahan dan keikhlasan.
Semangat inilah yang membara dalam sanubari para salaf ‘pendahulu’ dari umat ini, semisal Sa’id bin Al-Musayyib Al-Makhzumiy –rahimahullah-.
Kita dengarkan kisah pengorbanan dan kesabaran beliau dalam menimba ilmu dari sumbernya.
Kata Sa’id bin Al-Musayyib Al-Makhzumiy –rahimahullah-,
“إِنْ كُنْتُ لَأَسِيرُ فِي طَلَبِ الْحَدِيثِ الْوَاحِدِ مَسِيرَةَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ.”
“Sungguh dahulu aku melakukan perjalanan dalam mencari hadits dengan perjalanan berhari-hari dan bermalam-malam.”
Hasan Al-Bashriy –rahimahullah- dari kalangan tabi’in pernah melakukan rihlah dari Basrah menuju Kufah dengan jarak perjalanan 413 km yang ditempuh selama 6 hari jalan kaki.
Terakhir, penuturan Abul Aliyah Nufai’ bin Mihron –rahimahullah saat menceritakan lika-liku perjalanan beliau dari kota Basrah menuju kampung halaman Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- yang kala itu menjadi pusat keilmuan yang didatangi para penimba ilmu.
Kata Abul Aliyah,
“كُنَّا نَسْمَعُ الرِّوَايَةَ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_، وَنَحْنُ بِالْبَصْرَةِ , فَمَا نَرْضَى حَتَّى نَرْكَبَ إِلَى الْمَدِينَةِ فَنَسْمَعُهَا مِنْ أَفْوَاهِهِمْ.” اهـ من الكفاية في علم الرواية للخطيب البغدادي (ص: 403)
“Dahulu kami mendengarkan riwayat hadits dari para sahabatnya Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-, sedangkan kami ada di Basrah. Kami tidak ridho (puas) sampai kami berkendara menuju Madinah sehingga kami pun mendengar hadits-hadits itu dari mulut-mulut mereka (yakni, para sahabat).”
Demikian sekumpulan kisah pengorbanan yang luar biasa dari para pencinta ilmu dan pengejar keutamaan. Lapar, haus, lelah, dan risau yang mengiringi tidaklah membuat mereka surut dalam mencari dan menimba ilmu dari sumbernya di berbagai negeri yang berjauhan.
Faedah dan Hikmah dari Kisah Mereka
Dari kisah perjalanan dan rihlah para ulama di atas, terdapat banyak faedah, hikmah dan pelajaran.
Di antara hikmah, dan faedahnya:
1/ Ilmu wahyu adalah penyejuk hati bagi manusia.
2/ Kecintaan kepada akan membuat segala tantangan dan kesusahan menjadi ringan, bahkan hilang.
BACA JUGA: Keutamaan Menghafal Hadits Nabi dan Menyampaikannya
3/ Para ulama terdahulu adalah contoh terbaik dalam mencari ilmu.
4/ Kesempitan dan kekurangan dunia bukanlah alasan untuk meninggalkan usaha mencari ilmu.
5/ Ilmu adalah warisan terbaik dari para nabi yang lebih pantas kita perebutkan dan kita raih daripada segala kesenangan dunia.
6/ Kejujuran kita dalam mencintai ilmu terlihat dari pengorbanan dan kerinduan kita kepadanya, walaupun harus bertaruh nyawa.
7/ Ketinggian derajat dan kemuliaan di sisi Allah, tidak akan dapat diraih tanpa pengorbanan. []
Tulisan ini rampung, Selasa, 17 Dzulqo’dah 1444 H yang bertepatan dengan 6 Juni 2023 M.
SUMBER:ABU FAIZAH