OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label NASIONAL politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NASIONAL politik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Oktober 2017

Dengan “Pribumi”, Anies Memancing Keluar Mereka yang Mencederai Demokrasi

Dengan “Pribumi”, Anies Memancing Keluar Mereka yang Mencederai Demokrasi

Siapapun yang ingin menduduki kursi kepemimpinan, harus mengemis suara rakyat. Rakyat mayoritas penyumbang suara dalam setiap pesta demokrasi adalah pribumi. Sehingga kata "pribumi" dalam pidato Gubernur DKI adalah majas atau kata sifat. Kolonial sering menggunakan kata "pribumi" untuk menyebut rakyat/pejuang/mujahid.

JPNN

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam pidato politik perdananya di Balai Kota, ditemani istrinya, Fery Farhati Ganis, Senin malam (16/10/2017).

DENGAN memajaskan kata “rakyat” menggunakan istilah “pribumi”, Bapak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah cerdas dan cerdik memancing keluar mereka yang suka mencederai demokrasi, penghisap darah rakyat, pengkhianat NKRI.

Saya katakan mereka mencederai demokrasi, karena mereka begitu marah dengan istilah “pribumi”.

Padahal kalimat Bapak Gubernur rada panjangnya kurang lebih: “Ratusan tahun Kolonial menjajah pribumi. Kini pribumi telah merdeka. Dan sebagai wujud merdeka, maka saatnya pribumi menjadi tuan di negeri sendiri.”

Bukankah demokrasi memberi ruang kebebasan kepada setiap individu/kelompok untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk pribumi?

Mereka tidak marah pada kalimat “Kolonial menjajah pribumi”. Melainkan marah pada kalimat “Saatnya pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri!”

Mereka begitu marah pada kata pribumi menjadi tuan di negeri sendiri…

Padahal amanat demokrasi menyatakan, bahwa rakyat adalah pemilik mandat tertinggi dalam sebuah kepemimpinan.

Siapapun yang ingin menduduki kursi kepemimpinan, harus mengemis suara rakyat. Rakyat mayoritas penyumbang suara dalam setiap pesta demokrasi adalah pribumi. Sehingga kata “pribumi” dalam pidato Gubernur DKI adalah majas atau kata sifat. Kolonial sering menggunakan kata “pribumi” untuk menyebut rakyat/pejuang/mujahid.

Pemimpin yang cerdas (Pak Anies) sadar, bahwa tampuk kepemimpinan yang diembannya adalah amanat rakyat (pribumi). Sehingga sudah seharusnya, pemimpin menjadikan pribumi sang penyumbang suara yang menghantarnya pada tampuk pimpinan dituankan bukan ditinggalkan.

Menolak aktualisasi teori ini, jelas mencederai demokrasi. Atau memang tak paham sistem demokrasi?

Baca: Pidato Gubernur Anies: Pribumi Harus Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri 


Pak Gubernur DKI Jakarta cerdas dengan statemen “saatnya pribumi menjadi tuan di negeri sendiri”. Yang disambung dengan alinea “akan dihidupkan kembali ruang-ruang musyawarah”.

Beliau paham demokrasi. Bahwa koalisi terbaik adalah bersama rakyat -sebagai bagian dari tawakal kepada Allah- bukan semata-mata dengan ring satu pemda, legislatif dan yudikatif, minus rakyat.

Apalagi ramai beredar “skenario menjegal kepemimpinan Anies- Sandi”. Itu artinya, jika benar oknum ring satu pemda, oknum legislatif dan oknum yudikatif bersekutu dalam makar (na’udzubillahi mindzalik) menjegal program Gubernur. Maka Gubernur sudah menginformasikan, bahwa rakyat harus berkoalisi penuh, supaya Gubernur bisa menjalankan programnya.

Pak Anies membahasakan “ancaman ” yang mungkin terjadi, dengan kalimat apik. “SAATNYA PRIBUMI MENJADI TUAN RUMAH”.

Artinya mari rakyat (notabenenya mayoritas pribumi baik yang kemarin memilih atau tidak memilih Anies-Sandi) yang ingin maju kotanya, bahagia warganya, saatnya berkoalisi penuh dengan Gubernur untuk mewujudkan program.

Atas nama dan bersama rakyat, maka pengkhianat amanat tidak berkutik. Bravo Jakarta!!!

Ferry Is Mirza DM | Wartawan Senior Jawa Pos

Rep: Admin Hidcom

Editor: Muhammad Abdus Syakur

Sumber : hidayatullah

PRIBUMI, Nothing wrong with that!

PRIBUMI, Nothing wrong with that!

10Berita – Tanggapan Haz Pohan, Mantan Dubes RI di Polandia, soal ‘Pribumi’ Semoga Dapat Menyejukkan kita semua.  Inilah tulisannya seperti yang tersebar di medsos:

Selasa, 17 Oktober 2017

Sebagai Informasi di awal, Hazairin Pohan atau sering disebut Haz Pohan, Lahir di Pematang Siantar, 12 November 1953, menjadi senior adviser, lawyer, lecturer, reproter, adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes di Polandia, 2006-2010, ketua delegasi R.I. dalam ratusan kali perundingan bilateral, regional, dan multilateral, mantan Kepala Pusdiklat Kemlu (2012-2013), Direktur Eropa Tengah dan Timur Kemlu 2002-2006, dosen di Lemhannas, lulusan Fakultas Hukum USU (Hkm Internasional), MA Univesity of Washington, dan PhD candidat, international law, UUM, Malaysia (2016)

beliau termasuk aktif di sosial media. menyampaikan pemikiran pemikirannya. Nah kali ini pemikirannya yang dituangkan dalam akun facebooknya Haz Pohan..soal “Pribumi” Cukup menyejukkan nitizen..

Berikut Kutipannya…

PRIBUMI

RAMAI di berbagai group mempersoalkan statement Gubernur Anies pada saat pelantikannya, karena menyebut kata ‘pribumi’.

Yang mempersoalkan saya tanya: “sudah baca pernyataan itu?”

“Belum, bang. Ini kata orang ramai-ramai di medsos.”

“Pesan Allah: ‘Iqra’ bacalah. Karena saya belum baca maka saya tak komen,” kataku.

Tak kurang. Banyak pula yang sarjana bahkan mantan pejabat yang ikut-ikutan komen negatif dan rasis pula. Kasihan. Jadi budaya tolol ini memang masih terus berlanjut: tidak baca, tidak faham langsung komen.

“Katanya..katanya..katanya.. Semakin banyak orang bicara tanpa rujukan yang benar, sembarangan mengutip data dari sumber abal-abal. Dan, susahnya orang mau percaya.

Ketika Kompas dan Jakarta Post menulis berita pelantikan hari ini menjadi headline isinya bagus sekali! Kok, yang berkembang di kalangan yang tidak logis dan susah move-on menjadi lain?

Mungkin maksudnya ‘kritis’ ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, lalu menemukan kata ‘pribumi’. “Wah ini dia…”

Saya pun akhirnya membaca pidato Gubernur Sandi dengan seksama. Oh, pantaslah diipuji Kompas dan Jakarta Post. Karena penyebutan ‘pribumi’ atau dulu disebut ‘inlander’ oleh pemerintah kolonial itu, adalah penduduk setempat di lapisan ketika kawula negeri yang ditindas kolonial. Dan, memang paling bonyok.

Ternyata Gubernur Anies bercerita faktual bahwa di zaman kolonial pribumi menjadi korban. Sekarang beliau mengajak kita bangkit meraih kedudukan terhormat. Nothing wrong with that.

Maka, ketika ajakan agar anak-anak negeri pewaris sah (bukan sekadar pemilik negeri) untuk meraih masa depannya di negeri sendiri diserukan saya tidak melihat hal ini sebagai negatif. Justru orang-orang yang menentang seruan ini perlu belajar sejarah dan mengenal negerinya dengan baik.

Ketika negeri ini diperjuangkan kemerdekaannya oleh kakek-moyang mereka, mereka percaya akan menjadi warganegara kelas satu.

Kenyataan memang tidak demikian. Ada yang missing di antara cita-cita pendiri negara –termasuk salah satunya ayah Gubernur Anies: AR Baswedan– dengan kenyataan yang kita hadapi keseharian di negeri tercinta.

Lalu, ajakan agar anak negeri bangkit meraih masa depan dan sesuai harkat dan harga diri kemanusiaan ini seyogianya relevan. Apa salahnya?

Jakarta, 17 Oktober 2017

(kl/wa)

Sumber : Eramuslim