OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 27 Maret 2017

Bid'ah Dipertentangkan Bukan karena Barunya, Tetapi...

10Berita-Beberapa kelompok kerap kali mempersoalkan praktik atau amaliyah kegamaan yang berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari bid’ah yang harus dihapus. Hal ini karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.

Namun, menurut Ketua PCNU Jember, Jawa Timur KH Abdullah Syamsul Arifin, bid’ah atau sesuatu yang baru yang tidak ada di zaman Rasulullah patut dipersoalkan bukan karena barunya, melainkan jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan syariat.

“Bid’ah dipertentangkan bukan karena barunya, tetapi jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan syariat. Jadi, jika sesuatu yang baru itu baik, maka tidak ada persoalan,” ujar kiai yang kerap dipanggil Gus Aab dalam Rapimnas Muslimat NU, Ahad (26/3) di Sentul, Bogor, Jawa Barat.

Menurutnya, Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa sesuatu yang mempunyai cantolan pada syariat tidak boleh dikatakan bahwa hal itu bid’ah hanya karena tidak ada atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. 

Kiai yang pernah aktif menjadi Dewan Pakar Aswaja Center PWNU Jawa Timur ini menjelaskan, apa yang tidak dilakukan oleh Nabi SAW, tak boleh disimpulkan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. 

“Dakwah untuk menyampaikan syariat sangat terbatas saat itu, baik di fase Mekkah maupun Madinah. Maka tidak semuanya sempat dipraktikkan oleh Rasulullah. Jadi, sesuatu yang belum atau tidak sempat dikerjakan oleh Rasulullah bukan berarti tidak boleh dilakukan,” papar Gus Aab.

Ia menerangkan tentang sunnah hamiyyah atau hadits hammi.Sunnah ini menjelaskan, sesuatu yang telah direncanakan oleh Rasulullah tetapi belum terlaksana hingga Rasulullah wafat.

Gus Aab mengungkapkan, Rasulullah memang tidak mengerjakan hal-hal baru yang saat ini dikerjakan umatnya, tetapi mengerjakannnya dalam bentuk lain. Menurutnya, perayaan maulid, istighostah, tahlil, ziarah kubur, dan lain-lain adalah tradisi (‘adah) yang tidak bertentangan dengan syariat.

“Bahkan bisa begeser mendatangkan pahala jika diisi dengan amal ibadah. Contoh menghadirkan kembali Rasulullah ke tengah-tengah kita. Itu ada dalam perayaan Maulid Nabi,” urainya.

Ia berpandangan, dalam Al-Qur’an saja, Allah menceritakan kepada Muhammad SAW riwayat para Nabi terdahulu, maka manusia sebagai umatnya juga harus menghadirkan cerita-cerita Rasulullah.

Ia menjelaskan, Maulid merupakan ekspresi kegembiraan umat Rasulullah. Manusia dianjurkan untuk bergembira dengan kelahiran Rasulullah. 

“Rasulullah saat ditanya, kenapa berpuasa pada hari Senin, Ia menjawab, hari itu saya dilahirkan dan menerima wahyu. Jadi, puasa hari Senin itu satu bentuk ekspresi kegembiraan, bukan puasanya tetapi rasa gembiranya itu, boleh dengan perayaan dan ekspresi kegembiraan lainnya asal sesuai syariat,” tegas Gus Aab. (Fathoni)

Sumber: NU online


Related Posts: