5 Hal yang Kita Pelajari dari Serangan Trump ke Pangkalan Udara Suriah
10Berita – Atas restu dari Donald Trump, 59 misil Tomahawk diluncurkan ke pangkalan udara Shayrat di Homs tanggal 6 April kemarin. Menurut pernyataan resmi pejabat Amerika, serangan tersebut merupakan balasan terhadap serangan gas sarin yang dilakukan oleh pasukan Bashar Assad, pada 4 April silam. Serangan gas kimia itu telah membunuh 93 jiwa dan mencederai ratusan lainnya di Khan Shaykhoun, Idlib. Setelah melakukan otopsi, pejabat medis Turki mengkonfirmasi bahwa gas sarin adalah penyebab kematian mereka.
Ada beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran dari serangan Amerika ke pangkalan udara Sharyat tersebut:
1. Serangan Tomahawk lebih mirip sebuah pertunjukan
Untuk kita ketahui, misil Tomahawk memiliki panjang kurang lebih 20 kaki dan bisa membawa bahan peledak seberat 1000 pounds. Lima puluh sembilan misil Tomahawk diluncurkan ke arah pangkalan udara Shayrat, yang menjadi landasan jet tempur Suriah untuk melakukan serangan gas sarin ke Khan Syaikhoun.
Menurut militer Suriah, 12 orang menjadi korban dalam serangan tersebut, 6 tewas dan 6 lainnya cedera. Mungkin kita akan bertanya, bisa jadi seorang laki-laki dengan senjata tua dan seekor anjing yang marah bisa memakan korban yang jauh lebih banyak dari serangan tersebut?
Alasan mengapa korban dari serangan tersebut cukup rendah bisa didapatkan dari pernyataan AS, “Pasukan Rusia diberi tahu sebelum serangan dengan menggunakan deconfliction line(komunikasi khusus untuk menghindarkan benturan antara pilot AS dan Rusia—pen). Para pembuat rencana di militer AS mengambil langkah hati-hati untuk meminimalisir risiko terhadap personel Rusia atau Suriah yang berada di pangkalan udara tersebut.”
Salah seorang saksi mata mengatakan bahwa militer Suriah telah mengevakuasi personel dan peralatannya sebelum serangan dilakukan. Jadi, hanya sekitar 20 pesawat tua dan belum diperbaiki yang rusak oleh serangan tersebut. Pemindahan peralatan-peralatan dan personil yang sensitif merupakan sesuatu yang logis atas saran dari Rusia. AS dikenal sering melakukan serangan drone ke arah terduga “teroris” meski jelas-jelas ada anak-anak yang bermain di sekitar lokasi dan warga yang tak berdosa. Mereka selalu merespon dengan alasan “collateral damage” dan “kami sudah mencoba meminimalisir korban sipil sebanyak mungkin.”
Kenyataannya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan anak-anak dan warga sipil tak berdosa yang kebetulan berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Bahkan, ia memberi tahu pelaku serangan gas sarin yang mengerikan tersebut akan rencana dilakukannya serangan, yang tentu saja memberi kesempatan bagi mereka untuk bergeser dan bahkan mungkin saja memindahkan gas sarin dan peralatan lainnya ke wilayah lain. Apakah ini akan menjadi “perang melawan terorisme tahun 2017”?
Kesimpulan: 59 rudal Tomahawk untuk membunuh 6 pasukan Assad = 9,8 rudal per pasukan Assad.
2. Pemerintah Trump tidak memiliki sistem nilai inti
Akhir Maret lalu, pemerintah Trump menyatakan mau hidup bersama rezim Assad. Pada tanggal 30 Maret 2017, duta besar AS untuk PBB, Nikki Haley menyatakan, “Ini adalah tentang mengubah prioritas, dan prioritas kami tidak lagi fokus tentang menyingkirkan Assad.”
Pernyataan yang sama disampaikan oleh menteri luar negeri AS, Rex Tillerson dalam sebuah pertemuan di Turki, “Saya pikir status jangka panjang Presiden Assad akan ditentukan oleh rakyat Suriah.”
Kemudian pada tanggal 6 April, Rex Tillerson ditanya, “Akankah Anda dan Presiden Trump mengorganisir sebuah koalisi internasional untuk menyingkirkan Assad?”
“Langkah tersebut sedang ditempuh,” katanya. Tapi, apa yang berubah?
Mungkin sebagian pihak menganggap bahwa serangan kimia pada tanggal 4 April telah mengubah dinamika, dan karenanya mengubah kebijakan Amerika. Tapi, senjata kimia sering digunakan oleh rezim Assad.
Pada tanggal 26 Maret, 5 orang terbunuh di Latamiya di utara Provinsi Hama setelah pesawat udara rezim Assad menghujani wilayah tersebut dengan bom klorin. Serangan dengan senjata kimia dilakukan setiap dalam beberapa tahun terakhir. Fakta ini banyak diketahui oleh warga Suriah. Apakah masuk akal intelijen AS bisa mengetahui dengan tepat pergerakan orang-orang yang berada dalam daftar sasaran pembunuhan dengan drone, tapi tidak tahu sama sekali akan terjadinya serangan senjata kimia?
Maka pertanyaannya adalah: Apa yang membuat AS berubah pikiran? Kemanakah kompas moral AS menunjuk saat Trump memerintahkan jajarannya untuk menyatakan bahwa mereka tidak punya keinginan untuk menyingkirkan seorang diktator yang sudah membantai rakyatnya sendiri bertahun-tahun? Dan mengapa ia mengubah pikirannya hanya dalam waktu 10 hari? Apakah ini semua dilakukan karena publisitas masif yang terjadi dari serangan ke Khan Syaikhoun? Apakah publisitas menjadi kekuatan pengatur di dalam pemerintahan Trump?
Kesimpulan: Tidak ada kamera? Tidak ada pertunjukan.
Sumber: Kiblat.net