OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 10 Mei 2017

Ahok Effect, Jokowi Korban Berikutnya?

Ahok Effect, Jokowi Korban Berikutnya?


Oleh: EdyMulyadi*

10Berita – Ahok-Djarot kalah telak pada Pilkada DKI putaran dua, 19 April silam. Selisih angkanya nyaris 18%. Anies-Sandi meraup57,96%. Sedangkan paslon petahana Cuma mengantongi suara 42,04%.

Ahok shok berat. Itu pasti. Ahok uring-uringan, sangat boleh jadi. Para Ahoker kalang-kabut. Mereka sulit move on. Beragam manuver pun mereka lakukan. Antara lain, membanjiri Balai Kota dengan karangan bunga dan balon. Tapi karena akhirnya terbukti ribuan karangan bunga itu dipesan oleh orang yang sama dari florist yang sama juga, maka sebagian kalangan menyebutnya sebagai “bunga karangan.”

Laiknya sebuah pertempuran, ada pemenang juga ada pecundang. Itu biasa, biasa banget. Umumnya para pecundang menderita luka-luka. Ada yang ringan, sedang, juga ada yang berat. Bahkan tidak sedikit juga yang nyawanya putus.

Nah, dalam deretan pasukan Ahok ini banyak juga yang menjadi korban. Mereka bisa individu, bisa juga institusi, lembaga atau parpol. Pastinya, kelompok Parpol pengusung dan pendukung adalah para korban. Mereka adalah PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB.

PDIP Keok Dimana-mana

Dari semua Parpol pendukung dan pengusung Ahok, korban paling parah tentu saja PDIP. Mereka bukan saja harus menelan pil pahit kekalahan telak tersebut. Sialnya lagi, mereka juga kena dampak buruk Ahok atau yang biasa disebut Ahok effect.

Maklum, sepanjang berkuasa menjadi gubernur menggantikan Jokowi, mantan Bupati Belitung Timur itumeninggalkan rekam jejak yang amat buruk. Prilaku kasar, kata-kata kotor, kinerja jeblok, keberpihakan kepada pengembang yang kelewatan, dan terindikasi terlibat dalam seabrek kasus korupsi. Dan, tentu saja, yang sangat monumental adalah mulut comberannya yang menista surat Al Maidahayat 51.

Efek negatif Ahok langsug menerjang PDIP. Indikasinya gampang sekali. Parpol pemenang Pemilu dengan suara sekitar 19% itu harus menerima kenyataan pahit. Dari Pilkada di 101 daerah (7 provinsi, 76 kabupatan, dan 18 kota) serentak 15 Februari 2017 silam, banyak, jagoannya yang tumbang.

Kekalahan telak partai Moncong Putih itu terjadi di Pilgub Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, dan Jakarta. Di ajang pemilihan walikota, PDIP keok di Payakumbuh, Pekanbaru, Tasikmalaya, Salatiga, Kendari, Kupang, Ambon, dan Kota Jogja selisih suara sangat tipis.

Begitujugasaatbertarung di Pilbub. Calon-calon dari PDIP terkapar di Tapanuli Tengah, Kampar, Muaro Jambi, Pringsewu, Mesuji, Bekasi, Cilacap, Hulu Sungai Utara, Barito Kuala, Kep Sangihe, Banggai Kepulauan, Kolaka Utara, Buton, Lembata, Maluku Tenggara Barat, Halmahera Tengah, Sarmi, KepYapen, dan Jayapura.

Pertanyaannya, adakah fenomena ini menjadi bahan bacaan bagi Megawati dan para elit PDIP lainnya? Bagaimana mereka menyikapi bergelimpangannya jagoan PDIP yang keok dihajar lawannya?

PDIP hancur

Dalam sebuah obrolan santai, seorang pengurus pusat PDIP pernah mengeluhkan kondisi ini. Lelaki yang mengaku barusaja pulang dari keliling di sejumlah daerah mengatakan, rakyat sudah emohkepada PDIP. Bahkan tidak terlalu keliru jika dikatakan rakyat sesungguhnya kecewa dan marah kepada Megawati dan PDIP.

“Rakyat menganggap PDIP adalah partai sarang koruptor, partai penampung PKI, tidak berpihak kepada wong cilik, terlalu mengutamakan pengusaha, khususnya para pemilik proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta. Rakyat juga kecewa karena PDIP mengusung Ahok yang menistakan agama orang lain,” ujarnya dengan masygul.

Kalau mau jujur, lanjut dia, faktor PDIP yang mengusung Ahok di Pilkada DKI menjadi paling dominan dari sederet persepsi negative tadi. Inilah yang memberi andil besar bagi kekalahan calon-calon PDIP di banyak Pilkada. Inilah Ahok effect dengan dampak negatifnya yang sangat mengerikan!

Sejatinya, kekalahan Ahok memang pelajaran yang amat berharga bagi PDIP. Bagaimana mungkin partai pemenang pemilu 2014 bisa remuk-redam begitu rupa karena seorang Ahok. Rasa sakit itu kian terasa, manakala mengingat Basuki bukanlah anggota apalagi kader partai. Diaha nyalah politisi kutu loncat yang entah karena apa dan bagaimana, tiba-tiba saja mampu merebut menjadi pilihan Megawati.

Apakah tampilnya Ahok sebagai calon yang diusung mengkonfirmasi bahwa PDIP tidak punya kader yang mumpuni? Kalau jawabnyatidak, maka semestinya ada penjelasan yang masuk akal atas hal ini. Soal deal-deal khusus, misalnya. Tentangapa dan seperti apa deal-deal itu, mungkin hanya Mega-Ahok dan Allah Yang Maha Kuasa saja yang tahu persis.

Tapi terlepas dari itu semua, yang nyaris pasti, masa depan PDIP pada Pemiludan Pilpres 2019 memang jadi sangat gawat. Pada Pemilu 2014 partai yang selalu membawa-bawa foto Soekarno dalam kampanyenya itu berhasil meraup 19% suara. Tentu angka ini menjadi dreaming day alias mimpi di siang bolong. Bukan mustahil suara partai ini bakal melorot ke 10-12% saja.

Suara PDIP bakal terjunke 10-12%? Sepertinya terdengar sarkatis. Tapi sebetulnya tidak. Ini serius. Kekalahan telak Ahok di Pilkada DKI adalah sinyal yang amat kuat. Bagaimana mungkin pasangan yang begitu percaya diri karena backing dari segala penjuru bisa dikalahkan dengan demikian memalukan?

Siapa pun yang berakal waras dan berhati nurani pasti bisa melihat, betapa pasangan Basuki-Djarot (Badja) didukung oleh semua sumberdaya yang ada. Taipan dengan dana yang nyaris tak terbatas bersama mereka. Jaringan media mainstream mendukung penuh, baik terang-terangan atau malu-malu kucing.

Negara dengan seluruh birokrasinya bekerja ekstra keras untuk memenangkannya. Kecurangan dan politik uang dipertontonkansecara massif dan amat telanjang menjelang pada hari pencoblosan. Tap itoh, Allah berkehendak lain. Badja ternyata terjungkal dengan tragis.

Harusbelajar

Penistaan agama Islam oleh Ahok memang jadi salahsatu contributor tumbangnya calon aroganini. Itulah harga yang harus dia bayar karena berani dengan pongahmasukkewilayah paling sensitif, agama orang lain. Tapi kalau mau jujur, untuk Jakarta, pengaruh agama mungkin tidak sangat dominan. Mungkin porsi agama plus-minus sekitar 50% bagi penduduk DKI yang belakangan makin permisif dan sekuler.

Yang harusdiingat, Pemilu melibatkan seluruh penduduk di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Buat orang di daerah, agama masih menjadi faktor amat penting. Bisa dibayangkan, bagaimana nasib PDIP di mata rakyat kelak. Ingat, rakyat mengidentifikasi PDIP sebagai partai penampung PKI dan pendukung penista agama. Wuih…

Pada titik ini saya ingin mengingatkanPresiden Jokowi. Nasib mengenaskan serupa dengan PDIP bukan mustahil akan dialami padaPilpres 2019. Maaf, ya, pakPresiden, rakyat kadung beranggapan anda membela dan melindungi Ahok. Paling tidak begitulah persepsi rakyat pada reklamasi Pantai Utara Jakarta dankasus penistaan agama.

Sekarang semuanya terpulang pada anda, Pak Presiden. Anda harus bisa membuktikan persepsi publik tadi keliru.Caranya gampang saja. Jangan bela dan lindungi Ahok, apalagi memasukkan dia ke dalam kabinet yang konon akan segera ada kocok ulang lagi.

Ahok itu sumber masalah. Ahokitu ibarat kecoa beracun, yang kemana-mana menebarkan penyakit. Kecoa jenis ini tidak cukup disemprot dengan pestisida serangga. Ia harus diinjak sampai mejret. Itu pun dengan catatan, anda harus menggunakan alas kaki, supaya kuman dan baketeri si Ahok, eh kecoa tadi tidak menyusup kepori-pori kaki. Semoga belum terlambat… (*)

Jakarta, 8 Mei 2017

Edy Mulyadi, DirekturProrgam Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Sumber: Panjimas



Related Posts:

  • Belajar Ketahanan Pangan Dari Nabi Yusuf asBelajar Ketahanan Pangan Dari Nabi Yusuf as 10Berita -“Yusuf berkata: Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.”… Read More
  • Aurat Lo Bukan Urusan Gue?Aurat Lo Bukan Urusan Gue? Oleh: Hen Ummu Ghiyas Faris Penulis lepas, penulis buku antologi “ The True Hijab” dan “Puzzle Dakwah” 10Berita , SEBAGAI seorang muslim, saya sungguh tercengang membaca ber… Read More
  • Muslim Cyber Army, Pemilu Presiden dan Ruang Gelap Media SosialMuslim Cyber Army, Pemilu Presiden dan Ruang Gelap Media Sosial 10Berita,   Propaganda, ujar Eric Hoffer, bukan menipu masyarakat. Ia hanya membantu masyarakat untuk tertipu. Eric Hoffer menceritakan kisah sukses propag… Read More
  • Tahun Politik dan Kepemimpinan Islam 2019Tahun Politik dan Kepemimpinan Islam 2019 Oleh: Indra Martian P (Direktur Masyarakat Islam Indonesia, Dosen STAI PTDII, Mahasiswa Program Doktoral Pemikiran Islam dan Ideologi Kontemporer Unisza Malaysia) 10Berita, Tahun 201… Read More
  • Nasrudin Joha: Menyiapkan “Kekalahan Jokowi” Sejak Dini   Nasrudin Joha: Menyiapkan “Kekalahan Jokowi” Sejak Dini   Oleh: Nasrudin Joha 10Berita Dalam teori perang, adakalanya pasukan menunjukan kekuatan jumlah dan kecanggihan peralatan kepada musuh, untuk menggentarkan hati m… Read More