Marawi Bergejolak, Mindanao Bisa Jadi Benteng Regional Islamic State (IS)
10Berita-ILIGAN– Pertempuran dashyat masih berlangsung gerilyawan Islam dengan tentara Filipina di kota Marawi, Filipina selama sepekan terakhir ini.
Sebanyak 180.000 penduduk, atau sekitar 90 persen dari total penduduk Marawi, telah meninggalkan kota tepian danau yang biasanya ramai itu.
Kota ini terletak di perbukitan tropis yang rimbun, yang hampir dalam waktu semalam saja pekan lalu, telah berubah menjadi medan perang perkotaan.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan status darurat militer di Mindanao – pulau paling selatan di negara itu dan sebuah wilayah pulau seukuran Korea Selatan – saat tentara di luar Marawi mendekati Isnilon Hapilon, daerah yang memproklamasikan diri sebagai “Amir” Asia Tenggara tahun lalu setelah menyatakan kesetiaan kepada Islamic State (IS).
Mindanao telah lama menjadi markas perjuangan dan pergerakan Islam di Filipina: tetapi sekarang, para pejuang Islam dari Malaysia, Indonesia dan negara-negara lainnya berkumpul di Mindanao.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa situasi semacam ini bisa mengarahkan Mindanao menjadi benteng regional Islamic State (IS).
Lebih dari 90 persen dari 100 juta penduduk Filipina adalah umat Kristen, tapi di Mindanao, umat Muslim menjadi mayoritas.
Pada tahun 1980, Marawi memproklamasikan dirinya sebagai “Islamic City” [Kota Islam] dan satu-satunya kota di negara ini dengan sebutan itu.
Bagi komunitas Kristen yang hanya berjunlah kecil di Marawi, bagaimanapun, kehidupan di kota sampai saat ini telah berlangsung damai dan sejahtera.
“Kami tidak menganggap diri kami Muslim atau Kristen, kami hanya berteman,” kata Uskup Dela Pena, yang telah tinggal selama 17 tahun di Marawi namun berada di luar kota saat kekerasan tersebut terjadi.
Perdamaian tersebut hancur beberapa bulan yang lalu, katanya, setelah Tentara Filipina mengebom markas kelompok pejuang Islam yang jaraknya sekitar 50 km (30 mil) jauhnya dari kota.
“Mereka mengatakan bahwa mereka memadati seluruh perkemahan, namun orang-orang ini memindahkan basis operasi mereka dari hutan ke pusat kota, ke kota, Marawi,” katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara dari Iligan City, 37 km (23 mil) dari Marawi.
“Mereka datang dengan strategi, beberapa orang pada satu waktu, Mereka memiliki sanak keluarga di sana, Mereka tinggal, kemudian Mereka merekrut,” katanya.
Uskup De La Pena menambahkan bahwa pihak berwenang tampaknya telah melewatkan ancaman yang menjulang tinggi ini.
“Saya tidak bisa membayangkan, saya tidak punya kata-kata untuk menggambarkannya,” katanya.
Meski begitu, ia tetap berharap agar kota bisa bersatu kembali. Mayoritas warga Marawi, apapun keyakinan mereka, terkejut dengan kekerasan dan gangguan tersebut, katanya.
“Saya pikir kita bisa memulai sesuatu yang lebih efektif dalam hal bekerja sama, dalam hal dialog, dalam hal koeksistensi damai,” katanya. “Bagaimanapun, kita telah mengalami kesulitan yang sama.”ujar Uskup itu.[IZ]
Sumber:panjimas