Membedah Vonis Hakim dan Penindakan Jaksa Terhadap Ahok
Setelah putusan dibacakan oleh Majelis Hakim yang menghukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan 2 (dua) tahun kurungan penjara dan dengan perintah melakukan penahanan, hampir semua Ahoker (kalau tidak mau dikatakan semua) di media sosial, yang didalamnya tidak sedikit terdapat “Orang hukum” menyatakan keberatan dan ketidakpuasan atas putusan tersebut.
Banyak yang beralasan bahwa vonis dari Majelis Hakim adalah keliru karena melampaui tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang hanya menuntut 1 (satu) tahun penjara dengan percobaan 2 (dua) tahun. Tidak sedikit juga yang beralasan bahwa perintah penahanan terhadap Ahok tidak bisa dijalankan JPU, karena JPU hanya menjalankan perintah Majelis Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sedangkan vonis Ahok masih belum berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal yang pertama yaitu menyangkut putusan Majelis Hakim yang melampaui tuntutan JPU, bahwa Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa yang menjadi rujukan Majelis Hakim dalam memutus adalah“surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”, oleh sebab itulah Majelis Hakim hanya terikat dengan surat dakwaan JPU dan segala sesuatu yang terbukti di persidangan, bukan pada tuntutan JPU.
Dikarenakan dalam surat dakwaannya JPU mendakwa Ahok dengan PRIMAIR Pasal 156a KUHP (Penistaan Agama) dengan ancaman Maksimal 5 (lima) tahun, SUBSIDAIR Pasal 156 KUHP (Penistaan Golongan Tertentu) dengan ancaman maksimal 4 (empat) tahun, maka Majelis Hakim tidaklah salah memutus Ahok dengan pidana 2 (dua) tahun penjara karena berpendapat Ahok terbukti melakukan tindak pidana Penistaan Agama Pasal 156a KUHP. Meskipun, berbeda dengan tuntutan JPU yang menuntut Ahok selama 1 (satu) tahun penjara dengan percobaan 2 tahun atas tindak pidana Penistaan Golongan Tertentu Pasal 156 KUHP. Hal ini dikarenakan yang menjadi rujukan Majelis Hakim bukan tuntutan, melainkan surat dakwaan, yang pada dakwaan PRIMAIR mengancam Ahok dengan penjara (5) tahun karena melakukan penistaan agama Pasal 156a KUHP.
Menjadi salah atau keliru apabila Majelis Hakim menjatuhi hukuman kepada Ahok di atas atau lebih dari 5 (lima) tahun penjara, karena ancaman maksimal dari Pasal 156a KUHP hanya 5 (lima) tahun penjara. Sehingga jelaslah bahwa vonis 2 (dua) tahun kepada Ahok, yang melampaui tuntutan dan dengan Pasal yang berbeda dengan Pasal pada tuntutan JPU adalah sama sekali tidak menyalahi aturan hukum.
Tindakan Jaksa Menahan Ahok
Menyangkut keberatan dari yang kedua, yaitu penahanan terhadap Ahok tidak bisa dijalankan oleh JPU. Mereka berpendapat bahwa JPU hanya menjalakan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana Pasal 270KUHAP “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.
Kekeliruan “Orang Hukum Ahoker” dalam hal itu adalah tidak dapat membedakan kapan Jaksa melakukan menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi), dengan kapan Jaksa menjalankan perintah hakim untuk memasukkan ke dalam penahanan.
Bahwa Pasal 270 KUHAP tersebut tidak terdapat hubungannya dengan tugas Jaksa melaksanakan perintah hakim UNTUK MELAKUKAN PENAHANAN, melainkan mengatur menyangkut tugas Jaksa dalam menjalankan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (Jaksa Eksekutor). Sedangkan menyangkut tugas jaksa sebagai JPU dalam menjalankan perintah penahanan dari Majelis Hakim adalah diatur pada Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 KUHAP yang menentukan bahwa“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. Sehingga tindakan JPU yang langsung melakukan penahanan terhadap Ahok tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena menjalankan perintah hakim yang memerintahkan untuk menahan Ahok.
Tidak sampai di situ saja, kewenangan JPU untuk melaksanakan penetapan Hakim tersebut diatur pula oleh Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang isinya sama dengan Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 KUHAP tersebut. Bahkan kewenangan itu pula diperjelas secara detail pada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor R-89/EP/Ejp/05/202, Perihal: Eksekusi Perintah Penahanan Terhadap Putusan Pengadilan Yang Belum Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap, tanggal 06 Mei 2002, yang di dalamnya menjelaskan agara JPU tidak ragu untuk menjalankan perintah penahanan yang tertera di dalam putusan yang belum berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian teranglah, Majelis Hakim tidaklah salah dalam memvonis Ahok selama 2 (dua) tahun penjara, meskipun menggunakan Pasal yang berbeda dari tuntutan, serta melampaui tuntutan JPU yang menuntut Ahok 1 (satu) tahun penjara dengan percobaan 2 (dua) tahun, karena Majelis Hakim dalam memutus perkara tidak terikat pada tuntutan JPU, melainkan hanya terikat pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terungkap di persidangan. Selain itu pula tidak dapat dibantah lagi JPU memiliki kewenangan untuk langsung membawa Ahok ke Rumah Tahanan Cipinang oleh karena menjalankan perintah hakim agar Ahok ditahan, malah akan menjadi salah apabila JPU tidak menjalankan perintah penahanan tersebut.
Akhirnya, kami STREET LAWYER menghimbau, apabila “Orang hukum Ahoker” masih tidak puas dengan pencerahan dari kami yang telah terang benderang ini. Kiranya lebih tepat baginya untuk melakukan langkah hukum kepada pihak terkait, daripada melakukan black campaign dengan tuduhan trial by mob, atau menuduh Hakim sebagai Hakim Intoleran, Anti Pancasila dan Anti Kebhinekaan, seperti yang sering mereka tuduhkan kepada gerakan-gerakan Islam yang menuntut keadilan.
Penulis: Rangga Lukita Desnata, S.H., M.H. (LBH STREET LAWYER)
Sumber: Kiblat.net