Mencari “Jenderal Air Keras” di Kepolisian
by Asyari Usman
(Mantan wartawan BBC)
Walau masih belum pulih 100 persen, Novel Baswedan sudah bisa ikut melacak orang yang bertanggung jawab menyiramkan air keras ke mukanya. Penyidik KPK itu mengatakan kepada majalah TIME (Amerika) bahwa dia percaya seorang jenderal polisi terlibat penyiraman itu. (http://time.com/4815928/indonesia-corruption-novel-baswedan-graft-kpk/)
Kita tentu berharap Novel tidak bicara sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan “hard evidence” (bukti keras, bukti kuat) setiap kali menangani kasus korupsi di KPK. Novel tidak akan berspekulasi. Apalagi menyangkut seseorang yang bisa disebut “hard target” (sasaran keras). Pastilah Novel sudah sangat yakin tentang apa yang dia katakan kepada majalah TIME itu.
Sekarang, kita lihat saja bagaimana Pak Polisi bereaksi. Sebagaimana biasa, polisi selelu defensif kalau telunjuk diarahkan ke mereka. Para pembesar kepolisian meminta agar Novel menyampaikan informasi itu kepada polisi yang melakukan penyelidikan. Perminatan polisi ini terdengar normal-normal saja, tetapi sesungguhnya akan sangat menyulitkan penuding.
Polisi pasti akan menagih “hard evidence” dari Novel. Ini tidak mudah. Sebab, harus ada hubungan langsung antara peristiwa penyiraman itu dengan “jenderal air keras” yang disebut oleh penyidik senior KPK itu. Di titik ini, kelihatannya “bukti keras” yang dimiliki oleh Novel bisa-bisa menjadi “lembek”. Menjadi tidak bisa dibuktikan. Banyak penyebabnya.
Pertama, “jenderal air keras” pastilah tidak sembarangan kalau dia mau mensponsori tindak pidana. Ini yang tidak akan mudah diungkap polisi. Apalagi prosesnya akan membongkar semua ruangan kerja para pembesar berpangkat bintang. Dulu, Irjen Djoko Susilo bisa digiring dengan mudah karena beliau ini melakukan tindak pidana korupsi (simulator SIM) yang bisa ditelusuri. Aliran uang haram Djoko terekam di mana-mana. Tak bisa mengelak lagi. Tambahan pula kemungkinan besar Irjen Djoko punya banyak “musuh” di dalam; banyak yang ingin melihat dia masuk penjara.
Kedua, selain kesulitan membuktikan hubungan langsung antara penyiraman dan “jenderal air keras”, para petinggi kepolisian bisa jadi merasa bahwa pengungkapan ini akan memperburuk citra korps. Akan memperkuat keyakinan khalayak bahwa polisi sedang bermasalah. Polisi saat ini sedang dilihat sebagai institusi yang menjalankan keinginan segelintir orang. Ada lagi stigma bahwa polisi melakukan kriminalisasi terhadap para ulama. Jadi, sangat konyol kalau “jenderal air keras” harus juga diungkap.
Novel merasa informasi yang didapatnya itu bukan “kelas warungan”. Pasti dia yakin informasi itu bukan gosip. Tetapi memang tidak mudah untuk membuktikannya. Seperti kata pepatah, “terasa ada, terkatakan tidak”. Kasus semacam ini terjadi di mana-mana, meyangkut orang-orang hebat. Penyelidik menjadi tak berdaya ketika harus berhadapan dengan petinggi, apalagi petinggi di lembaga punya pasukan dan “terlatih” untuk menutupi masalah.
Ada kemungkinan Novel hanya memiliki bukti “kayaknya terlibat” atau biasa disebut “circumstantial evidence”. Bukti tidak langsung. Bukti ini lemah. Misalnya, semua kalkulasi dan logika menunjukkan keterlibatan seseorang tetapi orang itu tidak langsung tertaut dengan peristiwa yang terjadi. Orang yakin dia dalangnya, tetapi tidak bisa diapa-apakan.
Banyak korban tindak pidana yang harus gigit jari menghadapi situasi seperti ini. Orang yang “pantas” dijadikan tertuduh, tidak bisa diprosekusi karena bukti yang tidak kuat itu.
Akan halnya “jenderal air keras” yang diyakini oleh Novel berada di balik penyerangan terhadap dirinya, pastilah sudah sangat lihai untuk membuat bukti tak langsung itu menjadi selama-lamanya tak terbukti –di dunia. Di akhirat, tentulah semuanya akan terang-benderang.
(Penulis adalah mantan wartawan BBC. Tulisan ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).
Sumber: Portal Islam