Minta Presiden Bersikap, Yusril: Bukti-bukti Mentersangkakan Habib Rizieq Sangat Lemah
Silaturahim & konsolidasi Nasional GNPF-MUI dengan tema: ‘Uji Shahih Alat Bukti Elektronik dalam Kasus Chatting HRS’ di Hotel Balairung, Matraman, Jakarta Timur, Jumat, 16 Juni 2017. (Foto: NM/Salam-Online)
10Berita-JAKARTA Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra meminta Presiden Joko Widodo untuk mengambil sikap dalam penanganan kasus kriminalisasi terhadap Habib Rizieq dalam beberapa kasus.
Menurut mantan Menkum HAM ini sikap presiden dibutuhkan untuk meredam gejolak dan potensi perpecahan bangsa. Sikap presiden, kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu bukan untuk mengintervensi hukum. Namun lebih menekankan kepada proses yang dilalui.
“Presiden harus mempunyai kebijakan (dalam) penegakan hukum. Dan itu bukan intervensi. Kebijakan saya dalam penegakan hukum, hati-hati kalau ulama, hati-hati kalau pastor. Karena negara kita ini religius. Hati-hati. kalau nggak yakin betul, jangan,” ujar Yusril di acara Silaturahim & Konsolidasi Nasional yang diadakan GNPF-MUI di Hotel Balairung, Matraman, Jakarta Timur, Jum’at (16/6).
Apalagi, menurut dia, bukti-bukti yang disuguhkan oleh penyidik kepolisian dalam mentersangkakan Habib Rizieq dalam dua kasus, di antaranya penghinaan simbol negara dan pornografi, sangatlah lemah.
“Kalau kasus-kasus seperti ini diteruskan ke pengadilan, ya haqqul yaqin ini akan ditolak oleh pengadilan, kecuali lagi-lagi (jika) pemerintah mengintervensi pengadilan,” ungkap Prof Yusril.
Ada beberapa alasan yang dipaparkan mantan Mensesneg ini terkait kelemahan alat bukti dan logika hukum. Namun Profesor Hukum Universitas Indonesia itu menekankan pada alat bukti kasus pornografi, tidak berdasar hokum, lantaran hal itu diperoleh dengan cara tidak legal.
Prof Yusril Ihza Mahendra
Dia menjelaskan bahwa bukti elektronik hasil penyadapan, diperbolehkan dalam beberapa kasus saja seperti Korupsi, Terorisme dan Narkotika. Sementara penyadapan dalam kasus pornografi tidak diperbolehkan sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
“Itu betapa pun benarnya, bertumpuk satu pembuktian, dia tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti,” terangnya. (Nizar Malisy)
Sumber: Salam-Online