OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 06 Juli 2017

Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf Bag I

Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf

Bag I

10Berita- Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf.

Oleh: Artawijaya

Bagian I

“Janganlah pandang hina musuhmu,
karena jika ia menghinamu,
itu ujian tersendiri bagimu..”(Syair Imam Syafi’i)

HAJI Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini. Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,”demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?”

Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam…

Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka.”

Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).

Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.

Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut.

Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku..”

Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…” [ank]

Sumber: RAMBAHMEDIA.COM.