OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 06 Juli 2017

Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf Bag II

Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf
Bag II

10Berita-Buya Hamka Tokoh Muslim Yang Pemaaf.

Oleh: Artawijaya

Bagian II

Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.

Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!”

Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka.

Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.

Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, pak Yamin dalam keadaan sekarat,”terangnya. Selain itu, kata sang menteri, “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.

Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.” Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.

Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan terakhirnya.

Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.

Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.

Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.

Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.

Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.

Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara…

Penulis adalah editor Pustaka Al-Kautsar dan dosen STID Mohammad Natsir. [ank]

 Selesai.

Sumber: RAMBAHMEDIA.COM.